Ekonomi dan Bisnis

Ini Biang Kerok Sulitnya Transisi Renewable Energy di Indonesia

Jakarta – Ketua Dewan Direktur INA (Indonesia Investment Authority), Ridha DM Wirakusumah membeberkan biang kerok dari sulitnya penerapan green financing (pembiayaan hijau) dan renewable energy (energi baru terbarukan/EBT) di Tanah Air, dikarenakan sulitnya proyek berbasis hijau.

Apalagi, sebagian besar dari proyek hijau atau renewable energy masih bersaing dengan energi batu bara (coal) yang disubsidi pemerintah.

Dia mencontohkan, seperti listrik di Indonesia yang sebagian besar didominasi oleh energi batu bara (coal). Kapasitas dari listrik di Indonesia sebesar 70 gigawatt yang sekitar 20% adalah renewable atau sekitar 14 gigawatt. Sedangkan, Indonesia akan merencanakan mengembangkan kapasitas listrik menjadi 100 gigawatt yang di mana 30% menggunakan renewable energy atau menjadi 33 gigawatt.

“Masalahnya di Indonesia saat ini itu renewable energi tidak sesuai dengan energi coal yang disubsidi kalau di negara lain coal power itu mahal, make sanse untuk mereka lakukan renewable. Di Indonesia itu fuel coal kita murah jadi kalau mau bikin hydro atau solar atau wind kalau lawannya coal susah,” ujar Ridha dalam Rapat Umum Anggota Perbanas 2023, Kamis 20 Juli 2023.

Baca juga: Interkoneksi Jaringan ASEAN jadi Awal Capai Ketahanan Energi Terbarukan

Pembiayaan Hijau di Indonesia

Sementara itu, Ketua Badan Pengawas Perbanas, M. Chatib Basri mengatakan ada dua isu dari pembiayaan hijau di Indonesia, yaitu dari sisi supply dan demand financing.

Dalam kebijkan fiskal, dibutuhkan investasi sekitar 39% dari PDB untuk keluar dari middle income trap atau pertumbuhan ekonomi sebesar 6%, sedangkan saat ini tabungan domestik hanya 34% sehingga ada gap sebesar 5% antara saving dan investasi yang terefleksi dalam current account defisit.

Menurutnya, hal ini tetap harus mengombinasikan dari dua sisi, yaitu harus ada domestik resource mobilization yang datangnya bisa dari APBN dan pembiayaan asing. Jika melihat dari struktur APBN Indonesia yang tidak pro terhadap green, misalnya pemerintah masih mensubsidi coal.

“Langkah pertama dari sisi fiskal harus streamlining dari budget-nya tadi, tapi ini saja tidak cukup karena kita saving-nya 34% kebutuhannya sekitar 39% kalau kita mau tumbuh 6%. Artinya harus dicombine oleh pembiayaan luar,” jelasnya.

Baca juga: Mitra Investindo Jajal Peluang Bisnis Energi Terbarukan

Sehingga, tambahnya, pembiayaan dari World Bank (Bank Dunia) sangat penting karena bisa memperluas consession a loan-nya atau IMF (International Monetary Fund) dengan SDR-nya (Special Drawing Rights). (*)

Editor: Galih Pratama

Irawati

Recent Posts

Tabungan Jadi Prioritas atau Gaya Hidup? Simak Pandangan UOB Indonesia

Jakarta - UOB Indonesia memandang pentingnya literasi keuangan untuk membantu masyarakat memahami dan mengelola keuangan pribadi… Read More

3 hours ago

OJK Tegaskan Penghapusan Utang Kredit UMKM Tak Perlu Aturan Turunan

Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan bahwa penghapusan utang kredit usaha mikro, kecil, dan… Read More

5 hours ago

Strategi UNTD Hadapi Persaingan Motor Listrik di Tengah Pelemahan Daya Beli Masyarakat

Tangerang - PT Terang Dunia Internusa Tbk, menyiapkan sejumlah strategi khusus menghadapi pelemahan daya beli… Read More

7 hours ago

Gara-gara Kasus Investree, OJK Tegas Bakal Lakukan Ini ke Industri Fintech Lending

Jakarta - Kasus yang menimpa PT Investree Radhika Jaya atau Investree menyita perhatian masyarakat, dianggap… Read More

7 hours ago

Era Open Banking, OJK Wanti-wanti 3 Tantangan Ini ke Industri Perbankan

Jakarta - Istilah open banking mengacu kepada aksesibilitas data yang semakin terbuka, memungkinkan bank untuk… Read More

8 hours ago

Gelar Indonesia Knowledge Forum 2024, BCA Dorong Penguatan Sektor Bisnis

Jakarta - PT Bank Central Asia Tbk (BCA) menggelar Indonesia Knowledge Forum (IKF) 2024, di… Read More

8 hours ago