Kenaikan Harga Rokok Ancam Keberlangsungan Industri Hasil Tembakau

Jakarta – Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (PPKE FEB-UB), Candra Fajri Ananda mengatakan, kebijakan kenaikan harga rokok selama ini lebih berdampak pada industri hasil tembakau (IHT) daripada penurunan angka prevalensi merokok.

Berdasarkan hasil penelitian Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) FEB-UB menunjukan bahwa kenaikan tarif cukai dan harga rokok dalam jangka pendek dan panjang dapat berdampak negatif terhadap keberlangsungan IHT.

Menurut dia, setiap 1% penurunan volume produksi rokok yang dialami oleh pabrikan rokok berpita cukai (legal) berdampak signifikan terhadap penurunan jumlah pabrikan rokok sebesar 0,1% dalam jangka pendek.

“Sedangkan setiap 1% kenaikan harga rokok ilegal berdampak signifikan terhadap penurunan jumlah pabrikan rokok sebesar 0,48% dalam jangka panjang,” ujar Candra dalam sebuah diskusi yang dikutip Sabtu, 25 September 2021.

Candra mengatakan, kenaikan rokok ilegal dapat mengancam keberlangsungan pabrikan rokok dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Setiap 1% kenaikan jumlah peredaran rokok ilegal berdampak signifikan terhadap penurunan jumlah pabrikan rokok sebesar 2,9% dalam jangka pendek.

Setiap 1% kenaikan harga rokok ilegal, kata dia, berdampak signifikan terhadap penurunan jumlah pabrikan rokok sebesar 0,48% dalam jangka panjang. Terkait hal ini, kenaikan rokok ilegal di jangka pendek berdampak pada penurunan jumlah pabrikan rokok golongan 2 dan 3.

“Sedangkan dalam jangka panjang, kenaikan rokok ilegal akan berpengaruh pada penurunan jumlah pabrikan rokok golongan 1,” ujarnya.

Selain itu, ia juga menegaskan, peredaran rokok ilegal menyebabkan negara berpotensi mengalami kehilangan penerimaan (dari CHT maupun penerimaan pajak lainnya seperti PPn atau pajak daerah). Hasil estimasi menunjukkan bahwa semakin tinggi jumlah peredaran rokok ilegal, maka potensi hilangnya penerimaan CHT juga akan semakin meningkat.

“Pada tahun 2019, ketika jumlah peredaran rokok ilegal turun signifikan, angka potensi hilangnya penerimaan CHT juga turut mengalami penurunan yang signifikan,” ucapnya.

Dalam konteks inilah, PPKE FEB-UB merekomendasikan agar pemerintah berkomitmen melakukan “rembug bersama” dengan semua pemangku kepentingan secara berkesinambungan dalam rangka menentukan Peta Jalan (Roadmap) kebijakan yang berkeadilan.

“Roadmap ini diharapkan menjadi guidance para pengambil kebijakan, sehingga kebijakan-kebijakan terkait cukai IHT ke depan memberikan rasa keadilan dan tetap menjaga kesinambungan IHT,” jelas Candra.

Ketua GAPERO Surabaya, Sulami Bahar berpendapat, jika ada kenaikan tarif cukai maka akan menaikkan rokok ilegal, penurunan penerimaan negara, dan industri legal akan terjun bebas. Karena itu, Sulami Bahar berharap pemerintah tidak menaikkan tarif cukai hasil tembakau pada tahun 2022.

Terkait meningkatnya peredaran rokok illegal, Sulami menilai bahwa selama ini hanya menghukum pelaku rokok ilegal tanpa adanya penegakan hukum yang tegas sehingga menimbulkan efek jera.

Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar, Kementerian Perindustrian, Edy Sutopo berpandangan, IHT memiliki arti sangat penting bagi perekonomian negara. Bisa dikatakan, IHT memiliki multiplier effect ekonomi yang sangat tinggi.

“Dapat diibaratkan IHT sebagai lokomotif yang menghela gerbong ekonomi sangat Panjang,” kata Edy Sutopo.

Edy menegaskan, tidak banyak sumber-sumber ekonomi nasional yang memiliki kontribusi besar terhadap perekonomian. Selain IHT, ada industri makanan minuman, industri turunan sawit, industri pulp kertas, dll, namun tidak banyak dan relatif riskan terhadap goncangan.

“Selain itu, IHT merupakan industri yang memiliki akar kuat terhadap budaya lokal atau sebagai heritage yang patut dilestarikan,” katanya.

Menurutnya, kebijakan cukai sangat berpengaruh terhadap kinerja IHT, berpotensi mengganggu kinerja IHT legal namun tidak menyasar rokok illegal. Dari data Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC), tarif cukai HT sudah melewati titik optimum untuk menghasilkan penerimaan.

“Kebijakan tarif CHT hanya berdampak pada berkurangnya produksi rokok legal, namun tidak konsumsi secara agregat, mengingat masih adanya peredaran rokok illegal,” katanya. (*)

Rezkiana Nisaputra

Recent Posts

PHE OSES Resmi Salurkan Gas Bumi Ke PLTGU Cilegon

Jakarta -  PT Pertamina Hulu Energi Offshore South East Sumatera (PHE OSES) resmi menyalurkan gas bumi ke… Read More

1 hour ago

Transformasi Aset, PLN Integrasikan Tata Kelola Arsip dan Dokumen Digital

Jakarta - PT PLN (Persero) meluncurkan program Gerakan Tertib Arsip (GEMAR) dan aplikasi New E-Arsip… Read More

2 hours ago

Pertamina Subholding Upstream Regional Jawa Dukung Peningkatan Kinerja Keselamatan

Jakarta - Demi meningkatkan kinerja keselamatan dan integritas aset, Pertamina Subholding Upstream Regional Jawa dan PT Badak… Read More

3 hours ago

Jumlah Peserta Regulatory Sandbox Menurun, OJK Beberkan Penyebabnya

Jakarta - Penyelenggara inovasi teknologi sektor keuangan (ITSK) harus melewati regulatory sandbox milik Otoritas Jasa… Read More

6 hours ago

OJK Siap Dukung Target Ekonomi 8 Persen, Begini Upayanya

Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut bersedia mendukung target pertumbuhan ekonomi 8 persen Presiden… Read More

10 hours ago

BPKH Ajak Pemuda Gunakan DP Haji sebagai Mahar Pernikahan

Jakarta - Saat ini, secara rata-rata masa tunggu untuk melaksanakan ibadah haji di Indonesia bisa… Read More

11 hours ago