Jakarta – Dugaan adanya masalah pada Penerbitan Rekomendasi Impor Produk Holtikultura (RIPH) untuk buah, kian mengemuka. Kini, sebuah email yang berasal dari Jeff Scott, CEO Australian Table Grape Association (ATGA) beredar di media sosial, yang mempertanyakan pemberian kuota impor melalui RIPH kepada 4 perusahaan yang diduga terafiliasi dengan seorang importir dalam negeri berinisial H.
Dalam suratnya itu, Jeff mengaku membahas ini dengan dua menteri di Australia, yakni Menteri Pertanian dan Pengairan David Littleproud dan Menteri Perdagangan Simon Birmingham, bahwa negara sahabat ini siap membantu ekspor buah di tengah kondisi Indonesia yang tengah terimbas Corona.
Namun, Jeff kemudian juga ingin pemerintahnya membahas ini kembali, karena kemudian diketahui bahwa empat kuota impor diberikan kepada 4 perusahaan yang diduga pemiliknya sama, yakni berinisial H. Dalam surat, Jeff juga menyebut bahwa pengusaha itu mengeluarkan dana banyak untuk mendapatkan kuota tersebut. Selain itu, Jeff juga menyebut H menjual kuotanya seharga 11000 dolar per kontainer kepada importir lain.
Masih menurut surat yang beredar itu, pihak Australia juga mengaku sudah memanggil Duta Besar Indonesia di Australia untuk membicarakan hal tersebut. Namun pihak Kementerian Luar Negeri Indonesia, mengaku tidak punya informasi mengenai pemanggilan tersebut. “Sebaiknya tanyakan ini pada Kementan (Kementerian Pertanian),” kata pelaksana tugas (Plt.) Juru Bicara Kemenlu, Teuku Faizasyah ketika dikonfirmasi wartawan.
Lebih lanjut, Faizasyah juga menyarankan agar urusan ini ditanyakan pada Kementerian Perdagangan. “Karena pintu impor di mereka (Kemendag,” sambung Faizasyah.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Eksekutif INDEF, Enny Sri Hartati mengatakan, pemerintah harus memastikan kebenaran surat elektronik itu. Enny mengatakan, hal ini bisa menjadi preseden buruk bagi pemerintah. Pasalnya, Presiden pernah berkomitmen akan memberantas oligopoli apalagi monopoli.
“Kalau memang surat itu benar, saya menduga eksportir buah di Australia itu protes karena khawatir kelangsungan bisnisnya, karena WTO memang sangat ketat soal aturan-aturan, jadi memang pemerintah harus tindaklanjuti informasi ini,” ujarnya kepada wartawan, di Jakarta, Minggu, 15 Maret 2020.
Menurut Enny, hal ini menimbulkan persaingan yang sangat tidak sehat. Ia menduga eksportir anggur Australia tersebut bukan baik hati memberitahu pemerintah, namun mereka khawatir oligopoli akan merugikan mereka. Ia menilai kejadian ini harus menjadi momen evaluasi sistem kuota yang dinilainya sangat berisiko terjadi moral hazard. Terlebih saat ini impor sudah banyak terganggu virus corona.
“Ini kan supply buah impor terganggu, malah ada dugaan kuota ini dikelola pihak tertentu, ini kan namanya memancing di air keruh, bisa kena subversive ekonomi kalau begitu,” tukasnya.
Ia mendesak pemerintah mereview sistem kuota. Karena riskan kuota dikeluarkan berdasarkan tandatangan pejabat. Artinya sangat mungkin ada pihak yang berkepentingan yang diuntungkan. Sedangkan sistem tarif, lanjutnya, akan membuat iklim usaha yang kompetitif.
Ketua Asosiasi Hortikultura Indonesia Anton Muslim Arbi pun mengaku sejak awal sudah menerima informasi soal pemberian kuota impor buah yang tidak transparan. Ia juga mengaku mendengar kabar dugaan kuota diberikan kepada beberapa perusahaan namun milik satu orang. “Artinya, tidak boleh misalnya kuota itu diberikan hanya perusahaan pemiliknya satu. Kalau perusahaan pemiliknya satu orang, itu kan bisa dikatakan kartel,” tutur Muslim.
Apabila praktik itu terjadi, kata dia, maka tidak salah jika muncul tuduhan terhadap pemerintah yang bermain untuk kartel importir buah.
Terkait informasi eksportir Australia yang protes, Muslim menduga ada kebocoran informasi yang menjadi pertanyaan berbagai pihak karena pemerintah tidak terbuka memberikan kuota impor buah dan kerap terjadi keterlambatan menerbitkan RIPH. Pemerintah harus transparan dan menjawab persoalan kuota impor buah yang menjadi pertanyaan eksportir buah di Australia.
Sebaliknya, Sekretaris Ditjen Hortikultura Kementerian Pertanian, Liliek Srie Utami menegaskan, penerbitan RIPH diproses secara online untuk semua pemohon berdasarkan Permentan 39/2019. Ia mengatakan, hingga 12 Maret 2020, RIPH buah anggur yang sudah dikeluarkan yakni untuk 26.470 ton.
“Proses pemberian RIPH dilakukan secara transparan dan dapat dipantau secara online. Hari ini sepertinya akan ada yang terbit lagi (RIPH), tapi saya belum tahu untuk komoditas apa saja dan berapa banyak,” ujarnya. (*)
Jakarta – Pesatnya perkembangan teknologi di era modern tidak hanya membawa kemudahan, tetapi juga meningkatkan… Read More
Jakarta – Rencana aksi korporasi BTN untuk mengakuisisi bank syariah lain masih belum menemukan titik terang. Otoritas… Read More
Suasana saat penandatanganan strategis antara Dana Pensiun Lembaga Keuangan PT AXA Mandiri Financial Services (DPLK… Read More
Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) bakal kedatangan satu perusahaan dengan kategori lighthouse yang… Read More
Jakarta – PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI menyatakan bahwa Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang… Read More
Jakarta - Zurich Topas Life berhasil mencatat kinerja yang solid hingga September 2024, dengan kontribusi… Read More