News Update

Insentif Perpajakan Efektif Ringankan Dampak Covid-19

Jakarta – RSM Indonesia, akuntan publik dan konsultan perpajakan di Indonesia, menilai insentif pajak bagi wajib pajak terdampak pandemi corona virus disease 2019 (Covid-19) yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 44 Tahun 2020 efektif bisa meringankan wajib pajak. Namun demikian perlu dicatat perihal jangka waktu fasilitas tersebut.

“Dalam aturan PMK Nomor 44 disebutkan fasilitas tersebut berlaku untuk masa pajak April – September 2020. Kami berharap akan pendemi ini cepat berlalu, namun demikian pemulihan ekonomi tidak diantisipasi akan kembali normal dalam hanya 6 bulan,” ujar Managing Partner Tax RSM Indonesia Ichwan Sukardi dalam keterangannya di Jakarta, Selasa, 26 Mei 2020.

Ia menyatakan beberapa pihak mengusulkan tambahan waktu fasilitas ini, paling tidak untuk jangka waktu 6 bulan lagi. Selain itu, ada beberapa sektor lain yang juga belum mendapatkan fasilitas insentif. Menurutnya, insentif perpajakan yang diberikan oleh pemerintah bagi wajib pajak yang terdampak wabah Covid-19 terdapat dalam 2 peraturan utama:

Pertama, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 tahun 2020 (“PERPPU-1) – tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi COVID-19 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Stabilitas Sitem Keuangan.

Ada beberapa point yang berhubungan dengan perpajakan, yakni Penurunan Tariff PPh Badan, dari 25% menjadi 22% untuk tahun pajak 2020 dan 2021, dan menjadi 20% untuk tahun pajak 2022 dan seterusnya.

Menurut Ichwan, penurunan PPh Badan ini sudah diusulkan menjadi bagian dari OMNIBUS TAX LAW, namun dirasa perlu untuk dipercepat guna memberikan insentif bagi wajib pajak. Penurunan tarif pajak sudah menjadi tren di regional dan memang Indonesia harus berkompetisi menawarkan skema perpajakan yang lebih menarik bagi investasi asing, salah satunya adalah tarif pajak yang kompetitif dibanding dengan negara tetangga.

Kedua Perlakuan Perpajakan Dalam Kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (“PMSE”), biasanya dikenal dengan sebutan Perlakuan Perpajakan atas Transaksi e-commerce. Pemerintah melalui PERPPU Nomor 1 ini menetapkan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (“PPN”) dan Pajak Penghasilan (“PPh”) bagi pelaku PMSE yang terdiri dari Pedagang Luar Negeri, Penyedia Jasa Luar Negeri, Penyelenggara PMSE Luar Negeri, dan Penyelenggara PMSE Dalam Negeri yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.

PMSE akan dikenakan PPN, di mana PPN dipungut, disetor dan dilaporkan oleh keempat pelaku PMSE tersebut.

Sedangkan pengenaan PPh akan dilakukan melalui tes apakah ada Kehadiran Ekonomi Signifikan yang akan diukur melalui beberapa parameter seperti: Peredaran Bruto group, Jumlah penjualan di Indonesia, dan Pengguna aktif media digital di Indonesia. Pengenaan Pajak atas PMSE tersebut akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan dan juga Peraturan Pemerintah.

Ia menilai pemajakan atas transaksi e-commerce dari wajib pajak luar negeri (WPDN) bukan hanya menjadi masalah di Indonesia, namun juga diseluruh dunia. Negara-negara OECD melalui inisiatif Base Erosion and Profit Shifting (“BEPS”) sudah meluncurkan usulan untuk melakukan terobosan pengenaan pajak atas transaksi ini yang disebut BEPS Action 1 Taxation of Digital Economy.

Negara-negara lain seperti Australia, Inggris, India dan Jepang sudah lebih dahulu melakukan pengenaan pajak atas transaksi ini dengan berbagai macam cara. Namun demikian, BEPS action 1 ini masih menjadi perdebatan tetapi diharapkan akan mencapai konsensus global di akhir tahun 2020 ini. Diharapkan dicapai konsensus bagaimana pengenaan pajak atas transaksi digital atau e-commerce ini.

“Pemerintah Indonesia, dengan merujuk kepada kasus pajak atas perusahaan e-commerce sebelumnya melihat ada potensi penerimaan yang cukup signifikan dan diharapkan dapat menjadi potensi penerimaan pajak menggantikan sektor lain yang terimbas COVID-19. Namun demikian, untuk pengenaan PPh, tampaknya Indonesia memang harus masih menunggu bagaimana hasil konsensus global diakhir 2020 ini,” ungkap Ichwan.

Perpanjangan waktu dalam pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakan. Dalam hal ini insentif diberikan baik bagi wajib pajak dan juga bagi Dirjen Pajak

Ia menyatakan pada masa terjadinya pembatasan kegiatan, bisa berdampak sulitnya memenuhi tenggat waktu pemenuhan kewajiban perpajakan seperti penyampaian surat keberatan. PERPPU-1 ini memberikan tambahan waktu bagi wajib pajak.

Hal ini tentu sangat membantu wajib pajak untuk mempersiapkan segalanya di waktu yang lebih baik setelah wabah berkurang atau berlalu. Penambahan waktu ini dihitung dari penetapan BNPB mengenai keadaan kahar.

Pemberian kewenangan bagi Menteri Keuangan untuk Memberikan Pembebasan atau Keringanan Bea Masuk bagi Importasi barang untuk kepentingan penanganan COVID-19 dan juga untuk penganganan ancaman yang membahayakan sistem keuangan.

Ichwan menjelaskan, untuk mempercepat proses penaganan ini, memang diperlukan kewenangan kepada Menteri Keuangan agar proses persetujuan menjadi lebih cepat. Sebelumnya, hal ini harus diatur dalam Undang-undang.

Kedua, Peraturan Menteri Keuangan No. 44/PMK/03/2020 (“PMK 44”) mengatur insentif pajak dalam beberapa bentuk.

Ia menambahkan PMK 44 merupakan revisi dari PMK 23 yang juga memberikan fasilitas yang sama, namun dengan pertimbangan dampak dan juga masukan dari pelaku industri dan masyarakat – perlu perluasan sektor yang mendapatkan insentif perpajakan tersebut.

“Secara umum wajib pajak terdampak akan sangat terbantu dengan adanya PMK ini dan diharapkan dapat meningkatkan daya beli masyarakan dari PPh 21 DTP, dan juga memberikan keringanan bagi wajib pajak terdampak untuk jenis pajak PPh 22, Restitusi PPN dan PPh Final Sektor UMKM,” ujar RSM.

Oleh karena itu, pihaknya menyatakan sangat mendukung insentif dan fasilitas yang diberikan oleh pemerintah terkait antisipasi dampak pandemi Covid-19. Namun, RSM Indonesia mencatat beberapa rekomendasi sebagai berikut :

PERPPU Nomor 1 yang sudah ditetapkan sebagai Undang-Undang No.2/2020 : perlu adanya pertimbangan pemerintah tentang pengenaan pajak atas transaksi e-commerce, utamanya soal international best practice dan juga apakah sebaikknya menunggu hingga konsensus global tercapai di akhir tahun 2020 agar dapat mengeluarkan Peraturan Pemerintah.

PMK Nomor 44, Pemerintah perlu juga melihat sektor-sektor terdampak lainnya yang belum tercakup dalam PMK 44 – meskipun saat ini cakupan sektor sudah diperluas dibandingkan dalam PMK 23. Diyakini, dampak COVID-19 ini mencakup hampir semua sektor dan lini bisnis.

PMK juga perlu mempertimbangkan penambahan jangka waktu pemberian fasilitas dari sekarang 6 bulan menjadi jangka waktu yang lebih panjang dengan mempertimbangkan perkembangan kasus Covid-19 dan dampaknya. (*)

Dwitya Putra

Recent Posts

Dukung Ekosistem Syariah, CIMB Niaga Kembali Gelar Haya Festival 2024

Jakarta - Unit Usaha Syariah (UUS) PT Bank CIMB Niaga Tbk (CIMB Niaga Syariah) kembali menyelenggarakan… Read More

2 hours ago

Memahami Pelonggaran Kebijakan Moneter The Fed

Oleh Ryan Kiryanto, Ekonom Senior dan Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia MOMEN presentasi tiga… Read More

2 hours ago

BCA Digital Belum Ingin Keluarkan Produk Paylater: Kami Fokus Bantu Kelola Keuangan

Jakarta - Produk buy now pay later (BNPL) atau paylater mulai digandrungi oleh pelaku industri… Read More

2 hours ago

Bos BRI Kasih Bocoran Laba Bersih Kuartal III 2024

Jakarta - PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) memproyeksikan laba bersih di kuartal III… Read More

2 hours ago

LPEI Dorong UMKM ‘Naik Kelas’ di TEI 2024, Berikut Daftarnya

Jakarta – Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) terus berupaya mendorong pelaku usaha untuk ‘naik kelas’ dan… Read More

2 hours ago

Lanjut Melemah, IHSG Ditutup Terkoreksi Sebanyak 0,74 Persen

Jakarta – Indeks harga saham gabungan (IHSG) pada hari ini, Rabu, 9 Oktober 2024, ditutup… Read More

3 hours ago