Jakarta – Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) siap memfasilitasi para pelaku usaha financial technology (fintech) yang mengeluh kesulitan dalam menyikapi inkonsitensi regulasi yang diterapkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Komisi XI DPR-RI tak akan ragu untuk memanggil OJK jika para pelaku fintech melaporkan kesulitannya ke parlemen.
Anggota Komisi XI DPR RI Hendrawan Supraktino mengatakan, regulasi yang konsisten dan visioner sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan suatu industri ke depannya. Jika tidak konsisten, dunia usaha menurutnya dipasikan akan kesulitan, tidak terkecuali mengenai aturan terhadap para penyelenggara fintech yang sedang mengejar izin permanen dari regulator.
Karena itu, apabila penyelenggara fintech merasa ada aturan yang tidak konsisten dan cenderung mempersulit perolehan izinnya, pelaku fintech diminta melaporkan keluhannya kepada DPR, baik ke Komisi XI ataupun 10 fraksi yang ada di DPR. Jika ada keluhan yang masuk, DPR siap memanggil OJK maupun pihak terkait lainnya, untuk menjelaskan dan mencari solusinya.
“Intinya, tolong kalau ada keluhan atau kesulitan, jangan segan-segan untuk menyampaikannya ke Komisi XI DPR,” ujar Hendrawan seperti dikutip dalam keterangannya di Jakarta, Kamis, 16 Agustus 2018.
Dengan melaporkan keluhannya ke DPR, proses perizinan diharapkan juga bisa lebih cepat karena ada dorongan dari DPR-RI. Untuk saat ini sendiri mengenai aturan yang tampak inkonsisten karena terus berubah, Hendrawan menyatakan, siap mengecek apa saja yang diubah. “Nanti Komisi XI akan membicarakan ini dengan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan,” ucapnya.
Dirinya berupaya memahami adanya aturan ketat terkait industri fintech, sebagai bentuk kehati-hatian dari otoritas terkait untuk mencegah oportunisme. Akan tetapi, ia menegaskan, tidak dibenarkan juga jika aturan menjadi inkonsisten. Hal tersebut justru bisa memicu banyak fintech ilegal yang beredar tanpa izin.
Padahal akhir Juli lalu, OJK baru merilis adanya 227 fintech yang beroperasi ilegal. Jumlah ini bisa saja bertambah jika izin kian sulit diperoleh. “Karena itu, perlu diberi masukan apa yang mempersulit pelaku usaha agar kita melakukan kontrol. Karena DPR itu lembaga kontrol,” tukasnya.
Senada, Anggota Komisi XI lainnya Amir Uskara juga melihat, aturan fintech yang berubah-ubah kerap menjadi keluhan pelaku usaha. Mengenai aturan yang ketat, ia memandang hal tersebut memang diperlukan untuk mengamankan kepentingan masyarakat. Hanya saja, aturan yang dibuat harusnya bisa sekonsisten mungkin.
“Saya berharap OJK konsisten dengan aturan-aturan yang dibuatnya,” tegasnya.
Lebih lanjut dirinya memaparkan, agar iklim usaha fintech kondusif, OJK mesti terus melakukan pembinaan terhadap perusahaan yang ada. Namun, otoritas tidak boleh mengenyampingkan pembukaan ruang yang seluas-luasnya untuk penyelenggara fintech yang belum memperoleh izin.
Sebelumnya Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK, Hendrikus Passagi, pernah mengatakan, bahwa aturan terkait perolehan izin di fintech memang bersifat dinamis. Perubahan bisa terjadi bergantung kondisi di dunia maupun dalam negeri.
Pengetatan aturan turunan dari POJK Nomor 77 Tahun 2016 pun dibuat sebagai tanggapan dari kasus penutupan hampir 200 fintech di China. Tujuannya agar fintech yang kelak memperoleh izin permanen adalah fintech yang benar-benar terpercaya dan kompeten.
“Jadi, saya lebih memilih hanya ada satu atau dua fintech lending yang benar-benar kuat, sehat, dan tahan banting daripada kita mempunyai 100 fintech yang membuat rakyat panik,” paparnya.
Untuk diketahui, saat ini baru satu fintech yang mengantongi izin permanen sebagai penyelenggara fintech di Indonesia. Sebanyak 62 penyelenggara fintech lainnya baru memperoleh status terdaftar di OJK. Pelaku fintech yang terdaftar ini harus segera mengantongi izin permanen maksimal setahun semenjak memperoleh status terdaftarnya.
Sementara itu, peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yuhistira mengungkapkan, makin sedikitnya fintech berizin berarti juga menyuburkan fintech-fintech ilegal bertebaran. Di mana fintech tak resmi ini sudah pasti lolos dari pengawasan OJK.
“Potential lost-nya kalau jumlah fintech kalau berizinnya sedikit pastinya nanti ada risiko yang ditanggung masyarakat. Kayak kasus Rupiah Plus kemarin. Nanti ke mana-mana. Kalau tidak berizin, OJK susah dong memberikan sanksi atau teguran yang sifatnya antisipatif,” tuturnya. (*)
Jakarta - Perusahaan pembiayaan PT Home Credit Indonesia (Home Credit) terus berupaya meningkatkan inklusi keuangan… Read More
Jakarta - Hilirisasi nikel di Pulau Obi, Maluku Utara membuat ekonomi desa sekitar tumbuh dua… Read More
Jakarta - Menteri Koperasi (Menkop) Budi Arie Setiadi mendukung langkah Induk Koperasi Unit Desa (Inkud)… Read More
Jakarta - PT Bank Central Asia Tbk (BCA) untuk pertama kalinya menggelar kompetisi Runvestasi pada… Read More
Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) memberi tanggapan terkait penutupan Indeks Harga Saham Gabungan… Read More
Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) bersama Self-Regulatory Organization (SRO), dengan dukungan dari Otoritas… Read More