Moneter dan Fiskal

Kekuatan Fundamental RI, Bertahan di Tengah Ancaman Resesi dan Stagflasi

Jakarta – Tren positif terkait upaya pemulihan dari kondisi pandemi COVID-19 rupanya tak serta-merta membuat dunia bisa sepenuhnya lepas dari persoalan. Keputusan Rusia yang sejak Februari 2022 lalu menginvasi Ukraina kembali mengubah kondisi dan dinamika internasional tentang banyak hal, seperti geopolitik, relasi antar negara, serta peta pasokan energi dan pangan dunia.

Saat ini Rusia tercatat sebagai produsen minyak nomor dua terbesar di dunia, dan menyumbang sedikitnya 10 persen terhadap total produksi minyak global. Selain itu, Rusia juga merupakan produsen gas alam terbesar kedua di dunia dengan kontribusi hingga 16,6 persen terhadap pasokan internasional.

Tak hanya itu, Rusia diketahui juga merupakan produsen terbesar ketiga sekaligus eksportir terbesar dunia untuk komoditas gandum, dengan menyumbang sedikitnya 17 persen terhadap kebutuhan gandum global. Sementara, Ukraina juga tercatat sebagai produsen ketujuh terbesar di dunia, dan merupakan salah satu pemasok utama kebutuhan gandum Eropa.

Hal ini belum lagi diperparah dengan berbagai sanksi ekonomi yang dijatuhkan oleh negara-negara Uni Eropa terhadap Rusia, atas kebijakan invasinya ke Ukraina. Hal ini diharapkan dapat membuat aktivitas ekonomi Negeri Beruang Merah terisolir sehingga membuatnya jera, namun sayang kini terbukti justru memantik sejumlah dampak turunan (dominos effect) terhadap perekonomian dunia secara keseluruhan.

Berbagai kondisi tersebut pada akhirnya membuat ekonomi global menjadi volatile dan tidak menentu. Di lain pihak, terganggunya pasokan pangan dan energi membuat sebagian kebutuhan pokok melambung, yang pada akhirnya berimbas pada lonjakan inflasi.

Guna menahannya, bank sentral di sejumlah negara pun menaikkan suku bunga, dengan berharap likuiditas yang berlebih di pasar dapat diserap, sehingga inflasi bisa melandai. Namun dampaknya, tingginya suku bunga membuat geliat perekonomian melambat. Pertumbuhan pun semakin tipis, dengan tekanan inflasi yang masih tetap tinggi. Sebagian ekonom menyebutnya dengan istilah stagflasi, yaitu kondisi pertumbuhan ekonomi yang stuck di tengah tingginya inflasi.

“Memang dunia sedang bergejolak. Kita harus akui itu. (Pertumbuhan) Ekonomi dunia terus menurun. Berbagai negara dalam bayang-bayang resesi, dan dunia menuju kondisi stagflasi,” ujar Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, dalam Peluncuran Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan, Rabu kemarin (10/8).

Menurut Perry, klaimnya bahwa dunia tengah menuju stagflasi didasarkan pada harga-harga barang yang kini sudah sangat tinggi. Harga energi, misalnya saja minyak bumi, kini telah menyentuh angka US$101 per barel. Kemudian harga pangan juga melambung tinggi seiring dengan gagal panen yang terjadi di banyak negara akibat perubahan iklim.

“Di lain pihak, saat harga-harga ini terus meningkat, suku bunga di berbagai negara maju juga naik tinggi sehingga menekan angka pertumbuhan (ekonomi),” tutur Perry.

Kondisi ini, menurut Perry, merupakan perpaduan dampak dari kondisi pandemi yang belum sepenuhnya usai dan juga perang Rusia-Ukraina yang belum kunjung berakhir. Perry mengklaim bahwa secara gabungan Rusia dan Ukraina merupakan pemasok atas 20 persen kebutuhan energi dan pangan global. Hal inilah yang menjadi pemicu melonjaknya harga pangan dan energi dunia yang lalu memicu lonjakan inflasi di berbagai negara.

“Indonesia sebagai negara terbuka tentu mau tidak mau, suka tidak suka, pasti terkena dampaknya. Memang tidak menyerang secara langsung, tapi kalau kita bicara dampak, sudah pasti ada dan signifikan terhadap perekonomian kita,” ungkap Perry.

Inflasi Pangan

Dengan kondisi tersebut, Perry pun mengajak semua pihak tanpa terkecuali untuk turut serta dalam memperkuat fundamental perekonomian Indonesia dengan bersama-sama menjaga laju inflasi nasional, terutama inflasi pangan yang dinilai cukup mengkhawatirkan. Saat ini, posisi inflasi Indonesia tercatat sebesar 4,89 persen, atau masih dapat dijaga di bawah level lima persen.

Namun demikian, porsi inflasi pangan mulai mengkhawatirkan dengan tercatat mencapai 10,47 persen, sekaligus menjadi porsi terbesar dibanding komponen inflasi lainnya. “(Kondisi) Ini menjadi warning bagi kita, karena angka inflasi pangan itu tidak boleh lebih dari lima persen. Maksimal mentok enam persen itu sudah tidak bagus,” papar Perry.

Karena itu, Bank Indonesia (BI) kini mengajak semua pihak, termasuk seluruh pemerintah daerah (Pemda) untuk turut bersinergi dalam Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (Gernas PIP), yang baru saja diluncurkan di Malang, Rabu (10/8).

Perry menekankan bahwa upaya pengendalian inflasi pangan ini sangat penting dilakukan karena mencakup berbagai kebutuhan pokok dan kebutuhan dasar masyarakat. Bahkan bagi masyarakat kelas menengah ke bawah, porsi inflasi pangan bisa jadi menyumbang 40 persen hingga 50 persen, atau bahkan 60 persen terhadap bobot pengeluaran hariannya.

“Sehingga penurunan inflasi pangan ini penting untuk kita upayakan bersama, karena dampak sosialnya betul-betul sangat besar untuk kesejahteraan rakyat. Ayo Pemda-Pemda bergerak bersama, gelar operasi pasar. Kita tekan betul inflasi pangan ini. Kita jaga agar bagaimana harga cabai, bawang telur, daging ini bisa turun. Minyak goreng sudah turun. Semoga jangan sampai naik lagi. Kita jaga dan usahakan bersama-sama,” tegas Perry.

Geliat Pasar Domestik

Di lain pihak, di tengah kekhawatiran atas posisi inflasi, BI sejauh ini juga masih kukuh untuk menahan suku bunga acuannya, dengan keyakinan bahwa kondisi inflasi inti masih terjaga dengan baik di tengah risiko perlambatan ekonomi global. Dengan kebijakan tersebut, BI masih mempertahankan BI 7-day Reverse Repo Rate (BI7DRR) di level 3,5 persen, suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75 persen dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,25 persen.

Bagi sebagian pihak, kebijakan BI menahan suku bunga ini dinilai kurang popular dan tidak sesuai dengan ekspektasi pasar. Dengan posisi bunga yang terus tertahan, pasar domestik dinilai menjadi kurang menarik dalam kaca mata investasi di tengah kebijakan sejumlah negara lain yang menaikkan suku bunganya.

“Logika sederhananya kan memang seperti itu, bahwa ketika suku bunga di negara-negara lain naik dan kita nggak, maka secara investasi kita jadi kurang menarik. Sehingga kalau kita bicara ekspektasi pasar, ya memang berharap BI menaikkan suku bunga,” ujar Direktur Utama BNP Paribas Asset Management, Priyo Santoso, kepada media.

Menurut Priyo, pelaku pasar dan kalangan pengamat ekonomi memang kerap kali secara pragmatis melihat bahwa kondisi naiknya inflasi idealnya perlu direspon dengan kenaikan suku bunga. Skema itu disebut Priyo mungkin memang cukup pas untuk diterapkan di negara-negara lain. Namun, belum tentu tepat dan bijak untuk diterapkan di Indonesia dalam kondisi seperti saat ini.

Salah satu pertimbangan yang mendasarinya adalah soal besarnya nilai likuiditas yang harus dimaintaince di pasar. Dengan jumlah populasi Indonesia yang merupakan salah satu terbanyak di dunia, tentu bukan perkara mudah untuk menaikkan suku bunga dengan harapan dapat menarik sebagian likuiditas di pasar agar tidak berlebih.

Terlebih kondisi perekonomian Indonesia masih dalam tahap pemulihan pasca pandemi COVID-19. Dalam kondisi demikian, Priyo menyebut prioritas pemerintah adalah bagaimana agar sebisa mungkin seluruh sektor industri dapat kembali bergeliat, sehingga perekonomian ekonomi nasional dapat tumbuh maksimal. Karenanya, tak perlu heran bila pemerintah dewasa ini terlihat cukup getol mendorong pemberian pinjaman ke sektor usaha.

“Kita bisa lihat (pemberian) izin usaha untuk UMKM terus didorong. Dengan begitu (pemilik izin usaha) bisa dapat KUR (Kredit Usaha Rakyat-red). Bahkan industri kreatif seperti lagu, konten youtube, segala macam, didorong agar bisa jadi agunan pembiayaan. Goals-nya apa? Ya tentu agar perekonomian dapat terus bergerak. Nah ketika flow-nya sudah seperti ini, maka opsi menaikkan suku bunga jelas kontra produktif. Satu opsi kurang bijak dan cukup dilematis untuk dilakukan,” tutur Priyo.

Operasi Pasar

Dengan segala pertimbangan tersebut, Priyo pun mafhum bila hingga saat ini BI masih sangat kukuh untuk tidak menaikkan suku bunga acuannya. Meski demikian, Priyo juga menegaskan bahwa dengan tidak menaikkan suku bunga, bukan berarti BI tidak melakukan apa-apa dalam melawan tren kenaikan inflasi yang terjadi di pasar. Karena pada dasarnya, baik itu dengan atau tanpa menaikkan suku bunga, concern utama dari bank central di seluruh dunia saat ini adalah sebisa mungkin mengendalikan laju inflasi.

“Saya lebih cenderung menggunakan kata ‘mengendalikan’, bukan ‘menurunkan’, karena soal naik atau turun sangat tergantung kebutuhan. Inflasi terlalu turun pun kita juga tidak mau, karena semua pasti ada konsekuensinya. Dan soal mengendalikan inflasi, sebenarnya juga sudah dilakukan BI lewat cara lain,” ungkap Priyo.

Cara lain tersebut, disebut Priyo, adalah dengan secara intens melakukan sejumlah operasi pasar. Salah satunya dengan menaikkan Giro Wajib Minimum (GWM) di satu sisi, dan secara aktif melakukan penjualan obligasi yang mereka miliki demi menyerap likuiditas dari pasar. Strategi tersebut dinilai Priyo berhasil dan berjalan cukup efektif dalam menekan balik laju inflasi yang terjadi.

“Jadi meski seven days repo rate mungkin masih di 3,5 persen, belum berubah, tapi bisa kita lihat dari sisi year curve-nya  sekarang Indonesia itu menjual surat utang yang mereka miliki di kisaran tenor satu sampai lima tahun. Jadi nanti kalau dilihat year curve akan naik, dan itu jangka pendek. Jadi bunga jangka pendeknya juga sudah naik, meski seven days repo-nya tidak naik,” ungkap Priyo.

Langkah tersebut disebut Priyo cukup cerdas dan solutif karena di satu sisi bunga jangka pendek secara realita tetap naik, namun aktivitas perekonomian tidak terganggu dan tetap berjalan kondusif lantaran bunga bank tidak naik. Dengan begitu, pertumbuhan ekonomi di triwulan II-2022 dapat mencapai 5,44 persen, jauh lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekonomi di triwulan I-2022 yang saat itu masih berkutat di level 5,01 persen. Capaian pertumbuhan juga melampaui target yang sebelumnya telah ditetapkan oleh pemerintah, di mana pada triwulan II diperkirakan ekonomi hanya mampu tumbuh sebesar 5,2 persen.

“Ini menandakan kekhawatiran atas bakal terjadinya stagflasi, di mana pertumbuhan ekonomi stuck atau malah minus di tengah inflasi yang meningkat, dapat dicegah dengan baik oleh BI. Jadi di satu sisi kita jaga agar kenaikan inflasinya masih on control, dan sisi lain jangan lupa, ekonomi juga harus tetap tumbuh. Saya kira ini yang sekarang jadi concern pemerintah. Dan sejauh ini BI sudah menjaga dan menjalankannya dengan cukup baik,” tegas Priyo. (TAF)

Rezkiana Nisaputra

Recent Posts

Mau ke Karawang Naik Kereta Cepat Whoosh, Cek Tarif dan Cara Pesannya di Sini!

Jakarta - PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) resmi membuka penjualan tiket kereta cepat Whoosh… Read More

5 hours ago

Komitmen Kuat BSI Dorong Pariwisata Berkelanjutan dan Ekonomi Sirkular

Jakarta - PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) terus berkomitmen mendukung pengembangan sektor pariwisata berkelanjutan… Read More

7 hours ago

Melalui Program Diskon Ini, Pengusaha Ritel Incar Transaksi Rp14,5 Triliun

Tangerang - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) bekerja sama dengan Kementerian Perdagangan (Kemendag) meluncurkan program… Read More

8 hours ago

IHSG Sepekan Anjlok 4,65 Persen, Kapitalisasi Pasar Ikut Tertekan

Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat bahwa data perdagangan saham selama periode 16-20… Read More

10 hours ago

Aliran Modal Asing Rp8,81 Triliun Kabur dari RI Selama Sepekan

Jakarta – Bank Indonesia (BI) mencatat di minggu ketiga Desember 2024, aliran modal asing keluar… Read More

15 hours ago

Bos BRI Life Ungkap Strategi Capai Target Bisnis 2025

Jakarta - PT Asuransi BRI Life meyakini bisnis asuransi jiwa akan tetap tumbuh positif pada… Read More

16 hours ago