BELAKANGAN ini diskusi makan siang para bankir dipenuhi topik tentang tanggung jawab dari kantor akuntan publik (KAP). Ada perusahaan yang diaudit dengan predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) tiba-tiba isinya bodong. Kempis. Salah satunya adalah Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP Finance). Para kreditur, investor, dan lembaga rating terkecoh, termasuk Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Di Indonesia kasus-kasus “poles-memoles” ini sedikit mulai terbuka. Pada tahun yang sama Bank Bukopin periode sebelumnya juga terlihat tidak sesuai dalam hasil audit. Setelah diaudit kembali, maka tampak rupa sebenarnya. Labanya menyusut jauh dengan kualitas kredit yang juga turun. Lalu, Asuransi Jiwasraya yang sebelumnya (2016-2017) tampak “gagah” dalam mencetak laba tiba-tiba susut.
Urgensi pertanyaan sekarang, mana tanggung jawab KAP?
Bukan kantor akuntan kacangan yang mengaudit itu. Mereka adalah kelas KAP worldwide dengan partner lokal Indonesia. Untuk SNP Finance diaudit oleh Deloitte Indonesia, Bank Bukopin diaudit oleh Ernst & Young (EY), dan Asuransi Jiwasraya (2016) oleh PricewaterhouseCoopers (PwC). Di lapangan, ternyata dari beberapa kasus, hasil audit- oleh sejumlah KAP ada yang tidak menggambarkan sebenarnya.
KAP yang disebut Big Four antara lain Deloitte, PwC, EY, dan KPMG. Keempat KAP itu mempunyai partner lokal Indonesia. Beda partner beda “selera”, meski benderanya sama. Sebelum terkenal disebut Big Four, ada sebutan Big Five—plus Arthur Andersen yang bangkrut akibat skandal Enron pada 2002. Sang Big Four inilah yang kini menguasai pasar besar.
Dominasi “Sang Big Four” ini yang harus dipertanyakan. Entah ada semacam instruksi dari kantor Kementerian BUMN atau tidak, tapi Sang Big Four ini selalu dapat jatah di BUMN-BUMN. Wajar saja kantor Kementerian BUMN meminta audit dari KAP Big Four ini karena trust level pada keempat akuntan ini sangat tinggi, karena reputasinya tidak main-main. Namun, kepercayaan dari pemegang saham BUMN ini tidak bisa dipegang penuh oleh KAP yang katanya kelas dunia ini.
Sejatinya di Indonesia banyak KAP, tapi memang masalah integritas KAP juga diperdebatkan, tentu tidak semua. Dalam skala nasional hasil pemeriksaan pun bisa beda-beda. Lihat, hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) soal SKL BDNI saja beda antara 2002, 2006, dan 2017. Padahal, objeknya sama. Sekelas BPK saja susah dipegang buntutnya.
Karena itu, atas laporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kementerian Keuangan RI menjatuhkan sanksi administrasi kepada KAP Deloitte Indonesia (Satrio Bing, Eny dan Rekan-SBE) dan Akuntan Publik Marlina serta Akuntan Publik Merliyana Syamsul. Inti sanksi administrasi itu berupa pembatasan jasa audit dan perbaikan prose-dur pengendalian mutu KAP.
Skandal SNP tentu tidak sama dengan skandal Enron, perusahaan energi di Amerika Serikat (AS) yang menyeret KAP Arthur Andersen. Enron me-ngumum-kan kebangkrutan-nya pada akhir 2002. Kebangkrutan perusahaan tersebut menimbulkan kehebohan yang luar biasa. Padahal, pada 2001 sebelum kebangkrutannya masih membukukan pendapatan US$100 miliar, ternyata tiba-tiba melaporkan kebangkrutannya kepada otoritas pasar modal. Publik AS terkejut dan kebang-krutan Enron ini disebut-sebut menjadi kebangkrutan terbesar (waktu itu).
Selanjutnya, KAP Arthur Andersen terus menerima konsekuensi negatif dari kasus Enron berupa kehi-langan klien, pembelotan afiliasi yang bergabung dengan KAP yang lain, dan pengungkapan yang mening-kat mengenai keterlibatan pegawai KAP Arthur Andersen dalam kasus Enron.
Karena itu, sudah waktunya Kementerian Keuangan RI memperketat pengawasan pada kantor-kantor KAP, tidak terbatas pada KAP yang banyak proyek tapi semua KAP di Indonesia. Dirasakan selama ini, seperti tidak ada pengawasan kepada KAP yang ada, dan perlu juga pengaturan yang lebih ketat. Sudah saatnya pula kita tidak terpesona dengan KAP yang katanya disebut Big Four. Dan, monopoli dari perusahaan BUMN sudah waktunya dilonggarkan, dengan memberi kesempatan kepada Big Six, Big Seven, atau Big Ten. Tentu yang punya reputasi baik dengan trust level yang tinggi.
Tanggung jawab KAP tidaklah ringan. Lihat, korban SNP saja disebut-sebut Rp14 triliun. Para investor, kreditur, dan masyarakat dirugikan. Untuk pasar sektor keuangan saja mencapai Rp12.000 triliun. Jadi, sanksi administrasi sebenar-nya cukup ringan diban-dingkan dengan akibat yang ditimbulkan. Marilah kita buka-bukaan dan bersih-bersih. l
Jakarta – Pemerintah menetapkan target penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebesar Rp300 triliun untuk 2025. Hal ini ditetapkan dengan… Read More
Jakarta - Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sekaligus Komisaris PT PLN (Persero), Aminuddin… Read More
Jakarta – PT Bank Pembangunan Daerah Banten (Perseroda) Tbk atau Bank Banten optimistis menutup 2024… Read More
Jakarta – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengangkat Yon Arsal sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Ketua… Read More
Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) melalui Direktorat Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka (Ditjen IKMA)… Read More
Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkan dua nama baru sebagai tersangka dalam pengembangan… Read More