Expertise

Jangan Panik! Meski Rupiah “Longsor” Bikin Berdebar, Percayalah, Ekonomi Indonesia Tetap Disayang Tuhan

Oleh Eko B. Supriyanto, Chairman Infobank Media Group

“Indonesia bolone (temannya) Tuhan. Karena temannya Tuhan, maka akan selalu disayang Tuhan, Tuan!”

KALIMAT optimistis itu dikutip dari seorang teman, namanya Pakde Samidan, ketika Lebaran di kampung yang jauh dari kemakmuran. Dari Kota Cepu, yang masuk daerah miskin di Indonesia, ternyata meluncur kalimat bijak dari seseorang yang sangat sederhana, yang bisa jadi benar untuk menggambarkan Indonesia sesungguhnya. “Kemiskinan sudah biasa, jadi kita tetap akan baik-baik saja. Kata Koes Plus, tongkat kayu saja bisa jadi tanaman,” kata Pakde Samidan mengomentari nilai tukar rupiah yang sudah di atas Rp16.035/US$.

Simak saja. Saat dunia dilanda pandemi COVID-19, ekonomi Indonesia baik-baik saja. Nah, ketika rantai pasok dunia terganggu, Indonesia menikmati boom komoditas. Ekonomi kita tetap bisa tumbuh di atas 5%. Sementara, ekonomi global mengalami pertumbuhan minus berkepanjangan. Resesi dunia melanda, dan nyatanya Indonesia tetap baik-baik saja.

Sebelumnya, ketika terjadi krisis finansial global tahun 2008 lalu, yang meluluhlantakkan Amerika Serikat (AS) dan disusul Uni Eropa, ekonomi Indonesia juga tetap bisa tumbuh di atas 5%. Bahkan, ketika krisis 1998 – di mana membutuhkan biaya lebih dari 70% dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia untuk mengatasi saat itu, ekonomi Indonesia tetap tumbuh, dan hanya sekali minus di 2020 (minus 2,07%). Hanya satu tahun kemudian kembali tumbuh. Di segala cuaca, ekonomi Indonesia masih bisa tumbuh di kisaran 4%-5,2%.

Saat ini, tatkala nilai tukar dolar AS “mbledos” terhadap semua mata uang dunia, termasuk Indonesia, tampaknya ekonomi Indonesia tak akan longsor ke titik krisis. Nilai tukar rupiah yang merosot ini lebih banyak akibat faktor eksternal. Faktor AS menjadi fokus perekonomian global. Tingginya inflasi di AS (3,2%) membuat penurunan suku bunga The Fed, Fed Funds Rate (FFR), belum pasti. Entah kapan akan turun.

Investor kabur dan ramai-ramai membeli dolar di pasar AS. Seluruh mata uang dunia dibuat “keok” oleh dolar. Bahkan, yen Jepang sampai merosot sekitar 153% dalam kurun waktu setahun ini. Kemarin (16/5/2024), nilai tukar rupiah juga termasuk merosot paling tajam di Asia. Pada pembukaan perdagangan pertama setelah libur Lebaran, rupiah tertekan hingga Rp16.035/US$, dan bahkan di counter bank-bank di Jakarta tertulis US$1 = Rp16.400.

Baca juga: Rupiah “Loyo” Bikin Debar-Debar, Perlu “Pil Viagra” Dosis Tinggi?

Nilai tukar rupiah di perdagangan terakhir (5/4/2024) sebenarnya (sebelum libur Lebaran) masih berada pada level Rp15.548/US$. Namun, data Google Finance, yang memonitor perdagangan mata uang global, rupiah sudah bertengger di angka Rp16.065/US$ dari sebelumnya Rp16.117/US$.

Dan, pada perdagangan pertama setelah libur panjang Lebaran, rupiah dibuka di level Rp16.035/US$. Saat ini (17/4/2024), rupiah berada di level Rp16.250/US$ yang menjadikannya sebagai salah satu mata uang paling “loyo” di Asia dengan depresiasi 1,68% dalam beberapa jam perdagangan.

Rupiah masih akan terus terbakar. Analis ada yang menyebut rupiah akan berada di angka Rp17.000/US$. Jadi, wajar saja jika Bank Indonesia (BI) sudah memberi sinyal dengan memberikan “pil biru” berupa intervensi di pasar spot dan non-deliverable forward domestik. ”Kami pastikan berada di pasar untuk melakukan langkah stabilisasi,” kata Perry Warjiyo, Gubernur BI, (16/4/2024), di Istana Kepresidenan, Jakarta.

Tidak disebutkan berapa besar dosis “pil biru” intervensi BI itu. Besaran dosis ini pun perlu diperhitungkan, karena merosotnya rupiah adalah akibat dolar yang strong. Rupiah merupakan salah satu mata uang yang merosot dari banyak mata uang global yang juga anjlok. Jangan sampai BI memakai dosis terlalu tinggi, karena sama saja dengan menggarami lautan. Jangan terlalu boros di hari-hari ini dan yang terpenting memberi sinyal bahwa BI ada di depan kurva.

Suasana psikologis masyarakat saat dolar strong pun tidak seperti 2008 ketika terjadi krisis global lalu. Juga, tak seperti situasi krisis 1998. Hari-hari ini masyarakat tampak tenang-tenang saja, meski rupiah menembus Rp16.200/US$. Bahkan, diprediksi dapat menembus Rp17.000/US$.

Pasar saham yang paling pertama menunjukkan reaksinya dengan merosotnya saham-saham penggerak pasar (big cap), seperti perbankan, juga tidak menimbulkan kepanikan. Tidak terjadi antrean dolar di money changer. Tidak terjadi kepanikan seperti zaman-zaman ketika rupiah longsor beberapa tahun lalu.

Di lain sisi – menguatnya dolar AS juga membawa berkah bagi para eksportir. Hasil eskpor komoditas akan membesar. Secara langsung juga akan meningkatkan royalti dan pajak bagi pemasukan negara. Pengalaman masa lalu, kenaikan harga komoditas, baik karena kurs maupun harga, dapat meningkatkan pendapatan negara.

Perang Israel-Palestina yang berbuntut pada serangan Iran ke Israel juga belum menimbulkan dampak yang nyata. Namun, jika perang terus berlanjut dan menutup Terusan Suez maka akan memutus rantai pasok dan akan menaikkan harga bahan bakar minyak  (BBM), dan tentu akan memberi tekanan terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Rupiah yang merosot tentu akan menaikkan harga-harga pangan, seperti tepung, beras, kedelai (tahu-tempe), dan barang impor. Juga, hampir seluruh barang elektronik yang sebagian besar komponen barang impor. Itu pun tampaknya tidak menimbulkan reaksi dari masyarakat. Situasi tampak adem ayem.

Sepanjang sektor perbankan tidak mengalami guncangan, dan APBN masih bisa intervensi, serta harga komoditas Indonesia masih dibutuhkan di luar negeri, maka Indonesia akan tetap baik-baik saja. Siapa pun presidennya, krisis tak akan terjadi. Hanya memang akan ada tekanan terhadap APBN akibat program-program pemerintah yang menggunakan uang APBN secara masif.

Jadi, siapa bilang Indonesia akan masuk jurang krisis, dan menuju kebangkrutan. Juga, siapa yang memperkirakan Indonesia akan masuk situasi krisis. Indonesia diperkirakan termasuk negara yang tidak akan masuk ke lorong krisis seperti 1998. Indonesia adalah negara yang disayang Tuhan.

Ekonomi Indonesia dari tahun ke tahun selalu ditolong Tuhan dengan kenaikan harga komoditas. Tanpa kekayaan alam itu – dengan rezeki “nomplok” dari Tuhan – Indonesia tak hebat-hebat amat. Lebih banyak punya keberuntungan dibandingkan dengan negara-negara lain, seperti Sri Lanka, ketika terjadi krisis akibat perang Ukraina-Rusia dua tahun lalu.

Diketahui, ekonomi Indonesia tidak terkait langsung dengan perdagangan dunia. Ini artinya, struktur ekonominya tidak didominasi ekspor. Lebih banyak pada belanja negara dan konsumsi masyarakat. Juga, Indonesia disayang Tuhan berupa berkah kenaikan harga komoditas. Sumber alam yang kaya raya pemberian Tuhan telah menyelamatkan ekonomi Indonesia saat ini.

Sumber daya alam tak habis-habisnya, meski jutaan hektare hutan ditebang, jutaan ton ikan dicuri, dan bahkan jutaan kubik hasil tambang digangsir. Sudah demikian masifnya pencurian tambang-tambang Indonesia. Toh, Indonesia masih tetap gemah ripah loh jinawi dengan pertumbuhan ekonomi di kisaran 5%.

Baca juga: Nilai Tukar Rupiah Makin Loyo, Bos BI Siap Intervensi

Kita berharap dan berdoa, kemerosotan rupiah tak akan membakar perekonomian Indonesia, dan tak sampai membuat Indonesia krisis. Namun, jujur saja, kita membayangkan, seandainya sumber alam Indonesia tidak digangsir secara gotong royong tentu rupiah tak akan “loyo” seperti sekarang ini. Dolar-dolar itu sebenarnya ada, tapi sayangnya ada di bank-bank Singapura. Siapa pun presidenya juga sulit menarik dolar-dolar para taipan yang “ngadem” di Singapura.

Rupiah yang sekarang “loyo” ini boleh jadi tidak akan berlangsung lama. Jadi, jangan panik, meski rupiah “longsor”. Wong pemerintah tampak diam-diam saja, kecuali Jalan Thamrin (BI) – yang menegaskan selalu berada di pasar, untuk memberi sinyal positif bagi stabilitas rupiah. Dan, tentu, BI tak buru-buru menaikkan suku bunga kembali, karena likuiditas di bank-bank sedikit tercekik akibat ekspansi kredit.

Percayalah, siapa pun presidennya, perekonomian Indonesia selalu disayang Tuhan. Rupiah yang loyo kali ini tak akan membakar perekonomian Indonesia, karena kita masih punya sumber alam yang diciptakan oleh Tuhan. “Indonesia bolone (temannya) Tuhan. Karena temannya Tuhan, maka akan selalu disayang Tuhan, Tuan!” kata Pakde Samidan,yang ditemui sambil makan nasi pecel di Warung Pecel, Cepu, seharga Rp6.000 per porsi.

Galih Pratama

Recent Posts

PLN Perkuat Kolaborasi dan Pendanaan Global untuk Capai Target 75 GW Pembangkit EBT

Jakarta - PT PLN (Persero) menyatakan kesiapan untuk mendukung target pemerintah menambah kapasitas pembangkit energi… Read More

12 hours ago

Additiv-Syailendra Capital Perluas Distribusi Produk Keuangan

Jakarta - Additiv, perusahaan penyedia solusi keuangan digital, mengumumkan kemitraan strategis dengan PT Syailendra Capital, salah… Read More

12 hours ago

Banyak Fitur dan Program Khusus, BYOND by BSI Raih Respons Positif Pasar

Jakarta – Super App terbaru dari PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI), yaitu BYOND by… Read More

17 hours ago

Pekan Kedua November, Aliran Modal Asing Keluar Indonesia Sentuh Rp7,42 Triliun

Jakarta – Bank Indonesia (BI) melaporkan aliran modal asing keluar (capital outflow) dari Indonesia pada pekan kedua… Read More

20 hours ago

IHSG Sepekan Turun 1,73 Persen, Kapitalisasi Pasar Bursa jadi Rp12.063

Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) melaporkan bahwa data perdagangan saham pada pekan 11… Read More

21 hours ago

Top! Baru Setahun, Allianz Syariah Sudah jadi Market Leader

Jakarta – Kinerja PT Asuransi Allianz Life Syariah Indonesia atau Allianz Syariah tetap moncer di… Read More

1 day ago