Kenaikan suku bunga menjadi sebuah dilema tersendiri bagi pemerintahan AS. Karena dengan kondisi mata uang Dolar yang semakin kuat, tentu neraca perdagangan AS juga berpotensi terganggu. Dwitya Putra
Jakarta–Pelaku pasar masih terlihat harap-harap cemas terhadap pertemuan bank sentral Amerika Serikat/The Federal Reserve (The Fed) yang kabarnya diijadwalkan berlangsung pada 16-17 September 2015.
Kondisi tersebut terus menghantui seluruh perekonomian negara berkembang, tidak terkecuali Indonesia.
Jika dalam pertemuan tersebut, suku bunga AS dinaikan, bukan tidak mungkin Dolar AS jadi semakin kuat lagi terhadap mata uang negara lain.
Kondisi tersebut tentunya juga akan mempengaruhi pasar saham yang sejauh ini berjalan beriringan dengan nilai tukar Rupiah. Dimana saat Rupiah melemah terhadap Dolar AS, posisi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga tertekan.
Namun yang jadi pertanyaan, apakah mungkin, di tengah kondisi saat ini The Fed akan menaikkan suku bunga AS? Mengingat nilai tukar Dolar sudah jauh perkasa dibanding mata uang lainnya.
Ini menjadi sebuah dilema tersendiri bagi pemerintahan AS. Karena dengan kondisi mata uang Dolar yang semakin kuat, tentu neraca perdagangan AS juga berpotensi terganggu.
Hal itu dikhawatiirkan akan membuat nilai dagang AS semakin mahal di pasar ekspor. Ujung-ujungnya jika Dolar semakin mahal, ekspor AS pun terancam menurun karena mahalnya harga jual dan tidak kompetitif.
Laju IHSG dan Rupiah sendiri sempat mengalami pelemahan setelah sehari pengumuman Paket Kebijakan Ekonomi Jilid 1 – September oleh pemerintah. Ketidakpastian The Fed dalam menaikan suku bunganya menjadi salah satu penyebabnya.
Namun setelah itu laju IHSG dan Rupiah kembali mengalami kenaikan akhir pekan kemarin. Pelaku pasar pun kembali memanfaatkan pelemahan sebelumnya untuk kembali masuk dan aktif bertransaksi.
Penguatan ini di luar anomali, karena laju bursa saham Asia kembali melemah di akhir pekan seiring aksi ambil untung para pelaku pasar.
Pelaku pasar mulai mengantisipasi akan adanya pelemahan pasar finansial jelang pidato The Fed. Saham-saham pertambangan dan komoditaspun kembali menjadi sasaran aksi jual seiring kembali melemahnya sejumlah harga komoditas yang dimotori harga minyak mentah.
Tak berbeda jauh dengan pasar Asia, bursa saham Eropa juga harus berakhir di zona merah pada akhir pekan kemarin. Selain itu, pelaku pasar Eropa merespon negatif penurunan wholesale price index Jerman.
Analis PT NH Korindo Securities Indonesia, Reza Priyambada memproyeksikan pada perdagangan hari ini IHSG diperkirakan akan berada pada rentang support 4.325-4.340 dan resistance 4.376-4.390.
Laju IHSG sebelumnya di atas area target support 4.275-4.300 dan sempat mampu melampaui target resistance 4.355-4.368 meski di akhir sesi kembali di area tersebut.
Investor diharapkan tetap mewaspadai adanya sentimen yang dapat berimbas negatif pada laju IHSG.
“Meski terjadi penguatan seperti halnya Rupiah namun, kami melihat tidak terlalu signifikan. Apalagi setelah sempat melonjak di awal sesi namun, berangsur kembali melemah meski akhirnya masih dapat ditutup positif. Penguatan yang terjadi kami nilai masih rentan terjadinya pembalikan arah melemah jika sentimen yang ada kurang dapat mempertahankan IHSG di zona hijaunya,” jelas Reza. (*)
Jakarta – KB Bank menjalin kemitraan dengan PT Tripatra Engineers and Constructors (Tripatra) melalui program… Read More
Jakarta – Indeks harga saham gabungan (IHSG) pada hari ini, Kamis, 19 Desember 2024, kembali… Read More
Jakarta - Di tengah tantangan global yang terus meningkat, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 8… Read More
Jakarta – Bank Indonesia (BI) akan segera meluncurkan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) berbasis NFC (Near Field Communication)… Read More
Jakarta – PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) buka suara soal isu kebocoran data nasabah yang disebabkan… Read More
Jakarta - PT Indonesia Infrastructure Finance (IIF) menjalin kolaborasi strategis dengan menyalurkan pembiayaan sebesar Rp327,3… Read More