Jakarta – Belakangan ini ramai diperbincangkan kasus unrealized loss investasi saham yang dialami PT Asuransi Jiwasraya dan BPJS Ketenagakerjaan. Namun hanya Jiwasraya yang diproses dan masuk dalam proses penyidikan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung). Unrealized loss yang dianggap merugikan negara pun dikhawatirkan dapat berdampak negatif pada investor saham.
Banyak yang mempertanyakan apakah unrealized loss nilai saham yang dialami dua perusahaan pelat merah itu bisa dikategorikan sebagai bentuk kerugian negara? Menurut Analis Reliance Sekuritas, Lanjar Nafi, bahwa unrealized loss adalah hal yang biasa terjadi apabila saat membeli atau berinvestasi saham, harga sahamnya mengalami penurunan.
“Selama saham tersebut masih berada di portofolio atau tidak dijual,” ujar Lanjar melalui keterangannya yang dikutip di Jakarta, Sabtu 10 April 2021.
Ia mengungkapkan, untuk seorang Investor dengan tipe growth investor dan value investor, mengalami unrealized loss itu hal yang wajar terjadi di tengah tingkat volatilitas harga di market yang dinamis pada jangka pendek. Bahkan, kata dia, kerugian baru akan terjadi apabila saham tersebut sudah dijual dengan nilai lebih rendah dari perolehannya. “Selama belum menjual sahamnya itu tidak bisa dinyatakan kerugian,” paparnya.
Pengamat kejaksaan Fajar Trio Winarko pun menyebut jika unrealized loss suatu saham dipidanakan, maka akan berujung kaburnya para investor. “Terutama kepemilikan saham BUMN. Jika penyidik serampangan ditambah lagi dengan penyitaan aset yang melanggar aturan, otomatis bikin gaduh dan membuat para investor saham BUMN kabur. Jaksa Agung harus mengontrol penegakan hukum yang dilakukan. Jangan hanya terima laporan saja, turun dan cek ke lapangan,” ucapnya.
Terkait kasus PT Asuransi Jiwasraya yang berawal dari unrealized loss, sementara BPJS Ketenagakerjaan yang ‘bebas’ dari jeratan hukum, pakar hukum pidana Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI), Suparji Ahmad mengatakan bahwa penyidik jangan tebang pilih dalam menangani suatu kasus seharusnya tidak boleh terjadi.
“Harus ada penjelasan secara transparan dan akuntabel mengenai proses hukum tersebut,” tegas Suparji.
Menurutnya, jika memang konstruksi hukumnya sama dan unsur-unsurnya terpenuhi harus diproses. Termasuk dalam penyitaan aset para tersangka ataupun terdakwa atau bahkan pihak ketiga yang tidak sesuai dengan Pasal 39 KUHAP. Lanjut dia, jika aset tersebut tak ada kaitannya dengan kasus, maka tidak boleh dilakukan penyitaan.
“Penyitaan hanya dapat dilakukan untuk pembuktian dan pengembalian kerugian negara. Sebetulnya tidak boleh jika tidak ada kaitannya dengan tindak kejahatannya. Jadi jangan sampai penegak hukum malah melanggar hukum. Lakukan praperadilan, harus diuji di praperadilan,” tutupnya. (*)
Jakarta - Perusahaan pembiayaan PT Home Credit Indonesia (Home Credit) terus berupaya meningkatkan inklusi keuangan… Read More
Jakarta - Menteri Koperasi (Menkop) Budi Arie Setiadi mendukung langkah Induk Koperasi Unit Desa (Inkud)… Read More
Jakarta - PT Bank Central Asia Tbk (BCA) untuk pertama kalinya menggelar kompetisi Runvestasi pada… Read More
Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) memberi tanggapan terkait penutupan Indeks Harga Saham Gabungan… Read More
Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) bersama Self-Regulatory Organization (SRO), dengan dukungan dari Otoritas… Read More
Jakarta - Program makan bergizi gratis yang dicanangkan oleh Presiden Prabowo Subianto dinilai memberikan dampak… Read More