oleh Agung Galih Satwiko
JUMLAH nominal obligasi negara maju, khususnya di Eropa dan Jepang yang memberikan imbal hasil negatif, pada awal tahun 2016 menyentuh rekor baru. Jika pada pertengahan tahun 2014 lalu jumlah nominal obligasi negara yang memberikan imbal hasil negatif masih di bawah USD500 miliar, dan pada pertengahan 2015 masih di sekitar USD1 triliun, maka per tanggal 9 Februari 2016 lalu jumlah ini sudah mencapai USD7 triliun (sumber: Bloomberg Global Developed Sovereign Bond Index). Kenaikan ini tentu sangat signifikan.
Data yield obligasi negara minggu lalu menunjukkan bahwa yield obligasi negara Swiss untuk tenor 1 tahun sampai 15 tahun sudah menyentuh level negatif (yield 10 tahun sebesar -0,39%). Sementara yield Japan Government Bonds (JGB) semua tenor sampai tenor 10 tahun sudah menyentuh level negatif (yield 10 tahun sebesar -0,06%). Yield German Bunds sudah menyentuh level negatif untuk semua tenor sampai dengan tenor 8 tahun (yield 10 tahun sebesar 0,15%). Yield obligasi negara Pemerintah Prancis telah menjadi negatif sampai tenor 5 tahun (yield 5 tahun sebesar -0,09%, 10 tahun sebesar 0,52%). Rekor yield obligasi negara terendah masih dipegang oleh Swiss yaitu sebesar minus 1,07% untuk tenor dua tahun, minggu lalu.
Penurunan yield hingga menjadi negative tersebut tidak hanya disebabkan oleh turunnya tingkat bunga bank sentral di negara Eropa (yang terakhir adalah ECB dan Swedish Riksbank) dan Jepang, namun juga akibat sentimen pelaku pasar modal yang banyak mengambil posisi aman dengan membeli safe haven asset dalam kondisi volatilitas pasar keuangan global, pelambatan ekonomi di negara berkembang dan China, serta jatuhnya harga komoditas dan minyak.
Implikasi negative yield bagi investor adalah secara praktis investor membayar mahal dengan premium yang tinggi untuk membeli obligasi negara tersebut namun menghasilkan total return yang lebih rendah dibandingkan investasi awal. Dengan kata lain investor justru kehilangan uang atau menerima lebih rendah dari yang diinvestasikannya, jika membeli obligasi negara dengan yield negatif dan memegangnya sampai jatuh tempo. Hal ini dengan asumsi reinvestment rate, yaitu tingkat bunga reinvestasi kupon yang diterima, sama dengan yield to maturity.
Jadi semisal suatu obligasi negara memiliki kupon 1% per tahun dengan sisa tenor 10 tahun, investor yang membeli obligasi tersebut dengan yield -0,5% harus membayar USD115,4 per USD100 par. Berapa yang akan diterima jika investor tersebut menahan sampai jatuh tempo? Dengan asumsi reinvestment rate sama dengan yield yaitu sebesar -0,5%, maka sampai akhir jatuh tempo keseluruhan jumlah yang akan diperoleh investor adalah sebesar 109,8, lebih rendah dibandingkan nominal USD100 ditambah USD10 kupon (USD1 per pembayaran kupon, 10 kali) atau USD110. Investor menderita kerugian sebesar USD115,4 dikurangi USD109,8 yaitu USD5,6 untuk investasinya tersebut.
Bagaimana agar investor untung saat membeli obligasi negara dengan yield negatif? Terdapat dua cara, yaitu yang pertama reinvestment rate harus tinggi, dan yang kedua yield harus terus menjadi semakin negatif dan investor menjualnya sebelum jatuh tempo (membukukan capital gain). Reinvestment rate yang tinggi merupakan pilihan yang sulit karena dalam kondisi saat ini tidak banyak alternatif investasi yang aman dengan tingkat imbal hasil yang tinggi. Dalam contoh di atas, agar breakeven, investor harus mencari instrumen investasi yang memberikan reinvestment rate sebesar 9,3%, yang mana sulit diperoleh dalam kondisi tingkat bunga rendah saat ini.
Dengan demikian, dalam kondisi saat ini yang paling memungkinkan bagi investor yang membeli obligasi negara dengan yield negatif dan mengharapkan keuntungan adalah dengan menjual sebelum jatuh tempo dalam kondisi yield yang terus turun dan memperoleh capital gain. Itupun investor masih dihadapkan pada kenyataan bahwa uang yang diperolehnya dari hasil penjualan tersebut masih harus diinvestasikan pada obligasi negara dengan yield yang sudah semakin negatif.
Dalam kondisi saat ini sejatinya tidak banyak investor yang mengharapkan akan keuntungan dari investasi di obligasi negara dengan yield negatif, karena motivasi utama investor adalah agar dana kelolaannya aman. Investor yang menginvestasikan dananya di pasar saham berpotensi memberikan kerugian yang lebih besar daripada jika berinvestasi di obligasi negara dengan yield negatif. Motivasi ini yang membuat investor kemudian semakin banyak mengoleksi obligasi negara dengan yield negatif, yang tentu akan membuat yield obligasi negara menjadi semakin negatif. Bagi investor, kerugian sebesar 10 lebih baik daripada kerugian sebesar 50. Return sebesar -0,5% lebih baik daripada investasi di Shanghai Composite yang memberikan return -21% year to date 2016.
Selain itu terdapat pula fund manager yang mengelola dananya dengan mengacu pada benchmark kelompok obligasi negara maju. Dengan demikian berapapun yield yang ditawarkan harus diambil agar komposisi investasinya tidak berubah. Bagi fund manager dan investor di belakangnya, ketepatan atau kesesuaian return portofolio dana kelolaan dengan benchmark lebih relevan dibandingkan besarnya return itu sendiri. Di sisi lain terdapat pula investor yang menerapkan barbell strategy, yaitu membeli obligasi negara tenor pendek yang memberikan yield negatif dan mengombinasikannya dengan obligasi tenor panjang yang masih memberikan yield positif.
Negative bond yield juga menunjukkan proyeksi pesimis pelaku pasar dan stakeholder terkait terhadap kondisi perkonomian ke depan. Terdapat potensi pelambatan ekonomi ke depan yang berdampak pada meningkatnya risiko default korporasi dan juga deflasi. Jika negative bond yield ditandingkan dengan tingkat deflasi yang lebih besar, maka real return akan positif. Investor masih akan memperoleh real return yang positif dengan membeli obligasi negara dengan yield negatif.
Apa dampak bagi Indonesia? Seharusnya secara logika penurunan yield obligasi negara di negara maju akan membuat yield obligasi negara dalam valas ikut turun. Dan memang data menunjukkan hal tersebut. Yield obligasi negara dalam USD yang jatuh tempo 8 Januari 2026 (tenor 10 tahun) dengan kupon 4,75%, imbal hasilnya turun dari sekitar 5,19% pada pertengahan Desember 2015 menjadi 4,34% pada hari Jumat 26 Februari 2016, atau turun 85 bps (year to date turun 54 bps). Investor membukukan keuntungan dari capital gain karena penurunan yield tersebut, sementara Pemerintah Indonesia diuntungkan dengan cost of fund yang lebih rendah apabila berencana menerbitkan kembali SBN (Surat Berharga negara) valas.
Indonesia juga akan diuntungkan melalui penurunan SBN dalam denominasi Rupiah. Mengapa demikian? Karena turunnya tingkat bunga global akan ditransmisikan ke turunnya bunga dalam Rupiah. Selain karena faktor teknikal seperti interest rate parity, juga karena faktor fundamental Indonesia yang dipersepsikan lebih baik. Yield SUN (Surat Utang negara) Rupiah tenor 10 tahun hari Jumat 26 Februari 2016 mencapai 8,26% telah turun 48 bps sejak awal tahun. (*)
Penulis adalah Staf Wakil Ketua DK OJK
Jakarta - Kinerja fungsi intermediasi Bank Jasa Jakarta (Bank Saqu) menunjukkan hasil yang sangat baik… Read More
Jakarta - Presiden Prabowo Subianto menegaskan komitmen Indonesia untuk mendukung upaya PBB dalam mewujudkan perdamaian dan keadilan internasional. Termasuk… Read More
Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat outstanding paylater atau Buy Now Pay Later (BNPL) di perbankan… Read More
Jakarta - Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) menargetkan jumlah agen asuransi umum mencapai 500 ribu… Read More
Jakarta – Di tengah fenomena makan tabungan alias mantab akhir-akhir ini, pertumbuhan antara ‘orang-orang tajir’… Read More
Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut tren pertumbuhan UMKM cenderung melambat, sejalan dengan risiko kredit UMKM… Read More