Oleh : Eko B. Supriyanto
Jakarta – Konsep holding badan usaha milik negara (BUMN) dengan mengelompokkan BUMN ke setiap industri sudah memasuki tahap akhir. Ide awalnya dimulai pada 1998, ketika itu digulirkan oleh Tanri Abeng yang menjadi Menteri Negara (Menneg) BUMN. Di setiap rezim pemerintahan baru, sejak 1998, ide ini terus bergulir dan selalu kandas dengan berbagai banyak alasan.
Bisik-bisik yang paling sering terdengar, salah satu alasannya ialah adanya tarik-menarik kepentingan di berbagai kementerian. Salah satunya Kementerian Keuangan RI dan sejumlah kepentingan di Kantor Menneg BUMN sendiri. Namun, yang paling sering muncul ialah intervensi politik dari pemerintah sendiri yang tidak mau menyerahkan pengelolaan BUMN secara korporasi oleh Kementerian BUMN.
Dalam perjalanannya, pembentukan holding BUMN memang tidaklah mulus. Saat ini holding BUMN yang sudah berjalan dan terbukti berhasil baru dua buah, yakni holding BUMN pupuk (PT Pupuk Indonesia) dan BUMN semen (PT Semen Indonesia Tbk). Jumlah BUMN saat ini masih 138 perusahaan.
Banyak perusahaan BUMN yang mulai baik pengelolaannya. Selain karena sudah go public, sektornya sangat kompetitif, seperti perbankan. Memang masih ada sejumlah BUMN yang masih primitif pengelolaannya, termasuk anak perusahaan BUMN yang jumlahnya lebih banyak.
Belakangan banyak terjadi intervensi terhadap BUMN. Sebenarnya wajar saja setiap rezim yang berkuasa selalu hendak menempatkan orangnya. Namun, kadang dan bahkan yang sering terjadi ialah salah menempatkan orang. Banyak yang tidak sesuai dengan profesionalismenya. Di sektor perbankan, misalnya, rezim yang berkuasa mulai memasukkan orang-orang relawan ke dalam tubuh perusahaan.
Hal itu tidak menjadi masalah sejauh tidak membawa instruksi khusus untuk membiayai partai atau dana taktis. Jika sekadar balas budi dan menumpang makan, tentu bisa dimaklumi, kendati sebenarnya tidak baik.
Ironi memang, di satu sisi perusahaan (dalam hal ini BUMN) diminta untuk menyetor ke kas negara dengan optimal, tapi di lain sisi mereka masih sering direpotkan dengan urusan menampung orang-orang yang berjasa terhadap presiden atau partai politik.
Kabar tentang uang setoran kepada pihak-pihak agar menjadi direktur atau komisaris masih sering terdengar, kendati kabar itu sulit dibuktikan. Jika hal itu benar, pengelolaan BUMN berarti masih saja sarat dengan kepentingan. Untuk menjadi direksi BUMN, seseorang setidaknya harus punya beking politik dan kadang janji proyek atau juga sering terdengar ada sedikit pelicin ke makelar-makelar yang berkeliaran di hotel-hotel yang mengaku utusan partai atau orang kementerian. Bisik bisik itu masih ada, kendati memang sulit dibuktikan.
Jika pola rekrutmen direksi dan komisaris BUMN masih seperti itu, pembentukan holding tetap akan memunculkan mafia baru dalam pengelolaan BUMN. Kita berharap hal itu tidak lagi terjadi. Pembentukan holding semata-mata untuk optimalisasi aset, efisiensi, dan kelenturan dalam pengambilan keputusan. Pembentukan holding akan lebih banyak manfaatnya jika dapat menyejahterakan rakyat.
Saat ini pemerintah melalui Kementerian BUMN tengah menyusun tahapan pembentukan holding perbankan konvensional. Rencananya, holding yang akan terwujud pada 2017 itu, empat bank pelat merah, yaitu PT Bank Negara Indonesia Tbk, PT Bank Mandiri Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk, dan PT Bank Tabungan Negara Tbk, akan berada di bawah induk holding perbankan konvensional. Di bawah bank-bank ini akan diinbrengkan seperti Pegadaian.
Setelah holding bank BUMN terjadi, selanjutnya akan ada holding bank syariah, asuransi umum, dan asuransi jiwa serta reasuransi. Semua dilakukan untuk efisiensi dan efektivitas pengelolaan.
Namun, bukan berarti pembentukan holding jaminan sukses. Ada juga kasus yang gagal. Contohnya FBOP Corp di Amerika, yang di antaranya memiliki sembilan bank sebagai anak perusahaan, antara lain Bank USA N.A. of Phoenix, California National Bank of Los Angeles, San Diego National Bank of San Diego, dan Pacific National Bank of San Francisco.
Menurut data, pada Oktober 2009 perusahaan induk dengan total 153 cabang banknya itu diakuisisi oleh U.S. Bancorp setelah mengalami kerugian besar di tengah terpaan gejolak krisis finansial di Amerika karena masalah subprime mortgage. Jadi, pembentukan holding bisa saja gagal.
Karena itu, pembentukan holding harus benar-benar memberikan manfaat yang luas bagi kesejahteraan rakyat. Yang perlu diperhatikan ialah tidak ada intervensi dari pemerintah dengan intervensi politik dan tidak membuat mafia-mafia baru di kalangan BUMN, dalam hal ini holding menjadi pusat atau bursa jual beli jabatan dan proyek.
Namun, pembentukan holding ini akan lebih baik dibandingkan dengan pengelolaan BUMN seperti sekarang ini, yang sangat rawan titipan dari rezim yang berkuasa dan para king maker yang menyebar orang-orangnya ke banyak BUMN. Sepanjang punya kapabilitas masih bisa diterima, tapi kalau hanya menumpang makan dan menjadi bagian dari “geng” sudah waktunya dihentikan. Sebab, pembentukan holding ini masih menyisakan siapa jadi apa dan dapat apa. Praktik janji proyek untuk menjadi direksi BUMN sudah saatnya ditumpas karena BUMN bukan milik nenek moyangnya. BUMN didirikan untuk kesejahteraan rakyat!(*)
Jakarta - PT Pertamina Hulu Energi Offshore South East Sumatera (PHE OSES) resmi menyalurkan gas bumi ke… Read More
Jakarta - PT PLN (Persero) meluncurkan program Gerakan Tertib Arsip (GEMAR) dan aplikasi New E-Arsip… Read More
Jakarta - Demi meningkatkan kinerja keselamatan dan integritas aset, Pertamina Subholding Upstream Regional Jawa dan PT Badak… Read More
Jakarta - Penyelenggara inovasi teknologi sektor keuangan (ITSK) harus melewati regulatory sandbox milik Otoritas Jasa… Read More
Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut bersedia mendukung target pertumbuhan ekonomi 8 persen Presiden… Read More
Jakarta - Saat ini, secara rata-rata masa tunggu untuk melaksanakan ibadah haji di Indonesia bisa… Read More