Oleh Eko B. Supriyanto, Pemimpin Redaksi Infobank Media Group
“NAFSU akan uang dan menempatkannya di atas prioritasmu adalah yang membuatmu menjadi tamak”. Kata bijak ini diambil dari Lovequotesmessages. Sifat serakah dan tamak ini cocok untuk menggambarkan perilaku investasi abal-abal – kenapa masih laku dari zaman jahiliyah sampai dengan saat ini.
Serakah. Itulah pasar terbesar dalam investasi abal-abal ini. Tidak di Indonesia saja, di Amerika Serikat (AS) pun marak. Produk shadow banking disebutnya. Padahal, korban tiap saat berjatuhan, tapi investasi abal-abal dengan berbakai underlying tampak tak masuk akal pun terus bermunculan. Tidak hanya investasi konvensional, yang menggunakan pendekatan syariah juga tidak sedikit.
Kasus Bernie Madoff di AS tahun 2009 merupakan kasus shadow banking terbesar sepanjang sejarah. Madoff menggunakan Skema Ponzi. Dana investor yang terbakar selama praktik mencapai US$65 miliar atau setara dengan Rp942 triliun. Dan, Madoff pun menjadi penipu investasi terbesar sepanjang sejarah dunia. Madoff dihukum 150 tahun dan wajib mengembalikan dana investor yang ditipunya ke para investor.
Hukuman lebih dari 110 tahun bagi pelaku penipuan Skema Ponzi juga dijatuhkan kepada Allen Stanford. Ia menipu investor sebesar US$7 miliar atau setara dengan Rp101 triliun. Stanford menjual sertifikat deposito, dan depositonya tidak ada isinya. Jatuh tempo dibayar dengan deposito baru.
Kasus lainnya yang terungkap adalah GPB Capital Holdings yang menipu sekitar 17.000 investor dengan meraup dana US$1,7 miliar atau setara dengan Rp23,8 triliun.
Di Indonesia kasus seperti itu juga marak. Sebelum reformasi sudah ada. Sebut saja Yayasan Keluarga Adil Makmur (Ongkowidjaja) tahun 1987. Tahun 1995 ada Arisan Danasonic. Pada awal reformasi tahun 2001-2002 ada kasus QSAR – investasi berkedok agrobisnis. Lalu, kasus Add Farm tahun 2007.
Sekarang apalagi, kasus penipuan investasi bodong alias abal-abal malah kian marak bak jamur di musim hujan. Tentunya dengan berbagai skema dan berbagai model. Tidak hanya lewat MLM, tapi juga yang privat. Door to door. Koperasi Pandawa dengan underlying bubur pun laris manis. Juga, Koperasi Subur Jaya dengan model investasi daging. Macam-macamlah.
Mereka semua resmi. Legal. Punya badan hukum. Bahkan, yang diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun ada yang membuat investor gigit jari, seperti kasus Jiwasraya, Wanartha, dan Kresna Life. Pembeli produknya gigit jari. Jangankan keuntungan, pokoknya pun hilang, tak pasti.
Investasi ada untung dan ada buntung. Nah, agar tidak buntung, maka setidaknya perlu melakukan berbagai cara. Kunci utama, jangan serakah. Sebab, inti dari investasi itu bukan profit sharing, melainkan risk sharing. Jika sudah tahu untung, kenapa mesti dibagi.
Investor harus menggunakan pendekatan bibit, bobot, dan bebet. Bibit misalnya, siapa yang punya dan siapa yang kelola. Apakah punya reputasi baik sebelumnya. Jelas kantor dan jelas laporan keuangannya. Bobot, apakah kualitas perusahaannya mumpuni, bagaimana laporan keuangannya. Transparansi pengelolaannya juga harus jelas, dan terukur dengan baik.
Lalu, gimana bebetnya. Apakah investasi ini punya masa depan yang baik atau tidak. Apakah tingkat keuntungannya wajar atau tidak. Jangan-jangan hanya sesaat. Ambil untung lalu pergi seperti skema Ponzi yang hit & run. Habis manis, sepah dibuang.
Jadi, untuk tetap aman dan menguntungkan, bukan berarti perusahaan harus terdaftar. Apalagi, tidak terdaftar. Yang terdaftar pun bisa bikin jeblok. Intinya, hati-hati berinvestasi, karena investasi bukan bicara histori, tapi melihat ekspektasi ke depan.
Dan, itu pun tidak membabi buta melihatnya. Lihat pula saham-saham di pasar modal kita, saham seharga sepeda motor dihargai Mercy Class-C. Itu resmi. Itu sah di pasar modal kita yang sedang happening – meski banyak milenial yang pinjam dana dari pinjaman online untuk beli saham.
Publik harus terus diingatkan, karena sepanjang harga saham naik, cerita duka tidak ada. Namun, kalau harga saham kembali pada kodratnya, pada akhirnya mana emas dan mana loyang akan kelihatan.
Anehnya, di sini, hukum bagi praktik-praktik investasi abal-abal ini masih ringan. Tidak seperti di AS – Bernie Madoff dihukum 150 tahun dan dimiskinkan. Namun, di sini, bisa ditanyakan pada rumbut yang bergoyang, ho ho ho…
Pada akhirnya, untuk investor, tetaplah hati-hati. Teliti sebelum investasi, dan sudah tentu jangan serakah, karena serakah akan mengubur investasi tanpa dasar. (*)
Jakarta – Ekonom Senior Core Indonesia Hendri Saparini mengatakan masih terdapat gap yang tinggi antara kebutuhan pendanaan… Read More
Suasana saat penantanganan kerja sama Bank Mandiri dengan PT Delta Mitra Sejahtera dengan membangun 1.012… Read More
Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) menyebut kinerja pasar modal Indonesia masih akan mengalami… Read More
Jakarta - PT Bank Central Asia Tbk (BCA) menyesuaikan jadwal operasional kantor cabang sepanjang periode… Read More
Jakarta - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada hari ini (19/12) kembali ditutup merah ke… Read More
Jakarta - Senior Ekonom INDEF Tauhid Ahmad menilai, perlambatan ekonomi dua negara adidaya, yakni Amerika… Read More