Jakarta – Bank Indonesia (BI) kembali menaikan suku bunga acuan BI 7 Days Repo Rate sebesar 50 basis poin (bps) atau menjadi 4,75%. Selain itu, suku bunga Deposit Facility naik sebesar 50 bps menjadi 4%, dan suku bunga Lending Facility naik sebesar 50 bps menjadi 5,50% pada Rapat Dewan Gubernur BI Oktober 2022.
Ekonom Ryan Kiryanto menilai, keputusan yang diambil BI adalah langkah front loaded, pre-emptive, dan forward looking, terutama untuk menurunkan ekspektasi inflasi yang saat ini terlalu tinggi (overshooting) berkisar 6-7% pasca kenaikan harga BBM yang lalu. Sekaligus memastikan inflasi inti ke depan kembali ke dalam sasaran 3,0±1% (dengan jangkar 3%) lebih awal dari perkiraan semula yaitu menjadi ke paruh atau semester pertama 2023,” ungkap Ryan, dikutip 21 Oktober 2022.
Keputusan BI tersebut juga dimaksudkan untuk menjaga dan memperkuat kebijakan upaya menstabilkan pergerakan nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS), agar sesuai dengan nilai fundamentalnya. Yakni, kinerja perekonomian yang stabil dan terus tumbuh positif akibat semakin kuatnya mata uang dolar AS terhadap mata uang di seluruh dunia.
“Selain itu, dikarenakan tingginya ketidakpastian pasar keuangan global karena ekses perang di Ukraina di tengah peningkatan permintaan ekonomi domestik yang tetap cukup kuat karena konsumsi rumah tangga yang tumbuh stabil di atas 5% yoy dalam tiga kuartal terakhir ini,” jelasnya.
Kemudian, deperesiasi Rupiah terjadi karena faktor sentimen, bukan karena faktor fundamental. Ini karena The Fed menaikkan FFR (Fed Funds Rate) sangat agresif untuk memerangi inflasi yang sempat nyentuh 9% supaya turun ke target 2%.
Dengan kenaikan FFR yang agresif sebesar 325 bps dari posisi sebelumnya 0-25 bps, sedangkan bank sentral negara lain termasuk BI menaikkan suku bunga acuan dalam besaran basis poin yang lebih kecil yakni 75 bps pada September 2022 menjadi 4,25% dan Oktober 2022 sebesar 50 bps menjadi 4,75%. Sehingga, selisih FFR dengan BI Rate menjadi hanya 150 bps atau 1,5%, sementara sebelumnya berkisar 250-300 bps. Maka, investor terdorong untuk beralih ke dolar AS.
“Sehingga imbal hasil dalam dolar AS meningkat tajam yang mendorong para pemilik dana atau investor memburu dolar AS sebagai safe heaven investment di saat situasi ketidakpastian global meningkat. Apalagi, outlook FFR akan diperkirakan naik lagi ke kisaran 4,0%-4,25% di akhir tahun ini,” pungkasnya.
Ryan juga menambahkan, melemahnya Rupiah yang cukup tajam akhir-akhir ini memang anomali karena sejatinya fundamental ekonomi Indonesia relatif lebih baik dibandingkan AS. Tetapi karena faktor sentimen global yang membuat Rupiah dan mata uang lainnya baik di negara maju maupun negara berkembang terkoreksi oleh dolar AS yang menciptakan fenomena baru, yakni super strong US Dollar saat ini. (*) Irawati
Jakarta - Stasiun Whoosh Karawang akan resmi melayani penumpang mulai 24 Desember 2024. Pembukaan ini… Read More
Jakarta – Pemerintah tengah mempersiapkan aturan mengenai revisi kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE) Sumber Daya Alam (SDA)… Read More
Jakarta - PT Bank JTrust Indonesia Tbk (J Trust Bank) terus melakukan ekspansi bisnis dengan memperluas… Read More
Jakarta – Bank Indonesia (BI) bersama Penyedia Jasa Pembayaran (PJP) pionir layanan dan Perum DAMRI… Read More
Jakarta – Bank Mandiri kembali menegaskan komitmennya dalam pemberdayaan ekonomi perempuan melalui kolaborasi strategis dengan… Read More
Jakarta – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada hari ini (20/12) kembali ditutup bertahan pada… Read More