Nusa Dua – Adanya penyebaran varian Covid-19 yang baru Omicron, memicu kekhawatiran tersendiri bagi negara-negara global. Melihat kondisi ini, International Monetary Fund (IMF) pun memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global di tahun depan menjadi 4,9% atau lebih rendah dibandingkan dengan proyeksi ekonomi global 2021 yang sebesar 5,9%.
Demikian disampaikan oleh First Deputy Managing Director Geoffrey Okamoto dalam konferensi pers di rangkaian Finance and Central Bank Deputies (FCBD) Meeting Presidensi G20 Indonesia, di Nusa Dua, Bali, 10 Desember 2021. Ia menjelaskan, lebih rendahnya proyeksi pertumbuhan ekonomi global di tahun depan karena adanya penurunan PDB pada kuartal III akibat tingginya kasus varian delta di seluruh dunia.
Terlebih, munculnya varian baru Omicron memicu terganggunya rantai pasok di dunia yang akan membuat pemulihan ekonomi globallebih lama. Hal ini sejalan karena masih adanya scarring effect yang lebih lama dan terjadi pada kelompok rentan. “Global Masih ada ketidakpastian karena munculnya varian Omicron yang menyebar ke berbagai negara yang berpotensi menghambat pemulihan ekonomi di masa mendapatkan,” ujarnya.
Selain masalah Covid-19, lanjut dia, masih ada ketidakpastian yang muncul dan tantangan lain yang datang dari peningkatan inflasi di beberapa negara yang disebabkan oleh masalah rantai pasok global. Tekanan dari sisi inflasi pun akan memicu pengetatan dari sisi kebijakan moneter yang lebih cepat dari perkiraan. Namun demikian, pihaknya mendorong negara-negara untuk bisa bersinergi dalam menghadapi tantangan ini.
“Pengetatan kebijakan moneter yang lebih cepat dari perkiraan di negara maju yang akan memperketat kondisi keuangan global dengan beberapa potensi limpahan di pasar negara berkembang,” ucapnya.
Sebelumnya, Managing Director Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva pun menyampaikan, selain dipicu oleh varian baru Omicron, perlambatan ekonomi juga dipicu adanya kekhawatiran soal kemampuan membayar utang negara, khususnya bagi negara berpendapatan rendah. Ia menyebut 60% diantaranya saat ini menghadapi risiko tinggi dan kesulitan membayar utang.
Negara-negara G20 pada Mei 2020 lalu telah menyiapkan bantuan kepada negara miskin dengan menangguhkan pembayaran utang atau disebut Debt Service Suspension Initiative (DSSI) bagi negara yang terdampak pandemi. Berakhirnya DSSI pada akhir tahun 2021 ditambah dengan kenaikan suku bunga perlu dipertimbangkan oleh setiap negara. Georgieva mengusulkan negara-negara ini perlu mempertimbangkan alternatif kerangka kerja semacam Paris Club atau kumpulan kreditur untuk mengatur ulang pinjaman.
“Pesan saya kepada semuanya adalah jangan menunggu sampai akhirnya sudah terlambat. Itu akan lebih merugikan bagi anda. Negara-negara akan sangat menderita. Bertindaklah,” papar dia. (*)
Suasana saat penantanganan kerja sama Bank Mandiri dengan PT Delta Mitra Sejahtera dengan membangun 1.012… Read More
Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) menyebut kinerja pasar modal Indonesia masih akan mengalami… Read More
Jakarta - PT Bank Central Asia Tbk (BCA) menyesuaikan jadwal operasional kantor cabang sepanjang periode… Read More
Jakarta - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada hari ini (19/12) kembali ditutup merah ke… Read More
Jakarta - Senior Ekonom INDEF Tauhid Ahmad menilai, perlambatan ekonomi dua negara adidaya, yakni Amerika… Read More
Jakarta – KB Bank menjalin kemitraan dengan PT Tripatra Engineers and Constructors (Tripatra) melalui program… Read More