Oleh Karnoto Mohamad, Wakil Pemred Infobank
Hingga April 2021, industri asuransi jiwa mulai menggeliat namun terus dihantui kasus gagal bayar. Begitu juga dengan asuransi umum yang tahun lalu ramai-ramai mencatat penurunan kinerja dan tertekan beban usaha yang besar. Sedangkan kinerja industri multifinance masih melanjutkan penurunan dan sudah ada 12 perusahaan yang gugur di masa pandemi karena tidak bisa memenuhi ketentuan regulasi.
Menurut Kajian Biro Riset Infobank berjudul Rating 114 Asuransi dan 145 Multifinance 2021, merebaknya kasus kegagalan yang terjadi di sektor IKNB seperti asuransi dan multifinance bukan disebabkan karena pandemi COVID-19, tapi akibat faktor utama yang sudah terjadi sebelum pandemi datang.
Satu, faktor pemilik yang tidak memberikan dukungan baik permodalan maupun good corporate governance (GCG). Pemilik seharusnya mengangkat direksi yang bekerja secara profesional untuk kepentingan seluruh stakeholders dan adanya intervensi pemilik untuk kepentingan bisnis lainnya.
Banyak perusahaan keuangan menemui masalah ketika manajemen bekerja untuk kepentingan pemilik pengendali. Misalnya Kresna Life yang banyak menempatkan dana di reksadana besutan Kresna Asset Management yang di dalamnya berisikan saham-saham Grup Kresna PT Kresna Graha Investama Tbk, PT M-Cash Integrasi Tbk, dan PT Distribusi Voucher Nusantara Tbk.
Dua, faktor pengawasan OJK yang kurang mampu menelisik simpul kerawanan di sector keuangan karena terbatasnya kompetensi sumber daya manusia (SDM) terutama di bagian pengawasan.
Pengawasan OJK juga acapkali kalah “power” untuk menindak tegas lembaga keuangan yang pemegang sahamnya memiliki kekuatan politik seperti di BUMN. Jika Jiwasraya berstatus perusahaan swasta yang tidak terafiliasi dengan kekuasaan politik, OJK yang berdiri sejak 2013 untuk melakukan pengawasan terintegrasi pastinya lebih mudah menindak tegas karena Jiwasraya sebetulnya sudah insolvent Rp2,76 triliun dan ekuitas negatif Rp3,29 triliun pada 2004.
Kemudian dalam proses rekrutmen dan seleksi pengurus di lembaga keuangan. Semua profesional yang mengelola perusahaan asuransi dan multifinance sudah diseleksi OJK melalui fit and proper test, namun ada yang mengelola secara tidak professional bahkan di kemudian hari terungkap ikut terlibat dalam aktivitas yang merugikan perusahaan.
Tiga, faktor manajemen yang dalam membuat business plan hanya berorientasi kepada pertumbuhan dan mengabaikan risk management.
Perlu dicatat bahwa isu perusahaan keuangan bukan cuma tuntutan kebutuhan permodalan, tapi juga kerasnya kompetisi. Agar perusahaan tetap tumbuh, manajemen memilih strategi “jalan pintas” dengan membidik segmen-segmen yang berisiko tinggi.
Misalnya perusahaan multifinance papan bawah yang nekad membidik nasabah-nasabah KW3 dengan menawarkan suku bunga pembiayaan yang tinggi. Begitu juga perusahaan asuransi umum yang harus bertempur dengan tambahan biaya akuisisi dalam bentuk engineering fee yang besar agar tidak kehilangan pangsa pasar.
Sedangkan perusahaan asuransi jiwa yang seharusnya mengedukasi pasar mengenai pentingnya berasuransi malah berlomba menggenjot produksi premi dengan menjual produk berbasis investasi dengan bunga tetap dan lebih tinggi dari deposito. Untuk membayar return yang dijanjikan maka perusahaan asuransi harus menginvestasikan dananya ke saham-saham gorengan high risk.
Dalam kondisi pasar baik, cara berkompetisi yang tidak sehat tersebut bisa berjalan. Tapi ketika kondisi pasar menurun, saham gorengan nilainya sangat rendah dan sulit diperjualbelikan. Kondisi inilah yang menyebabkan Kresna Life terjerumus K-Lite, Jiwasraya terjerumus JS Saving Plan, atau Bakrie Life yang produk Diamond Investa. Begitu juga Wanaartha Life. Sedangkan kemelut di AJB Bumiputera yang insolvent disebabkan oleh lemahnya tata kelola dan kegagalan dalam melakukan restrukturisasi.
Tantangan industri jasa keuangan makin berat dengan adanya pandemi COVID-19 yang belum akan berakhir dalam jangka pendek. Masalah yang membelit sejumlah perusahaan asuransi harus menjadi pelajaran berharga agar IKNB bisa dikelola secara lebih baik dengan strategi pertumbuhan yang diperkuat risk management serta adanya pengawasan yang akuntabel, independen dan transparan. Pemilik juga harus berkomitmen mendukung perusahaannya agar memiliki kondisi keuangan yang sehat dan kuat yang tercermin dari permodalan.
Terbukti, perusahaan yang dimiliki pemegang saham dengan reputasi baik secara keuangan, memiliki daya tahan yang lebih baik dalam mengarungi masa sulit akibat pandemi COVID-19 maupun strategi bersaing yang lebih sehat pada masa pertumbuhan.
Lalu seperti apa kinerja mikro perusahaan-perusahaan asuransi dan multifinance yang ramai-ramai mencatat penurunan pendapatan bahkan sebagai pemain utama mengalami kerugian? Baca selengkapnya di Majalah Infobank 519 Juli 2021).
Jakarta – Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat volume impor susu Indonesia pada periode Januari-Oktober 2024 sebesar 257,30… Read More
Jakarta - PT Bank Digital BCA (BCA Digital) berhasil mencatatkan kinerja keuangan impresif pada kuartal… Read More
Jakarta - PT Bank Seabank Indonesia atau SeaBank kembali mencatat kinerja keuangan yang positif, ditandai… Read More
Jakarta – Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan impor pada Oktober 2024 sebesar USD21,94 miliar atau naik 16,54… Read More
Serang - PT Bank Pembangunan Daerah Banten Tbk (Bank Banten) berencana mengambil alih (take over)… Read More
Jakarta – Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan ekspor pada Oktober 2024 mengalami peningkatan. Tercatat, nilai ekspor Oktober… Read More