Categories: Analisis

Indonesia Butuh Grand Plan Strategy Atasi Yuan

Indonesia masuk masa resesi dan rupiah terjebak dalam currency war yang dilakukan Jepang, Tiongkok dan AS.

Jakarta—Kebijakan devaluasi mata uang Tiongkok, Yuan turut memperdalam pelemahan Rupiah. Sayangnya, kabarnya Tiongkok diperkirakan masih akan melakukan devaluasi secara gradually.

Martin Panggabean, Chief Economist IGIco Advisory mengatakan, agar Indonesia tidak menjadi ‘korban’ dari kebijakan finansial negara lain, maka pemerintah perlu menyiapkan grand plan strategy dalam menghadapi global currency war.

“Dampak global currency war terhadap kondisi Indonesia ini akan berpengaruh sangat signifikan, karena perekonomian kita sangat rentan. Defisit terhadap Tiongkok akan membengkak, karena banyak proyek infrastruktur di Tanah Air mengandalkan Tiongkok. Tidak hanya raw material, capital goods, tetapi juga human resources,” ungkap Martin.

Menurut Martin, Indonesia dengan pertumbuhan sekitar 5% menjadi target empuk bagi pertarungan negara-negara seperti Tiongkok Jepang dan lainnya sebagai pasar mereka. Global currency war, tambahnya adalah sebuah kenyataan bahwa rupiah ikut melemah, dan ini merupakan blessing in disguise. Setelah melemah sejak 2013, PPP index Indonesia ternyata mirip dengan Malaysia yang juga adalah kompetitor Indonesia di pasar minyak kelapa sawit, coklat dan karet.

“Artinya bila Rupiah tidak melemah ke level Rp13.000an per dolar AS, maka ekonomi Indonesia yang menjadi bermasalah dalam konteks perdagangan internasional,” tambahnya.

‎Martin menjelaskan, dengan pendekatan ekspektasi pasar ini pelaku pasar finansial (pemodal) terlihat cenderung pesimis terhadap kinerja perekonomian Indonesia.  “Perlu disadari bahwa ekonomi Indonesia sedang memasuki fase resesi, sementara ekonomi Amerika Serikat justru akan meninggalkan resesi, dan masuk ke fase normal. Dengan demikian penguatan dolar US adalah konsekuensi yang wajar.”

Menurut Martin, fase pesimisme ini dimulai sejak Februari (pada saat kurs masih pada Rp12.600 pe dolar AS) dan terus memburuk sejak itu. Jika pada awal tahun para pelaku pasar masih memperkirakan adanya depresiasi sebesar 5.5% sepanjang 2015, kini para pelaku pasar memperkirakan bahwa depresiasi 12 bulan kedepan adalah sekitar 11%.

Dia menilai para pelaku pasar saat ini memperkirakan bahwa kurs pada akhir tahun 2015 akan berada pada kisaran Rp14.000 per dolar AS, sementara pada akhir 2016 kurs sudah mendekati level Rp15.000 per dolar AS.

Keputusan tiba-tiba The People’s Bank of China (POB) yang mendevaluasi 1,9% langsung menohok pasar keuangan global, diperkirakan masih akan berlanjut. Tiongkok secara gradually akan melemahkan mata uangnya. “Sama seperti dulu secara gradually mereka menguatkan mata uangnya. Kondisi ini yang akan membuat pasar sulit stabil dan unpredictable.”

Sebelumnya, lanjut Martin, Jepang telah mengambil langkah kebijakan devaluasi untuk menumbuhkan ekspor dan ini terbilang sukses, bahkan tanpa kritik dari Amerika Serikat serta negara barat lainnya.

‎”Belum lagi IMF membatalkan rencana  memasukkan Yuan kedalam SDR (Special Drawing Rights). Momentum inilah yang digunakan Tiongkok untuk melemahkan mata uangnya. Big Questions untuk kita adalah : Berapa kali Tiongkok akan melakukan devalusi mata uangnya,” tegas Martin.

Untuk itu, pemerintah dengan tim menteri koordinator ekonomi yang baru diharapkan mempunyai strategi dan grand plan  “briliant” untuk menghadapi pertarungan mata uang global ini. Martin memperkirakan, dalam 6 bulan kedepan Tiongkok tidak akan berhenti melakukan devaluasi sampai terjadi recovery ekonomi didalam negerinya.

“Berarti currency war masih berlanjut. Tiongkok akan sangat kuat terhadap tekanan Amerika Serikat dan negara barat lainnya, karena negara Paman Sam sudah  kehilangan kredibilitasnya ketika tidak mengkritisi kebijakan Jepang dalam melakukan devaluasi, secara eksplisit,” jelasnya.

Dia menambahkan, kebijakan Tiongkok tidak akan berhenti hanya di pasar finansial saja, goal-nya adalah ekspor ke berbagai negara di dunia.

“Saat ini pasar akan bergerak, rupiah akan rentan, kita akan menjadi sasaran produk impor. Lalu bagaimana respon pemerintah untuk dapat benefit maksimum dari kondisi ini,” jelasnya.

Martin berharap Tim Ekonomi yang dipimpin Darmin Nasution dapat meyakinkan pasar, dalam melakukan pengendalian defisit government, serta pengendalian current account. Selain itu pemerintah bersama dengan OJK dan Bank Indonesia juga diharapkan menyiapkan strategi ketahanan industri  perbankan terhadap serangan currency war.

Apriyani

Recent Posts

Harga Emas Antam Naik Rp8.000, Sekarang Segram Dibanderol Segini

Jakarta -  Harga emas Antam atau bersertifikat PT Aneka Tambang hari ini, Senin, 18 November… Read More

13 mins ago

IHSG Berpotensi Melemah, Simak 4 Saham Rekomendasi Analis

Jakarta - MNC Sekuritas melihat pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) secara teknikal pada hari… Read More

1 hour ago

PLN Perkuat Kolaborasi dan Pendanaan Global untuk Capai Target 75 GW Pembangkit EBT

Jakarta - PT PLN (Persero) menyatakan kesiapan untuk mendukung target pemerintah menambah kapasitas pembangkit energi… Read More

13 hours ago

Additiv-Syailendra Capital Perluas Distribusi Produk Keuangan

Jakarta - Additiv, perusahaan penyedia solusi keuangan digital, mengumumkan kemitraan strategis dengan PT Syailendra Capital, salah… Read More

14 hours ago

Banyak Fitur dan Program Khusus, BYOND by BSI Raih Respons Positif Pasar

Jakarta – Super App terbaru dari PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI), yaitu BYOND by… Read More

18 hours ago

Pekan Kedua November, Aliran Modal Asing Keluar Indonesia Sentuh Rp7,42 Triliun

Jakarta – Bank Indonesia (BI) melaporkan aliran modal asing keluar (capital outflow) dari Indonesia pada pekan kedua… Read More

21 hours ago