Kebutuhan Listrik Sejalan Pemahaman Kualitas Hidup Sesuai Zaman

Kebutuhan Listrik Sejalan Pemahaman Kualitas Hidup Sesuai Zaman

Jakarta – Semakin tinggi tingkat sosial kehidupan masyarakat, mendorong bertambahnya konsumsi listrik masyarakat di satu daerah. Itu sebabnya kebutuhan masyarakat terhadap listrik berjalan, seiring dengan pemahaman seseorang terhadap perlunya meningkatkan kualitas hidup sesuai tuntutan zaman kekinian.

Salah satunya dapat terlihat dari kebutuhan seseorang untuk mengonsumsi kopi, yang kini menjadi bagian dari gaya hidup. Beberapa dekade yang lalu, pergi ke coffee shop masih menjadi “barang mewah” bagi sebagian orang, sehingga pada saat itu berkembang pula warung kopi tradisional, melengkapi lahirnya kebutuhan orang untuk makan di warung mie instan, yang juga menyediakan menu roti bakar, bubur kacang hijau dan ketan hitam, serta minuman kopi dan teh.

Sejalan dengan berkembangnya zaman, pertumbuhan kafe kini menjamur, seiring dengan kebutuhan mereka yang mencari kenyamanan minum kopi sebagai gaya hidup, atau juga untuk menemani bekerja di depan laptop. Kerap muncul dan bertumbuhnya coffee shop, baik merek lokal untuk kelas atas atau pun brand asal AS berwarna hijau dengan sebagai trend setter-nya, menjadi sarana pertemuan informal para pekerja kantoran.

Melihat fenomena tersebut, bertumbuhnya coffee shop di sejumlah kota, perlu ditunjang juga oleh menariknya tampilan interior dan eksterior bangunan yang “instagramable,” bersifat kekinian. Itulah yang menjadi dasar tumbuh berkembangnya bisnis warung kopi modern saat ini.

Data dari Ditjen Industri Agro Kemenperin menyatakan, pertumbuhan konsumsi produk kopi olahan dalam negeri meningkat rata-rata 7 persen per tahun. Pertumbuhan ini didorong oleh bertumbuhnya masyarakat kelas menengah dan perubahan gaya hidup masyarakat.

Sejalan dengan tema Electricity Lifestyle, yang mengemuka dalam penyelenggaraan Bali Collection Festival 2019 (BCF 2019), seperti dikemukakan oleh Pambudi Prasetyo selaku Ketua Penyelenggara Festival Kopi, acara ini bertujuan memperkenalkan dan menggabungkan antara kemampuan seniman lokal setempat, dengan keindahan Bali beserta kuliner, dan tampilan produk kerajinan lokal kepada para wisatawan yang berkunjung ke Bali.

“Agustus adalah musim puncak kunjungan turisme kedua di Bali setelah Idul Fitri, sehingga kami menyelenggarakan event yang sudah berlangsung selama 5 tahun ini, di mana di dalamnya kami masukkan event Festival Kopi, yang baru diselenggarakan pertama kalinya tahun ini. Kami berharap dapat berlangsung juga sebagai event tetap setiap tahun,” jelas Pambudi.

Industri kopi saat ini termasuk salah satu industri yang sedang “sexy,” luas sekali penggunaannya, sehingga orang dapat memanfaatkan ruangan tersisa di halaman rumahnya saja, yang berukuran 3 X 3 meter2. Mengingat semua mesin yang dipergunakan di warung kopi modern, lebih luas kafe, saat ini menggunakan listrik, sehingga pasokan listrik sepenuhnya mendukung perkembangan ekonomi kreatif.

Pada Festival Kopi yang berlangsung 16 – 18 Agustus 2019 di Nusa Dua, Bali, ditampilkan sejumlah acara, seperti perbincangan dan pengetahuan tentang kopi, serta pameran kopi yang menampilkan potensi kopi dari seluruh Indonesia.

Di sini para pengunjung dan investor dapat saling mingle, ataupun juga berkomunikasi langsung dengan para petani atau pemilik kebun kopi, demo sangrai (roasting) kopi, dan menyaksikan langsung buyer’s cupping.

Acara yang diikuti 48 booth ini, menampilkan wakil dari pemerintahan, market place, lembaga pembiayaan dan perbankan, serta para pemain di bidang industri perkopian. Partisipan dalam pameran antara lain Kementerian Perindustrian, Kabupaten Bone Bolango, Kabupaten Bandung,Terminal Coffee (binaan Pemda setempat), Kopi Nusantara, Coco Group, Tropical Group, Prada Group, The Paon Group, serta sejumlah pemilik brand kopi kekinian.

PT PLN (Persero) sebagai salah satu pengisi stand, juga mendukung bertumbuhnya industri kopi di Indonesia, melalui pemberian pelatihan dan penanaman kopi lewat anak perusahaannya Unit Pembangkit Mrica PT Indonesia Power di Desa Pengundungan dan Desa Krinjing, Jawa Tengah.

Melalui program CSR-nya dapat membawa dua kelompok petani Kopi Senggani dari Kelompok Tani (Poktan) Rising – Desa Pengundungan dan Kopi Krinjing dari Poktan Bumi Asih memberi nilai tambah bagi para anggota Poktan dan juga industri terkaitnya.

Menurut Pambudi, luasnya penggunaan listrik dimulai sejak dari kopi tersebut ditanam sampai siap diminum. Proses penanaman kopi tidak hanya membutuhkan energi secara intensif, baik digarap dengan sistem tanam sederhana ataupun yang menggunakan mesin (mekanisasi pertanian).

Faktanya, hampir 60% energi yang dipergunakan untuk menghasilkan secangkir kopi, terutama terletak pada sisi distribusi (pengangkutan), roasting (proses sangrai), dan penyeduhan (brewing) kopi.
Mesin roasting beroperasi pada suhu temperatur 550 derajat Fahrenheit, dan setiap satu jam menghabiskan sekitar 1 juta BTU (British Thermal Unit).

Dari semua proses, penyeduhan kopi yang membutuhkan energi paling besar. Menggabungkan antara panas dari energi listrik itulah yang masuk dalam seni dan energi penyediaan kopi, termasuk berbagai mesin penyeduhnya. Secara total energi yang dipergunakan untuk menghasilkan 100 mililiter kopi setara dengan 1,94 megajoules, atau setengah KwH. (*)

Related Posts

News Update

Top News