Oleh Setiawan Budi Utomo, Pemerhati Keuangan Syariah dan Kebijakan Publik
PERTUMBUHAN aset keuangan syariah Indonesia dalam beberapa tahun terakhir patut diapresiasi. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat bahwa pada akhir 2024 total aset keuangan syariah nasional tidak termasuk kapitalisasi saham syariah telah mencapai sekitar Rp2.883 triliun, dengan perbankan syariah sebesar Rp980 triliun, pasar modal syariah Rp1.733 triliun, dan industri keuangan nonbank (IKNB) syariah sekitar Rp170 triliun. Tren ini tidak berhenti; pada Oktober 2025, aset perbankan syariah telah menembus Rp1.028 triliun, tumbuh lebih dari 11 persen secara tahunan menurut Statistik Perbankan Syariah OJK.
Namun, di balik angka-angka impresif tersebut, muncul satu pertanyaan mendasar: sejauh mana pertumbuhan aset keuangan syariah benar-benar menjelma menjadi daya ungkit ekonomi riil yang berkontribusi pada pencapaian target visi jangka panjang menuju pertumbuhan ekonomi nasional Indonesia 8 persen di 2030? Lebih spesifik lagi, apakah ekspansi tersebut telah secara signifikan mendorong peningkatan skala, produktivitas, dan daya saing UMKM yang menjadi tulang punggung perekonomian nasional?
Data Badan Pusat Statistik dan Kementerian Koperasi dan UKM menunjukkan bahwa UMKM menyumbang lebih dari 60 persen PDB nasional dan menyerap sekitar 97 persen tenaga kerja, tetapi kontribusinya terhadap ekspor nasional masih berkisar 15 persen -16 persen. Fakta ini mengindikasikan adanya kesenjangan struktural: UMKM kuat di pasar domestik, tetapi belum sepenuhnya terintegrasi dalam rantai nilai bernilai tambah tinggi, baik di tingkat nasional maupun global. Di sinilah persoalan integrasi antara keuangan syariah dan UMKM menemukan urgensinya.
Selama ini, pengembangan keuangan syariah cenderung bergerak secara sektoral. Perbankan syariah fokus pada fungsi intermediasi, pasar modal syariah pada pendalaman instrumen seperti sukuk dan reksa dana, IKNB syariah pada proteksi risiko melalui asuransi dan penjaminan selain pembiayaan, sementara zakat dan wakaf lebih dominan berada dalam kerangka filantropi. Pendekatan ini memang menghasilkan pertumbuhan industri, tetapi belum sepenuhnya menghasilkan daya ungkit ekonomi yang maksimal karena ketiadaan orkestrasi ekosistem yang mampu mengubah pertumbuhan finansial menjadi pertumbuhan ekonomi riil yang inklusif.
Padahal, secara konseptual dan empiris, keuangan syariah memiliki keunggulan struktural untuk mendorong UMKM. Pembiayaan syariah berbasis aset dan aktivitas riil sejalan dengan karakter usaha produktif. Instrumen pasar modal syariah terutama sukuk menyediakan pembiayaan jangka menengah dan panjang yang sangat dibutuhkan untuk ekspansi usaha dan pembangunan infrastruktur pendukung. Asuransi dan penjaminan syariah berperan sebagai peredam risiko. Lebih dari itu, keuangan sosial Islam zakat dan wakaf memiliki potensi besar sebagai instrumen penurun risiko yang tidak dimiliki sistem keuangan konvensional.
Kekuatan utama keuangan syariah justru terletak pada kemampuannya menjembatani sektor komersial dan sosial, serta menghubungkan sektor keuangan dengan aktivitas ekonomi riil secara langsung. Oleh karena itu, integrasi perlu dibangun pada tiga level utama, yaitu (1) integrasi antarsektor jasa keuangan syariah, (2) integrasi keuangan syariah dengan sektor ekonomi riil (UMKM dan industri halal), dan (3) integrasi keuangan komersial syariah dengan keuangan sosial Islam melalui skema shariah blended finance.
Baca juga: Bank Syariah Nasional (BSN) Resmi Beroperasi
Keuangan syariah Indonesia telah memiliki arsitektur kelembagaan yang cukup kuat dan lengkap, mulai dari bank syariah, pasar modal syariah, asuransi dan penjaminan syariah, berbagai lembaga pembiayaan hingga lembaga zakat dan wakaf. Skala aset yang besar memberi ruang pembiayaan jangka pendek hingga jangka panjang. Selain itu, karakteristik pembiayaan syariah yang berbasis aktivitas riil menjadikannya selaras secara konseptual dengan kebutuhan UMKM.
Sementara itu, kelemahan utama keuangan syariah terletak pada fragmentasi data UMKM, keterbatasan pencatatan keuangan, dan desain produk pembiayaan yang masih bersifat generik. Integrasi antara pembiayaan, proteksi risiko, dan pendampingan usaha belum berjalan optimal. Dana sosial Islam juga masih dominan bersifat karitatif dan belum terhubung secara sistemis dengan pembiayaan produktif yang dikelola secara sistematis.
Peluang sangat besar untuk pengembangan keuangan syariah baik secara supply side melalui pengembangan inovasi produk dan penguatan kapastitas dan infrastruktur, maupun secara demand side melalui pengembangan pasar. Keuangan syariah dapat menangkap peluang untuk menggarap pasar domestik yang masih sangat terbuka luas dan menangkap peluang pertumbuhan industri halal global, digitalisasi sistem pembayaran dan transaksi, serta meningkatnya minat investor terhadap instrumen berkelanjutan dan berdampak (impact investing). Skema blended finance membuka peluang untuk menurunkan risiko pembiayaan UMKM secara struktural.
Selain itu, perlu antisipasi yang baik terhadap ancaman yang muncul dari moral hazard pembiayaan UMKM, volatilitas harga dan permintaan, serta kompetisi dari platform pembiayaan nonbank yang lebih lincah. Tanpa integrasi dan tata kelola yang kuat, risiko pembiayaan dapat meningkat dan menggerus kepercayaan publik.
Pengalaman internasional menunjukkan bahwa integrasi tersebut bukan sekadar wacana. Di Malaysia, keuangan syariah berkembang melalui orkestrasi lintas sektor yang konsisten. Sukuk tidak hanya menjadi instrumen pembiayaan fiskal atau korporasi besar, tetapi juga diarahkan untuk membiayai proyek produktif yang melibatkan UMKM sebagai bagian dari rantai pasok.
Perbankan syariah berperan sebagai custodian bank dan facility agent, sementara takaful dan lembaga penjaminan syariah menyediakan perlindungan risiko usaha. Wakaf produktif dimanfaatkan untuk membangun infrastruktur halal seperti halal hub dan pusat logistik. Pendekatan ini didukung oleh kerangka kebijakan yang solid sebagaimana tecermin dalam Islamic Financial Services Industry Stability Report yang diterbitkan oleh Islamic Financial Services Board (IFSB).
Model serupa terlihat di Uni Emirat Arab, khususnya Dubai. Di sana, pembiayaan syariah berbasis proyek menjadi pintu masuk integrasi UMKM ke dalam proyek besar yang dibiayai melalui sukuk. UMKM tidak dibiayai secara individual dengan risiko tinggi, tetapi ditempatkan sebagai vendor, kontraktor, dan pemasok dalam proyek yang memiliki arus kas jelas dan perlindungan risiko yang memadai. Dengan cara ini, UMKM menjadi lebih bankable, sementara lembaga keuangan syariah memperoleh kualitas aset yang lebih terjaga.
Sementara itu, Bangladesh memberikan pelajaran penting tentang integrasi keuangan sosial dan komersial. Studi World Bank dan IFSB menunjukkan bahwa dana zakat dan wakaf yang digunakan sebagai modal awal, pendampingan, dan peningkatan kapasitas usaha mampu menurunkan tingkat gagal bayar ketika UMKM kemudian mengakses pembiayaan mikro syariah komersial. Keuangan sosial tidak diposisikan sebagai pesaing keuangan komersial, melainkan sebagai fondasi pengurang risiko yang memperkuat keberlanjutan usaha.
Pembelajaran global tersebut relevan bagi Indonesia. Dengan aset pasar modal syariah yang telah mencapai Rp1.733 triliun pada 2024, menurut OJK, peluang untuk membangun ekosistem sukuk terintegrasi berbasis klaster UMKM dan industri halal terbuka lebar. Sukuk tematik dapat diterbitkan untuk membiayai proyek-proyek dalam rantai nilai halal pangan, fesyen muslim, farmasi tradisional, maupun pariwisata ramah muslim yang selama ini didominasi UMKM.
Dalam skema ini, pasar modal syariah menyediakan dana jangka panjang; perbankan syariah berperan sebagai bank kustodi dan penyalur pembiayaan turunan; asuransi dan penjaminan syariah menyediakan insurance coverage; dan UMKM menjadi aktor utama dalam rantai pasok proyek.
Integrasi juga perlu hadir pada level produk. Pembiayaan UMKM syariah seharusnya tidak lagi berdiri sendiri, melainkan hadir sebagai paket ekosistem. Setiap pembiayaan disertai perlindungan asuransi jiwa pembiayaan, asuransi usaha mikro, dan perlindungan kesehatan pelaku UMKM. Praktik ini lazim dalam industri takaful global dan terbukti meningkatkan ketahanan usaha sekaligus menurunkan risiko pembiayaan, sebagaimana dicatat dalam Global Islamic Economy Report (DinarStandard).
Dimensi yang tidak kalah penting adalah pemberdayaan sosial yang terintegrasi. Zakat, infak, dan sedekah dapat difokuskan pada modal awal, pelatihan, dan sertifikasi usaha. Wakaf produktif diarahkan untuk penyediaan aset bersama, seperti mesin, kios, dan rumah produksi. Setelah usaha mencapai skala dan tata kelola tertentu, perbankan syariah masuk dengan pembiayaan kerja, IKNB syariah menyediakan perlindungan risiko, dan pasar modal syariah mendukung ekspansi klaster melalui sukuk atau reksa dana tematik. Alur ini sejalan dengan rekomendasi penguatan keuangan sosial produktif yang juga didorong oleh World Bank dan IFSB.
Baca juga: OJK Luncurkan Buku Khutbah Syariah Muamalah Perkuat Literasi PPDP
Pada akhirnya, tantangan utama pengembangan keuangan syariah dan UMKM di Indonesia bukanlah keterbatasan aset, instrumen, atau kelembagaan. Tantangan sesungguhnya adalah bagaimana mengorkestrasikan seluruh potensi tersebut dalam satu ekosistem yang terintegrasi dan berorientasi pada ekonomi riil. Pertumbuhan aset yang tinggi tanpa daya ungkit terhadap produktivitas UMKM berisiko menjadikan keuangan syariah sekadar besar secara statistik, tetapi belum strategis secara ekonomi.
Sebaliknya, ketika perbankan syariah, pasar modal syariah, IKNB syariah, dan keuangan sosial Islam bergerak dalam satu orkestrasi kebijakan dan bisnis yang selaras, keuangan syariah dapat menjadi arsitektur pembangunan ekonomi nasional yang inklusif, stabil, dan berkelanjutan. Integrasi inilah yang akan mengubah pertumbuhan aset menjadi pertumbuhan nilai tambah, mengangkat UMKM naik kelas, serta memastikan bahwa keuangan syariah tidak hanya tumbuh besar, tetapi juga bermakna bagi ekonomi riil Indonesia.
Poin Penting BWS meraih penghargaan sebagai Bank Kontributor JIBOR 2025 dari Bank Indonesia atas kontribusinya… Read More
Poin Penting IHSG ditutup naik 1,25 persen ke level 8.644 pada perdagangan 29 Desember 2025.… Read More
Poin Penting INDEF menilai pertumbuhan ekonomi 6 persen hanya bisa dicapai jika kredit perbankan naik… Read More
Poin Penting INDEF menilai pertumbuhan ekonomi pascapandemi belum diikuti perbaikan upah riil. Meski pengangguran turun,… Read More
Poin Penting INDEF mendorong investasi, ekspor, dan belanja pemerintah sebagai motor baru pertumbuhan ekonomi. Target… Read More
Poin Penting IHSG sesi I menguat 0,87 persen ke level 8.612,47 dengan nilai transaksi mencapai… Read More