Jakarta – Pengamat Energi Satya Widya Yudha optimistis, pemerintah melalui kebijakan komprehensif, mampu mendorong bioethanol sebagai bahan bakar nabati (BBN). Upaya ini perlu dilakukan, guna mengejar target net zero emission (NZE) pada 2060.
“Saya yakin dengan kebijakan komprehensif dan terobosan baru, pemerintah bisa menuntaskan berbagai hambatan untuk mendorong bioethanol sebagai BBN,” katanya.
Ia mengatakan, hal terpenting memang mengurai terlebih dahulu hambatan yang ada. Kalau sudah terurai, barulah bioethanol bisa diproduksi massal.
“Bioethanol harus didorong. Tetapi memang masih ada hambatan. Dan menurut saya, semua permasalahan harus segera diselesaikan,” ujar Satya.
Menurutnya, pelbagai permasalahan yang harus segera diatasi. Pertama, keterbatasan sumber daya alam dan variasi bahan baku.
Baca juga : Dukung Net Zero Emission, SIG Tingkatkan Penggunaan Bahan Bakar Alternatif
“Sebagian besar itu masih berasal dari tanaman pangan. Dari sisi harga masih terjadi tarik menarik antara bioetanol untuk energi, atau bioetanol untuk makanan,” ujar anggota Dewan Energi Nasional periode 2020-2024 tersebut.
Sedangkan tantangan kedua, menurut Satya, adalah tidak adanya mekanisme insentif untuk menutupi perbedaan antara harga bioetanol dan bensin.
Ketiga, belum ada kebijakan yang mengintegrasikan sektor hulu hingga hilir, yang menyebabkan bahan baku sulit diperoleh dengan harga wajar. “Juga, luas lahan berkurang dengan tingkat produktivitas yang stagnan,” imbuhnya.
Keempat, lanjut Satya, perlu adanya peraturan lintas kementerian dan lembaga yang mengatur peran dan kewajiban pemangku kepentingan dalam pelaksanaan mandatori bioetanol.
Apalagi, Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) Indonesia memasang target produksi bioetanol sebesar 13,7 juta kiloliter mulai tahun depan, sehingga menurut Satya, semua hambatannya harus segera diselesaikan.
Baca juga : IHSG Berpeluang Menguat, Analis Rekomendasikan ACES, AVIA, BBNI hingga MDKA
“Yang penting harus mengurai hambatan-hambatannya. Tetapi Saya yakin, dengan terobosan baru dari pemerintahan baru hambatan itu akan bisa dituntaskan,” ujar Satya.
Menurut Satya, setelah mengurai dan menemukan solusi dari hambatan-hambatan tersebut, barulah membahas kemampuan produksi bioethanol. Satya menghitung, saat ini produksi maksimal bioetanol nasional baru sekitar 63.000 kiloliter.
“Bila dihitung, rata-rata produksi bioetanol sekitar 40.000 kiloliter per tahun. Keterbatasan produksi memang jadi tantangan saat ini karena masih mengandalkan bahan baku berupa molase. Maka, diversifikasi bahan baku seperti batang kelapa sawit tua, sorgum manis atau mikroalga perlu digalakkan agar tidak kekurangan bahan baku jika bioethanol sudah diproduksi massal,” kata Satya.
Bahkan untuk bioetanol dengan bauran 2% saja, menurut perhitungan Satya, tidak akan mampu memenuhi kebutuhan BBM masyarakat. Sebab, dengan bauran sebesar itu dibutuhkan 750.000 kiloliter bioethanol per tahun untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia.
Itu sebabnya, dirinya mendorong pemerintah segera menyusun kebijakan yang komprehensif dan memastikan bahwa program bioetanol itu berjalan dengan baik.
Di antaranya pemberian insentif, penyusunan peta jalan, dan rencana aksi, termasuk target kebijakan penyediaan lahan, diversifikasi bahan baku dari kementerian/lembaga terkait. (*)
Jakarta - Sejumlah bank digital di Indonesia telah merilis laporan keuangan pada kuartal III 2024.… Read More
Jakarta - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada hari ini (18/11) masih ditutup pada zona… Read More
Jakarta - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat penermaan dari sektor usaha ekonomi digital hingga 31 Oktober 2024 mencapai… Read More
Jakarta - Kinerja fungsi intermediasi Bank Jasa Jakarta (Bank Saqu) menunjukkan hasil yang sangat baik… Read More
Jakarta - Presiden Prabowo Subianto menegaskan komitmen Indonesia untuk mendukung upaya PBB dalam mewujudkan perdamaian dan keadilan internasional. Termasuk… Read More
Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat outstanding paylater atau Buy Now Pay Later (BNPL) di perbankan… Read More