Ilustrasi: Dana Pihak Ketiga (DPK) Perbankan. (Foto: istimewa)
Jakarta – Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara menyampaikan pandangannya terkait kebijakan Kementerian Keuangan untuk mengalokasikan Rp200 triliun dari kas pemerintah di Bank Indonesia (BI) ke industri perbankan.
Bhima tak menampik jika kucuran dana Rp200 triliun kepada himpunan bank milik negara (Himbara) akan meningkatkan likuiditas lembaga perbankan. Namun, hal ini belum tentu meningkatkan kualitas kredit perbankan.
“Apakah permintaan kreditnya juga akan lebih baik? Belum tentu. Bisa jadi yang terjadi adalah bank Himbara itu akan menyalurkannya ke sektor yang salah, jika seleksi kredit atau analis kreditnya tidak hati-hati pasca menerima uang kaget ini,” ujarnya kepada Infobanknews di Jakarta, Jumat, 12 September 2025.
Bhima khawatir alokasi dana Rp200 triliun tersebut bakal disalurkan ke program pemerintah yang rentan potensi tindak korupsi dan tata kelola yang dinilai masih bermasalah, seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (Kopdes Merah Putih).
Selanjutnya, Bhima juga mewanti-wanti agar jangan sampai penyaluran kredit dari penempatan dana tersebut bertentangan dengan misi Presiden Prabowo Subianto, yang ingin mendukung sektor energi terbarukan. Terlebih, Presiden Prabowo sudah memiliki komitmen 100 persen energi terbarukan dalam 10 tahun ke depan.
Baca juga: Menkeu Purbaya Cairkan Rp200 Triliun ke 5 Bank Himbara, Ini Rincian Besarannya
“Jangan sampai bank Himbaranya masuk ke sektor fosil, sektor ekstraktif. Karena itu yang paling kelihatannya akan menuju ke sektor itu, dan itu yang harus kemudian dijaga agar tidak ke sana,” tegas Bhima.
Selain itu, Bhima turut mengingatkan agar dana alokasi pemerintah itu tidak diinvestasikan kembali oleh lembaga perbankan ke Surat Berharga Negara (SBN) maupun Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI). Jika demikian, maka penempatan dana yang ada tak akan berjalan efektif sebagaimana peruntukkannya untuk menggenjot pembiayaan ke masyarakat dan memutar roda perekonomian.
“Dan harus dijaga jangan sampai terjadi inflationary pressures atau dorongan inflasi. Karena ini yang didorong kan sisi pasokan, tapi tidak mencerminkan kondisi permintaan atau dinamika dunia usaha,” jelasnya.
Menurut Bhima, yang harus menjadi perhatian pemerintah saat ini adalah bagaimana bisa mendorong sisi permintaan, bukan hanya sekadar mendorong sisi penyaluran kredit. Mengingat penyaluran kredit perbankan tak bisa direalisasikan dalam waktu instan.
“Industri perbankan memiliki prosedur tersendiri dalam menyeleksi debitur. Bila serampangan disalurkan, maka dapat meningkatkan non-performing loan (NPL),” jelasnya.
Baca juga: Menkeu Purbaya Suntik Rp200 Triliun ke Himbara, Ini Respons Airlangga
Beberapa cara efektif yang perlu dilakukan pemerintah dalam menggenjot konsumsi masyarakat dan roda perekonomian adalah mengurangi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 8 persen dan meningkatkan standar nilai Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
“Jadi, orang ada uang untuk membelanjakan. Itu sebenarnya salah satu cara efektif untuk menstimulus sisi permintaan. Kalau hanya sisi pasokan, khawatir nanti terjadi cost-push inflation atau inflasi dari sisi pasokan, yang justru menurunkan daya beli masyarakat,” pungkasnya. (*) Steven Widjaja
Poin Penting Bank Mandiri raih 5 penghargaan BI 2025 atas kontribusi di makroprudensial, kebijakan moneter,… Read More
Poin Penting Menhut Raja Juli Antoni dikritik keras terkait banjir dan longsor di Sumatra, hingga… Read More
Poin Penting Roblox resmi ditunjuk DJP sebagai pemungut PPN PMSE, bersama empat perusahaan digital lainnya.… Read More
Poin Penting PT Bursa Efek Indonesia (BEI) menekankan kolaborasi lintas sektor (pemerintah, dunia usaha, investor,… Read More
Poin Penting PT Phapros Tbk (PEHA) mencetak laba bersih Rp7,7 miliar per September 2025, berbalik… Read More
Poin Penting Unilever Indonesia membagikan dividen interim 2025 sebesar Rp3,30 triliun atau Rp87 per saham,… Read More