Oleh Cyrillus Harinowo, Komisaris Independen Bank Central Asia
INDONESIA memang negara yang kaya raya. Sumber daya alamnya beraneka ragam. Segala macam mineral utama yang dibutuhkan dunia ternyata ada di bumi Indonesia ini. Bahkan, kobalt, salah satu bahan baku baterai mobil listrik, Indonesia juga memilikinya. Selama ini umumnya orang selalu melihat Kongo sebagai negara dengan cadangan kobalt terbesar di dunia.
Yang membanggakan, kandungan kobalt di Indonesia, yang umumnya berada bersama nikel, ternyata memiliki kandungan yang tinggi. Sehingga, setelah dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan pembuatan baterai, masih menyisakan kobalt yang bisa diekspor secara tersendiri.
Di balik keberadaan Indonesia yaitu di dalam alur cincin api Pasifik (Pacific ring of fire) ternyata ada potensi sumber daya alam yang tak terkira. Mungkin tidak terbayangkan ribuan tahun yang lalu pada saat “ring of fire” tersebut masih aktif dengan banyaknya gunung api yang tersebar di negara kita. Namun, pada saat ini, yang tertinggal antara lain adalah tersebarnya cadangan tembaga yang juga mengandung emas dan perak di banyak tempat di Indonesia.
Cadangan tembaga tersebut berada dalam alur di selatan Indonesia, mulai dari Aceh, Padang, selatan Pulau Jawa dengan pusatnya di sekitar Banyuwangi, lalu dilanjutkan ke Pulau Sumbawa yang sangat kaya dengan cadangan tembaga, kemudian Pulau Wetar, hingga Papua. Di Papua, ada sumber cadangan tembaga yang sangat besar, yaitu di daerah sekitar Timika.
Dewasa ini cadangan tembaga yang paling besar berada di sekitar Timika, yaitu dari Gunung Erstberg yang dikembangkan oleh Freeport yang kemudian berkembang kepemilikannya. MIND ID, sebuah BUMN Indonesia, melakukan akuisisi saham dari pemilik sebelumnya dan sekarang menjadi pemegang saham mayoritas Freeport.
Cadangan terbesar yang kedua adalah Batu Hijau di Pulau Sumbawa yang saat ini dikembangkan oleh Amman Mineral yang merupakan Grup Salim. Di Pulau Sumbawa ini ternyata juga ditemukan cadangan yang lain yaitu Blok Elang yang merupakan bagian dari Amman Mineral. Bahkan, di Pulau Sumbawa bagian timur, sebuah perusahaan, PT Sumbawa Timur Mining, baru saja menemukan deposit tembaga yang besar. Perusahaan ini didirikan oleh Vale Indonesia bersama PT Aneka Tambang Tbk.
Selanjutnya yaitu tambang tembaga yang ditemukan di Pulau Wetar. Tambang tersebut kini dikuasai oleh Merdeka Copper (perusahaan milik Saratoga, sebuah perusahaan permodalan dari Indonesia, PT Provident Capital dan Garibaldi Thohir) yang mulai melakukan penambangannya di pulau tersebut. Selain di Pulau Wetar, Merdeka Copper memiliki konsesi tembaga di dekat Banyuwangi yaitu di Tujuh Bukit yang memiliki cadangan cukup besar pula.
Pada awalnya, sebagian besar perusahaan tambang tersebut mengekspor hasil produksinya yang masih mentah ke luar negeri. Dalam perkembangannya, ekspor kemudian bertambah nilainya setelah dikirim dalam bentuk konsentrat. Namun, dengan mulai adanya smelter di Indonesia, yang dimulai dengan PT Smelting dengan kapasitas sekitar 300.000 ton, nilai tambah ekspor tembaga kita pun makin besar.
Pada 2024, kapasitas smelter tembaga di Indonesia bertambah besar dengan selesainya pabrik smelter tembaga yang dibangun oleh Freeport di kawasan industri JIIPE Gresik dan juga sebuah smelter yang dibangun PT Amman Mineral di Sumbawa.
Secara global, berdasarkan data US Geological Survey, Indonesia berada pada posisi nomor tujuh sebagai produsen tembaga dunia dengan jumlah produksi per tahun di 2019 sebesar 340.000 ton, sementara jumlah cadangannya sebesar 28 juta ton. Produsen terbesar dunia adalah Cile yang pada 2019 memproduksi 5,6 juta ton sedangkan cadangannya sebesar 200 juta ton.
Data ini memang layak ditinjau kembali karena untuk produksi konsentrat saja di Freeport setiap tahun menghasilkan 3 juta ton, sementara jika dilihat dari produksi katoda tembaganya dari Freeport mencapai hampir 1 juta ton. Belum jika ditambahkan dengan produksi Amman Mineral dan lain-lain.
Baca juga: Tak Hanya Nikel, Hilirisasi Tembaga Bikin Penerimaan Negara Melejit
Perkembangan Industri Tembaga di Indonesia
Pembangunan industri tembaga di Indonesia diawali dengan dibangunnya pabrik smelter tembaga Freeport yang untuk pertama kalinya dilakukan dengan mengundang Mitsubishi Materials Corporation untuk membangun pabriknya.
Proses tersebut diawali di 1994 yang kemudian dilanjutkan dengan pembangunan fisik pabriknya yang berlangsung selama dua tahun yaitu dari 1996 sampai dengan 1998.
Perusahaan ini, yang diberi nama PT Smelting, dalam perjalanannya mengalami beberapa kali ekspansi produksi. Perusahaan yang pada awalnya memiliki kapasitas produksi sebesar 200.000 ton katoda tembaga tersebut pada akhirnya memiliki kapasitas produksi sebesar 342.000 ton, yaitu dengan memproses 1 juta ton konsentrat tembaga di pabrik tersebut, suatu jumlah yang cukup besar bahkan untuk ukuran dunia. Pada 2024, kepemilikan saham dari Mitsubishi sepenuhnya sudah beralih ke PT Freeport Indonesia.
Atas dorongan dari pemerintah Indonesia, Freeport kemudian membangun pabrik yang lebih besar di kawasan industri JIIPE di Gresik. Pabrik ini memproses 2 juta ton konsentrat yang merupakan hasil dari pemrosesan tambang mereka di Timika untuk menghasilkan katoda tembaga dengan kapasitas sekitar 600.000 ton per tahun. Dengan demikian, maka kedua pabrik yang dimiliki oleh Freeport Indonesia tersebut akan menghasilkan hampir 1 juta ton per tahunnya.
Pabrik smelter Freeport Indonesia tersebut merupakan pabrik terbesar di dunia. Di samping itu, dari sisa produksi mereka akan dikembangkan pemrosesan produksi precious metal refinery (PMR) yang akan memproduksi emas, perak, dan juga platinum group metals (PGM). Dengan demikian, maka smelter milik Freeport tersebut menjadi fasilitas produksi yang sangat komprehensif dan berskala besar bahkan untuk ukuran dunia sekalipun.
Dalam waktu yang hampir bersamaan, selesai pula pembangunan smelter tembaga yang dikembangkan oleh PT Amman Mineral di Pulau Sumbawa. Pabrik smelter tersebut akan memproses konsentrat sebanyak 900.000 ton per tahun yang nantinya akan menghasilkan katoda tembaga dengan jumlah sebanyak 220.000 ton per tahun.
Selain itu, pabrik tersebut akan menghasilkan asam sulfat sebanyak 830.000 ton per tahun. Asam sulfat ini sangat dibutuhkan untuk pemrosesan nikel yang akan dikembangkan menjadi bahan baku baterai dengan mengunakan teknologi HPAL (high pressure acid leaching). Sebagaimana halnya dengan smelter Freeport di Gresik, smelter yang dikembangkan PT Amman Mineral juga akan memproses sisa produksi pabrik smelter tembaga tersebut dengan proses produksi PMR yang akan menghasilkan emas, perak, dan PGM.
Perkembangan ini menggambarkan kenaikan kelas yang sangat besar bagi Indonesia. Yang semula mengandalkan ekspornya berupa copper ores (termasuk precious metals) ke pelanggan di luar negeri kemudian mengalami kenaikan kelas menjadi eksportir konsentrat tembaga dan precious metals setelah melewati proses produksi yang menghasilkan konsentrat tersebut. Kenaikan kelas yang lebih tinggi lagi adalah dikembangkannya smelter yang menghasilkan katoda tembaga yang sangat besar yang nilainya juga sangat tinggi.
Tanpa banyak disadari masyarakat, ternyata industri tembaga Indonesia sudah mengalami proses transformasi yang luar biasa sehingga mampu mengalami kenaikan yang sedemikian signifikan. Pada akhirnya, industri ini akan mengalami kenaikan kelas yang lebih tinggi lagi jika pengembangan produk hilir dari katoda tersebut mampu dilaksanakan.
Industri Tembaga Kelas Menengah
Jika kita berbicara tentang industri tembaga kita yang sedemikian menjanjikan itu, rasanya kita bisa berbicara dengan berapi-api. Ternyata, di Indonesia telah berkembang industri pengolahan tembaga kelas menengah yang bahkan sudah berkembang jauh sebelum Freeport dan Amman Mineral mengembangkan smelter terakhirnya yang berkapasitas sangat besar tersebut. Perusahaan tersebut saya kunjungi minggu yang lalu dan ternyata membuka mata saya akan potensi yang dimiliki oleh perusahaan kelas menengah semacam ini.
Perusahaan tersebut adalah Prima Copper Industri (PCI) yang memiliki dua fasilitas smelter yang terpisah di Jakarta Barat. Di fasilitas produksi tersebut terdapat juga smelter yang dikembangkan oleh sister company-nya yaitu PT Prima Harmoni Industri (PHI).
Pada salah satu pabriknya dilakukan peleburan dari bahan-bahan recycle yaitu berbagai macam barang yang menggunakan bahan tembaga maupun kuningan untuk menjadi produk tembaga maupun kuningan yang baru, yaitu rod tembaga (coper rod) yang bisa dipergunakan untuk bahan mechanical parts maupun juga kabel (wire tembaga) untuk banyak produk, seperti ritsleiting, frame kacamata, dan bahan arsitektur.
Kuningan adalah metal yang merupakan campuran antara tembaga dan seng. Untuk memproduksi kuningan, perusahaan tersebut juga mengimpor zinc ingot dari perusahaan besar di luar negeri (seperti Glencore) untuk dicampurkan pada tembaga yang mereka lebur tersebut.
Baca juga: Rencana Impor Nikel dari Solomon Bikin Boncos, APNI Jelaskan Penyebabnya
Suatu hal yang sangat mengesankan saya adalah soal penguasaan teknologi. Di pabrik tersebut tidak ada orang asing dan semuanya dijalankan tenaga lokal. Bahkan, berdasarkan cerita yang disampaikan, dalam pembuatan smelter tersebut sebagian besar permesinan dirakit sendiri dan juga dilengkapi dengan produk lokal sehingga smelter yang mereka punya memiliki TKDN (tingkat komponen dalam negeri) yang cukup tinggi.
Perusahaan tersebut memiliki beberapa smelter di kedua pabriknya itu sehingga produksi per tahunnya cukup besar untuk perusahaan kelas menengah. Omzet perusahaan tersebut bahkan mencapai kisaran Rp2 triliun sampai dengan Rp3 triliun setiap tahunnya. Dengan devisa yang dihasilkannya itu, perusahan tersebut pun mendapat penghargaan Primaniyarta dari pemerintah. Primaniyarta adalah penghargaan untuk perusahaan yang mampu mengekspor produk dalam jumlah besar.
Perusahaan yang didirikan oleh Eric Wijaya yang dibantu anaknya, Wilson Wijaya, tersebut sudah melakukan persiapan cukup matang untuk melakukan upaya “kenaikan kelas”, yaitu dengan berencana untuk mempergunakan bahan baku berupa copper ores atau bijih tembaga yang banyak dimiliki oleh pertambangan kelas menengah di berbagai daerah di Indonesia sebagai bahan baku smelter yang akan mereka bangun di kawasan Cikarang.
Jika itu mampu mereka hasilkan, bukan tidak mungkin akan muncul smelter lainnya yang seukuran kelas menengah yang juga akan dikembangkan oleh para pengusaha Indonesia maupun asing. Jika ini terjadi, pastinya di industri tembaga akan berkembang smelter yang berukuran kelas menengah sebagaimana layaknya yang terjadi di industri nikel saat ini. Rasanya kita patut berbangga dengan perkembangan ini. (*)