Jakarta–Kementrian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kembali menghidupkan holding BUMN. Saat ini, menurut kabar yang beredar, Kementerian BUMN tengah menyiapkan pembentukan 15 induk usaha (holding) perusahaan pelat merah. Selain itu, jumlah perusahaan akan dipangkas dari 119 entitas menjadi 85 entitas usaha. Lebih ramping, lebih efisien, lebih kokoh dan kuat.
Mengapa bukan merger atau akuisisi, melainkan pembentukan holding? Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menginstruksikan Menteri BUMN agar melakukan penggabungan BUMN ke dalam suatu holding company. Tujuannya, agar kita memiliki BUMN yang besar dan kuat, tapi tetap lincah. Setidaknya telah dua kali Presiden Jokowi memberikan instruksi tersebut, yaitu pada 18 Mei dan 21 Oktober 2015 di hadapan para chief executive officer (CEO) BUMN.
Di sektor keuangan nanti rencananya akan ada holding perbankan dan asuransi sendiri. Di sektor perbankan yang paling sensitif juga akan dibuat holding yang rencananya akan efektif pada 2018. Pilihan yang bakal menjadi holding ini adalah PT Danareksa dan PT Bahana. Namun, sepertinya Kementerian BUMN lebih cenderung menunjuk PT Danareksa sebagai holding bank-bank BUMN.
Menteri BUMN, Rini Soemarno, mengharapkan bank BUMN dapat lebih efisien dengan margin bunga bersih (net interest margin atau NIM) lebih rendah dibandingkan dengan kondisi pada saat ini. Apalagi jika dibandingkan dengan NIM di kawasanASEAN, NIM perbankan Indonesia paling tinggi. Pemerintah meminta bank BUMN supaya lebih efisien pada masa mendatang sehingga NIM bisa mencapai 4% atau di bawah 4%.
Konsolidasi lewat pembentukan holding ini tidak menghilangkan entitas masing-masing bank. Namun, jika rencananya konsolidasi itu akuisisi, misalnya yang pernah ramai pada akhir pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY (2014) adalah rencana Bank Mandiri mengakuisisi Bank Tabungan Negara (BTN), atau Bank Mandiri merger dengan Bank Negara Indonesia (BNI), tentu ceritanya akan menjadi lain.
Padahal, konsolidasi lewat akuisisi atau merger ini belum tentu tidak lebih baik. Namun, pemerintah sepertinya mencari jalan tengah. Pembentukan holding bank BUMN adalah jalan aman dari kegaduhan. Padahal, dalam jangka panjang merger atau akuisisi langsung memberi manfaat efisiensi yang lebih berkelanjutan.
Mengapa pembentukan holding ini tidak menjadikan bank terbesar, misalnya Bank Mandiri yang menjadi holding. Atau, Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang menjadi holding atau bank BUMN lainnya. Jelas ini jalan kompromi agar tidak menimbulkan kegaduhan yang selama ini menjadi ciri khas pengelolaan negara.
Jika merger, tentu jumlah direksinya berkurang, jumlah kepala divisinya berkurang, jumlah cabang akan menyusut. Jumlah karyawan pun dikurangi menghindari duplikasi. Para serikat pekerjanya pun akan keluar kandang mengajak LSM, partai politik, dan anggota DPR atau alim ulama.
Pengalaman bank-bank hasil merger, seperti Bank Mandiri, bisa menjadi bank yang mempunyai kinerja yang sangat baik. Sebaliknya, bank tidak melakukan merger pun bisa tumbuh dengan cepat, seperti BRI. Bank hasil merger tidak membuat persaingan baru dengan bank bank BUMN karena sudah melebur. Jika dengan holding masih terjadi sedikit gesekan karena key performance indicator (KPI) masing-masing direksi berbeda.
Tak mudah menurunkan NIM dengan pembentukan holding. Soal efisiensi pun belum tentu. Apakah pembentukan holding ini akan mengurangi jumlah karyawan? Apakah dengan pembentukan holding ini kemampuan bank memberikan kredit menjadi lebih besar? Jawabnya tentu tidak otomatis menjadi lebih baik.
Bank-bank masih akan beroperasi seperti entitas masing-masing. Isu kartel suku bunga pun bisa diembuskan. Boleh jadi yang bisa dilakukan ialah efisiensi teknologi informasi (TI) dan penggunaan automatic teller machine (ATM) yang sebenarnya sejak lama juga sudah joint ATM Bersama.
Pembentukan holding ini tidak membuat cost of funds masing-masing bank seragam jika KPI masing-masing bank ditetapkan berbeda. Apakah dengan pembentukan holding ini cost of funds BTN akan bisa lebih murah daripada Bank Mandiri? Atau, komposisi dana pihak ketiga (DPK) BRI akan kembali bergantung pada tabungan? Apakah kapasitas kredit masing-masing bank juga berubah?
Konsolidasi bank-bank BUMN ini boleh jadi jalan tengah dari langkah merger dan akuisisi yang penuh intrik dan kepentingan. Namun, dalam jangka panjang, Indonesia membutuhkan bank besar untuk pembiayaan infrastruktur.
Boleh jadi, pembentukan holding ini adalah langkah awal dari langkah merger dan akuisisi bank-bank BUMN. Pembentukan holding akan lebih mudah menerjemahkan kepentingan nasional secara bersama. Holding ini akan terbentuk pada 2018.
Jujur, kita hanya butuh dua bank BUMN, yang satu mengurusi UMKM dan yang satunya lagi mengurusi sektor korporasi. Dengan demikian, tidak terjadi tumpang tindih di pasar seperti sekarang ini. Semua serba tidak efisien dan saling berlomba antarbank BUMN yang menimbulkan gesekan diam-diam antarsesama bankir.(*)
Jakarta – PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) atau Harita Nickel pada hari ini (22/11)… Read More
Jakarta - Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada kuartal III 2024 mencatatkan surplus sebesar USD5,9 miliar, di… Read More
Head of Institutional Banking Group PT Bank DBS Indonesia Kunardy Lie memberikan sambutan saat acara… Read More
Pengunjung melintas didepan layar yang ada dalam ajang gelaran Garuda Indonesia Travel Festival (GATF) 2024… Read More
Jakarta - PT Eastspring Investments Indonesia atau Eastspring Indonesia sebagai manajer investasi penerbit reksa dana… Read More
Jakarta - Bank Indonesia (BI) mencatat perubahan tren transaksi pembayaran pada Oktober 2024. Penggunaan kartu ATM/Debit menyusut sebesar 11,4… Read More