Moneter dan Fiskal

Indef: Angka 5,72% jadi Puncak Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Jakarta – Direktur Riset INDEF Berly Martawardaya mengatakan, pertumbuhan ekonomi di kuartal III-2022 sebesar 5,72% menjadi puncak pertumbuhan di 2022 dan 2023, karena adanya beberapa faktor yang menyebabkan peningkatan pertumbuhan ekonomi yang signifikan dan kedepannya diperkirakan adanya perlambatan ekonomi di kuartal-kuartal berikutnya.

Menurutnya, pertumbuhan ekonomi 5,72% terjadi karena low base effect atau basis yang rendah. Pertumbuhan ekonomi yang diluar ekspektasi tersebut, juga terjadi karena di tahun lalu pada periode yang sama pertumbuhan ekonominya hanya sebesar 3,51%.

“Ini kita masih ada sisa low base effect sehingga bisa 5,72% khususnya ditopang oleh sektor-sektor komoditas. Tahun lalu, kuartal III-2021 terjadi omicron jadi memang turun dari sektor transportasi, pergudangan dan hotel. Sehingga tahun ini kenaikannya cukup signifikan,” ujar Berly, Selasa, 8 november 2022.

Kemudian, harga komoditas eskpor masih tinggi tapi tidak banyak naik lagi. Terlebih tensi geopolitik Rusia dan Ukraina masih tinggi.

“Karena siklus komoditas (commodity super-cycle) pasca pandemi itu biasanya 2-3 tahun harga komoditas naik. Apalagi masih ada tensi geopolitik di Rusia dan Ukraina dimana banyak analisis militer bilang justru akan digencarkan selama winter dan tendensinya akan meningkat. Dampak ekonomi ketika tensi meningkat investor global akan wait and see masuk ke negara berkembang termasuk Indonesia,” ungkapnya.

Selain itu, inflasi global yang meningkat, The Fed terus menaikan suku bunga diikuti juga dengan suku bunga Bank Indonesia (BI) yang semakin agresif. Ini akan berdampak pada naiknya bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR) serta kendaraan yang akan berpengaruh pada menurunnya investasi.

“Indikasinya daya beli berkurang sehingga sulit berharap bisa setinggi di kuartal III-2022 yang 5,39% growth untuk tingkat konsumsi rumah tangga,” pungkas Berly.

Dari sisi pemerintah, tahun 2023 batas defisit APBN maksimal 3% dari PDB sudah mulai diberlakukan kembali. Sehingga, daya dorong dari APBN akan berkurang tidak sekuat tahun 2022. (*) Irawati

Rezkiana Nisaputra

Recent Posts

OJK Sebut Rencana BTN Akuisisi Bank Syariah Masih Evaluasi Internal

Jakarta – Rencana aksi korporasi BTN untuk mengakuisisi bank syariah lain masih belum menemukan titik terang. Otoritas… Read More

47 mins ago

DPLK AXA Mandiri Jalin Kerja Sama Strategis

Suasana saat penandatanganan strategis antara Dana Pensiun Lembaga Keuangan PT AXA Mandiri Financial Services (DPLK… Read More

2 hours ago

Ini Dia Perusahaan Jumbo yang Bakal IPO di Akhir 2024

Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) bakal kedatangan satu perusahaan dengan kategori lighthouse yang… Read More

2 hours ago

BRI Sebut KUR Tak Masuk Kriteria PP Hapus Tagih Utang UMKM, Begini Penjelasannya

Jakarta – PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI menyatakan bahwa Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang… Read More

2 hours ago

Dua Produk Ini Topang Kinerja Zurich Topas Life di September 2024

Jakarta - Zurich Topas Life berhasil mencatat kinerja yang solid hingga September 2024, dengan kontribusi… Read More

2 hours ago

Jangan Terkecoh! Ini 5 Perbedaan Utama Judi Online vs Investasi Menurut BNI Sekuritas

Jakarta - Fenomena judi online (judol) di Indonesia kian marak, ditandai dengan lonjakan transaksi hingga… Read More

3 hours ago