Oleh: Prosagama
Jika masalahnya tidak selesai, mungkin Jiwasraya sebaiknya berubah nama jadi jiwas-kerdil saja. Persoalan yang dihadapi lembaga ini mungkin bisa diusulkan masuk keajaiban dunia. Setelah sekian lama tenang menghanyutkan, ujug-ujug disebut merugi belasan triliun.
Sayang, tidak ada teori apapun yang bisa menjustifikasi permasalahan keuangan yang datang ujug-ujug. Yang ada adalah penyakit akut dan kronis sekalian. Sudah lama dan berbahaya. Tapi tidak ditangani sejak awal. Entah karena kenapa. Lalu, ketika “bisul” meledak, barulah semua pihak kebakaran jenggot dan menjadikannya sebagai panggung drama asyik sekaligus mengharukan.
OJK, selaku otoritas super power beranggapan sudah menjalankan tugas dengan hebat. Nyatanya, penyakit akut kronis jiwasraya tidak ditemukan. Kementerian BUMN, selaku kuasa pemilik, setiap tahun tetap menerima laporan keuangan usulan manajemen dengan sumringah. Tidak ada kecurigaan. Boleh jadi direksi Jiwasraya diganjar tantiem berlimpah. Entah ikut serta bermain drama atau terkecoh, tidak jelas. Lebih dahsyat lagi, laporan keuangan telah diaudit oleh Akuntan Publik ternama. Bertahun tahun pula. Sungguh-sungguh hebat, semuanya seolah-olah baik-baik saja.
Itu dari sisi kelembagaan. Bagaimana sisi pelaku? Perusahaan ini menjajakan produk menggiurkan. Return produk yang dijanjikan tergolong tinggi. Dalam jagad investasi, jika ada perusahaan berani memberikan janji return di atas pasar, hanya ada dua kemungkinan. Pengurus perusahaan tersebut keturunan malaikat bersayap baik hati yang datang dari surga. Atau perusahaan itu tengah dalam penderitaan likuiditas dan atau masalah keuangan lainnya, yang rindu fresh money. Maka dibuatlah produk yang amat menjanjikan, sehingga bisa menjadi pola “gali lobang tutup lobang” dan atau kepentingan lain yang lebih mengerikan. Tidak usah diuraikan di sini.
Lalu, apa peran nasabah. Maaf-maaf saja, jika ada orang yang mengharapkan return tinggi di atas kelaziman, hanya ada dua kemungkinan juga. Bodoh atau serakah. Tidak ada alasan lain. Namun, mengingat produk yang dijual adalah produk investasi mahal, yang bisa beli pasti kalangan menengah atas. Dan pastinya tidak bodoh. Lantas apa? Silahkan jawab sendiri.
Kembali kepada perusahaan yang mengeluarkan produk, disinyalir dana nasabah ternyata diinvestasikan ke saham-saham “katruk” alias di luar blue chip. Atau lebih kongkritnya, reksa dana saham “katruk”. Artinya yang dibeli mungkin bukan saham secara langsung. Tapi melalui reksa dana. Kok bisa? Ada beberapa kemungkinan. Perusahaan tersebut hanya tampak luar alias etalasenya saja yang megah. Di dalamnya seperti warung pinggir jalan. Tak punya aturan. Itu kemungkinannya. Berarti perusahaannya tidak profesional. Tapi apa ya demikian? Boleh jadi tidak. Yang paling masuk akal adalah aturan itu ada, tapi tidak dipatuhi. Atau secara sengaja dibuat aturan yang sangat longgar. Apa tujuannya? Mungkin pengurus bisa bilang, karena keadaan saat itu. Atau karena mesti menjaga hal A, B dll. Apapun alasannya, sulit diterima azas profesionalisme.
Kalau seperti itu, perusahaan ini memang kacau balau sejak lama. Kenapa begitu? Sederhana sekali. Karakteristik perusahaan asuransi sejatinya adalah perusahaan yang mengambil alih risiko masyarakat atau para pemegang polis atau nasabah. Berarti harus memiliki struktur investasi yang low risk atau setidaknya moderat risk, bersifat long term, memiliki likuiditas memadai dan sebrek kelaziman lain-lain. Dalam realitasnya, kelaziman itu tidak dipenuhi sama sekali.
Kalau diulas segala background tersebut butuh waktu sehari semalam. Semua pihak yang terlibat pasti punya versi-nya sendiri-sendiri. Apakah merasa jadi hero, apakah pura-pura tidak tahu dan lain sebagainya. Jadi tidak usah diperpanjang. Silahkan penegak hukum teliti apakah benar ada ‘mens rea’. Jika iya silahkan hukum. Namun mesti diingat, itu tidak menyelesaikan masalah keuangan perusahaan. Lalu bagaimana solusinya? Sharing pain semua pihak, restrukturisasi keuangan dan investasi, serta transformasi produk maupun korporarasi
Seperti apa polanya? Pahami dulu bisnis model dan bisnis proses asuransi. Di sisi input ada collection premi dan dana. Di sisi proses ada investasi atau pengelolaan dana. Di sisi output ada pembayaran claim dan benefit. Saat ini masalahnya adalah, claim dan benefit tidak bisa dibayar, karena ada problem di sisi investasi dan pengelolaan dana. Malah tidak ada collection premi baru, karena produk sudah tidak laku. Ini diibaratkan seperti pipa air, dimana ujungnya adalah kran, dan di inputnya adalah sumber air.
Penanganan pertama, mestinya adalah hentikan dulu kran air. Tidak perlu ada air yang keluar. Dengan kata lain, claim dan benefit harus direschedule, di re-profile. Tidak ada air bersih yang bisa dikeluarkan, karena pipanya berkarat. Nasabah jangan cengeng. Harus mau juga sharing pain. Ketimbang dananya hilang semua, mendingan di-reschedule. Dalam bentuk lain, produk tersebut dibayar dengan produk baru yang bersifat protected. Dengan return yang masuk akal. Harus ada grace period beberapa tahun. Pemegang saham dan OJK mesti memberikan persetujuan terhadap pola ini. Tidak perlu rapat sana rapat sini, bahas sana bahas ini. Apalagi lepas tangan atau buying time, apalagi lempar-lemparan tanggung jawab. Tak ada gunanya.
Berikutnya, perbaiki pipa yang berkarat alias pengelolaan dana investasi. Saham-saham yang abal-abal, keluarkan dari buku. Dihapus bukukan atau apapun namanya. Dampaknya, equity pasti akan semakin negatif. Gak apa-apa. Udah kadung. Gak usah ada yang ditutupi. Bagaimana menutupi equity negative? Setoran modal tentu saja. Apakah fresh atau setoran modal “setengah” fresh, seperti convertible bond dll. Silahkan saja manajemen dan pemegang saham pikirin ini. Mau undang investor kek, atau jual saham perusahaan kek. Terserah. Analoginya, orang sakit saja, jika parah perlu dioperasi dan diobati. Itu berarti ada biayanya. Mana bisa gratis.
Terakhir, harus ada produk baru dan harus ada yang beli. Entah siapa yang beli. Mau nasabah BUMN keuangan lainnnya atau masyarakat umum. Intinya, harus ada premi atau dana baru untuk dikelola dengan cara yang benar. Oleh orang yang benar.
Tiga langkah itu adalah solusi berdasarkan diagnostik yang ada. Selain yang menenangkan hati pemilik polis adalah pernyataan Erick Thohir, Meneg BUMN yang berjanji akan membayar kewajiban Jiwasraya. Cukup menenangkan. Tiga langkah itu bertujuan agar Jiwasraya tetap hidup. Tidak usah lagi banyak debat kusir atau cakap-cakap.
Pembentukan Panitia Khusus DRP RI justru makin membuat persoalan Jiwasraya berlarut larut. Jadi panggung politik yang merembet kemana-mana tanpa dapat menyelesiakan masalah sakitnya Jiwasraya. Situasi makin gaduh. Pengalaman kasus Century dengan Pansusnya hanya menjadi negosisasi politik dan maaf hanya mengganggu penyehatan Bank Century. Bising sepanjang 2010 hingga sampai pemerintahan SBY selesai 2014 tanpa menghasilkan apa apa.
Sudah waktunya menyiapkan langkah-langkah kongkrit yang masuk akal. Bukan abstrak dan hanya bincang-bincang jadi panggung banyak orang. Jangan jadikan Jiwasraya panggung “opera sabun”. Jiwasraya Riwayatmu nanti akan lebih baik jika menyelesaikan masalah utama asuransi milik BUMN ini dari hanya sekadar bincang bincang memuaskan masyarakat tanpa menyelesaikan sakitnya. (*)
Penulis adalah Peneliti dari The Asian Economic and Capital Market Institute
Jakarta - PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk atau BNI mencatatkan kontribusi terhadap penerimaan negara… Read More
Jakarta - PT Astra Digital Arta (AstraPay) merespons kebijakan anyar Bank Indonesia (BI) terkait biaya Merchant Discount… Read More
Jakarta - Aplikasi pembayaran digital dari grup Astra, PT Astra Digital Arta (AstraPay) membidik penambahan total pengguna… Read More
Labuan Bajo – PT Askrindo sebagai anggota holding BUMN Asuransi, Penjaminan dan Investasi Indonesia Financial… Read More
Jakarta - Presiden Prabowo Subianto memperoleh tanda kehormatan tertinggi, yakni “Grand Cross of the Order… Read More
Jakarta – PT PLN (Persero) telah melakukan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), pada Kamis (14/11).… Read More