Oleh Pemimpin Redaksi Infobank Media Group Eko B. Supriyanto
KABINET “obesitas” atau gemuk. Itulah sebutan sejumlah pengamat menilai Kabinet Merah Putih. Itu karena jumlah anggota kabinet pemerintahan Prabowo-Gibran, yang terdiri atas menteri, wakil menteri, kepala badan, wakil kepala badan, serta pejabat setingkat menteri, mencapai sekitar 109 orang. Tapi, belum juga mereka bekerja – yang sempat mendapatkan retreat di Hambalang dan pembekalan ala militer di Akademi Militer (Akmil), Magelang – Presiden Prabowo lewat Hashim S. Djojohadikusumo, adiknya, sudah memberi kabar baik tentang pemutihan utang macet terhadap 6 juta nasabah.
Banyak kalangan dunia usaha berharap, pemerintahan Prabowo-Gibran dengan kabinet yang gemuk ini, dengan berbagai kebijakan yang dilakukan, dapat menciptakan lapangan kerja, menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, mengurangi kemiskinan, dan meningkatkan daya beli masyarakat. Selain itu, mampu meningkatkan ketahanan pangan di negara Indonesia yang subur ini. Tak apa kabinet gemuk, yang penting sehat. Jangan sampai, di kabinet gemuk yang niatnya baik ini terdapat beberapa pos yang tidak pas. Persoalan koordinasi menjadi penting.
Pemerintah tugasnya membuat kebijakan, bukan personifikasi dengan hanya bagi-bagi kaus, beras, susu, juga buku. Blusukan hanya sebuah pencitraan. Bukan memahami masalah. Lebih baik membuat kebijakan yang lebih terlihat manfaatnya bagi kesejahteraan masyarakat ketimbang blusuk sana blusuk sini. Gaya pencitraan dengan blusukan segera dihentikan, karena kita tahu hasilnya tidak mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas sebesar 7 persen selama 10 tahun terakhir ini.
Kembali ke masalah hapus tagih kredit macet, yang diungkapkan Hashim. Itu merupakan sesuatu yang baik. Pasal merugikan negara tentang hapus tagih kredit macet tak lagi menjadi “hantu” bagi bankir bank BUMN. Selama ini, meski sudah ada PP 33/2006 yang menegaskan bahwa piutang BUMN bukan tergolong piutang negara, para bankir tetap tak berani melakukannya.
Pemerintah kabarnya sudah merampungkan rancangan peraturan pemerintah (PP) tentang penghapusan kredit macet dan hapus tagih. Itu mengacu pada UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK). Dalam Pasal 250 dan 251 disebutkan, piutang macet bank dan/atau lembaga keuangan nonbank BUMN kepada UMKM dapat dihapusbukukan dan dihapustagihkan untuk mendukung kelancaran pemberian akses pembiayaan kepada UMKM.
Selama puluhan tahun, pasal karet merugikan negara menjadi “hantu” yang terus ada. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menjadi “hantu” paling menakutkan karena dibekali oleh UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang masih menyebut hapus tagih termasuk merugikan negara.
Lebih jauh lagi, Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) Nomor 49 Tahun 1960 tentang Piutang Negara. Jadi, meski ada PP 33/2006 tetap saja mandul. Kedudukan PP masih lebih rendah daripada UU. Apalagi, pasal-pasal karet masih menyebutkan penghapusan piutang negara (kredit) merupakan kerugian negara, atawa korupsi. Wajar saja bankir pelat merah masih takut.
Menurut Infobank Institute, kebijakan hapus tagih untuk bank-bank BUMN paling tidak dilandasi dua hal penting. Satu, jumlah debitur kelas ultra mikro, mikro, dan kecil yang sudah “mangkrak” makin tahun makin banyak. Dua, pembersihan debitur “mangkrak” ini dapat menghidupkan kembali nama baik debitur. Debitur yang semula masuk kategori blacklist di SLIK, dengan hapus tagih ini, mereka akan kembali pulih namanya. Debitur jadi sehat kembali karena tidak masuk blacklist.
Hapus tagih ini bisa dilakukan jika kerugian yang terjadi bukan merupakan kerugian negara. Bukan hasil patgulipat atau kredit fiktif. Semua itu bisa dilakukan sepanjang dapat dibuktikan bahwa tindakan berdasarkan iktikad baik, peraturan perundangan, anggaran dasar, dan prinsip tata kelola perusahaan yang baik. Juga, soal batasan jumlah kredit UMKM yang akan diputihkan.
Tapi, jangan sampai berita baik mengenai aturan penghapusan kredit macet ini justru merusak mental debitur-debitur yang memiliki kredit untuk kemudian memacetkan diri. Hal ini wajar saja karena konsep perbankan di dunia. Perlakuan terhadap debitur macet lebih ringan daripada debitur baik yang lancar. Debitur baik yang selama ini membayar bunga dan pokok pinjaman malah sering kali harus merasa iri terhadap debitur macet yang diberi banyak kemudahan.
Jangan sampai pula pemutihan utang macet ini menimbulkan penyakit baru di masyarakat untuk tidak membayar pinjaman. Efek samping ini juga perlu diperhatikan, bagi nasabah-nasabah kecil yang juga macet di BPR, pinjaman online dan multifinance. Jangan ajari mereka untuk tidak membayar utang. Pemerintah harus dapat mengomunikasikan kebijakan “penggratisan” utang ini dengan baik.
Untuk kita renungkan, debitur baik lancar tak pernah diberi kemudahan, sementara debitur “mangkrak” malah dihapus utangnya, dan digratiskan. Jangan sampai kebijakan hapus tagih ini mengundang moral hazard baru. Jangan sampai pula budaya debitur baik yang tak pernah mendapat insentif menjadi nasabah sontoloyo yang selalu dapat insentif.
Semoga Kabinet Merah Putih – yang tambun (asal sehat) – ini tidak ikut campur terlalu dalam terkait pemberian kredit oleh bank kepada pengusaha yang menjadi tim suksesnya. Hapus tagih adalah kebijakan bagus bagi bank pelat merah ketimbang “blusukan” yang sekadar ajang personifikasi sebagai orang baik. (*)
Jakarta - Industri asuransi umum di Indonesia terus menunjukkan performa positif hingga kuartal III 2024.… Read More
Jakarta - PT MD Entertainment Tbk (FILM) telah menggelar Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB),… Read More
Jakarta - Bitcoin (BTC) mencatat lonjakan signifikan sebesar 37,29 persen sepanjang November 2024, ditutup pada… Read More
Jakarta – Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang rencananya berlaku pada… Read More
Jakarta - PT Delta Giri Wacana Tbk (DGWG) pada hari ini (3/12) mengumumkan akan melakukan… Read More
Jakarta – PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) berhasil mempertahankan kinerja cemerlang meskipun menghadapi tantangan… Read More