Pimpinan Redaksi Infobank Media Group, Eko B Supriyanto. (Foto: Dok. Infobanknews)
Oleh: Eko B. Supriyanto, Pimpinan Redaksi Infobank
PEMERINTAH baru saja mengeluarkan “pukulan”. Bukan “pukulan” biasa, tapi pukulan luar biasa “Purbaya Yudhi Sadewa” dengan dana sebesar Rp200 triliun ke lima bank pelat merah— Bank Mandiri, BRI, BNI, BTN, dan BSI. Kebijakan yang tertuang dalam KMK No. 276/2025 ini ibarat memberikan suntikan vitamin “dosis tinggi” kepada bank pelat merah.
Tujuannya mulia, mendongkrak pertumbuhan kredit yang mandek di level 7,7 persen dan mendorong dana mengalir ke sektor riil, khususnya produktif. Tapi, seperti halnya memberi vitamin ke orang yang tidak bisa menyerapnya dengan baik, uang ratusan triliun ini bisa sia-sia, atau bahkan menimbulkan efek samping, jika eksekusinya salah.
Kebijakan Purbaya Yudhi Sadewa, Menteri Keuangan RI yang menggantikan Sri Mulyani Indrawati, lahir dari sebuah paradoks yang memusingkan. Di satu sisi, Bank Indonesia (BI) sudah memangkas suku bunga (dovish), seharusnya memicu kredit lebih murah dan ekonomi bergerak. Tapi di lapangan, kredit justru tersendat. Ini gejala credit crunch.
Permintaannya mungkin ada, tapi pasokan likuiditas di bank ternyata ketat. Dana masyarakat malah lari ke instrumen yang lebih aman dan menarik seperti Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dan Surat Berharga Negara (SBN). Bank-bank masih terus “bermalas-malas” dengan menempatkan uangnya di SBN dan SRBI hingga mencapai 24-26 persen dari aset produktifnya. Akibatnya, transmisi kebijakan moneter macet. BI sudah “menarik tali” (pulling the string), tapi talinya kendur.
Pemerintah lalu memilih untuk “mendorong tali” (pushing the string) dengan cara yang belum pernah dilakukan sebelumnya: menempatkan dana kas negara yang biasanya “ngendon” di BI, langsung ke bank-bank BUMN. Ini adalah langkah active fiscal policy, intervensi fiskal yang berani untuk memecah kebuntuan.
Baca juga: Menkeu Purbaya Cairkan Rp200 Triliun ke 5 Bank Himbara, Ini Rincian Besarannya
Jujur saja, kebijakan ini merupakan langkah berbeda, Bahkan, kebijakan yang berani. Namun, tetap saja, desain teknis kebijakan ini tetap menimbulkan sejumlah pertanyaan kritis.
Satu, skema dana on-call. Dana Rp200 triliun ini bentuknya deposit on call — yang bisa ditarik pemerintah kapan saja. Ini pedang bermata dua. Bank dapat fleksibilitas, tapi ini ibarat meminjamkan payung saat cerah dan memintanya kembali saat hujan tiba. Jika ditarik tiba-tiba, bank-bank ini bisa kaget dan mengalami guncangan likuiditas. Mereka harus sangat hati-hati menggunakan dana jangka pendek ini untuk membiayai kredit jangka panjang.
Dua, mekanisme tanpa lelang. Mengapa hanya lima bank BUMN ini yang dapat jatah? Alasannya stabilitas, karena mereka besar dan dimiliki negara. Tapi, tanpa lelang yang kompetitif, kebijakan ini berisiko mematikan level playing field dan memusatkan likuiditas hanya pada segelintir bank. Ini bisa menciptakan distorsi pasar.
Tiga, suku bunga subsidi. Bunga yang diberikan pemerintah hanya 4,83 persen (80,476 persen dari BI7DRR), jauh di bawah pasar. Ini adalah subsidi implisit yang sangat besar. Pertanyaannya, apakah subsidi ini akan diteruskan ke debitur dalam bentuk bunga kredit yang lebih murah, atau malah hanya memperbesar spread dan keuntungan bank?
Satu poin yang patut diacungi jempol adalah larangan bagi bank untuk membeli SBN. Ini menunjukkan niat serius pemerintah agar dana ini tidak berputar-putar di sektor finansial saja, tapi benar-benar masuk ke sektor riil. Keberhasilan poin ini mutlak tergantung pada pengawasan yang ketat.
Dalam hal pengawasan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) seperti dikemukakan Dian Ediana Rae, Anggota Komisioner OJK akan melakukan pengawasan yang ketat terkait dengan penyaluran dan penggunaan dananya. Sebab, hal yang paling krusial dari kebijakan ini adalah tantangan pengawasan penyalurannya.
Harus diakui memang kebijakan ini mempunyai optimisme, tapi tetap harus dijaga dengan waspada. Potensi positifnya jelas, kredit bisa terdongkrak, UMKM dapat napas segar, dan negara dapat imbal hasil yang lebih baik daripada di BI. Dan, akhirnya pertumbuhan ekonomi dapat meningkat, terciptalah tenaga kerja yang mendongkrak daya beli.
Tapi itu bukan tanpa risiko. Risiko terbesarnya adalah risiko eksekusi (execution risk). Apakah bank betul-betul akan menyalurkan dananya sebagai kredit baru? Atau malah dipakai untuk mempercantik rasio LDR atau memenuhi kebutuhan likuiditas internal mereka saja? Dana ini bisa jadi hanya numpang lewat di neraca bank. Hanya mempercantik buku likuiditas semata.
Hal lain risiko moral hazard. Bank-bank BUMN ini bisa jadi merasa selalu akan ditolong pemerintah saat ada masalah. Ini membuat mereka kurang disiplin dalam mengelola risiko. Bahkan, potensi ugal-ugalan.
Harus diakui, penerbitan KMK No. 276/2025 yang intinya mengalirkan uang ke bank-bank pelat merah sebesar Rp200 triliun merupakan langkah berani dan patut diapresiasi. Ini menunjukkan pemerintah tidak tinggal diam menghadapi macetnya transmisi kredit.
Namun, kebijakan “ATM berjalan” pemerintah ini bagai pisau bermata dua. Keberhasilannya 100 persen bergantung pada eksekusi, pengawasan pasca-penempatan dana dan mendorong sisi demand kredit yang masih loyo. Plus membereskan sektor riil yang sekarang cemas akibat kerusuhan dan kepastian usaha yang rawan “preman” berdasi maupun preman jalanan.
Untuk itu, jangan sampai suntikan jadi bumerang. Nah, agar suntikan ratusan triliun ini sampai ke “urat nadi ekonomi” dan bukan jadi bumerang, beberapa langkah harus diambil, salah satunya adalah mempercepat belanja pemerintah (APBN). Tanpa mempercepat belanja pemerintah, maka aliran dana dari “waduk” pemerintah akan memperpanjang “jebakan likuiditas”.
Sisi permintaan kredit juga harus diberi stimulus dan “doping” berupa kemudahan berusaha dan kepastian usaha. Tidak ada lagi “preman” dan birokrasi yang rumit sehingga menimbulkan biaya tinggi. Semua ini agar tidak ada keraguan lagi tentang masih besarnya kredit nganggur atau undisbursed loan yang mencapai Rp2.375 triliun.
Juga, yang tak kalah pentingnya sikap aparat penegak hukum yang masih melihat kredit macet sebagai kerugian negara, atau korupsi. Bahkan, yang membuat geleng-geleng kepala para bankir, kredit macet yang sudah diberi cadangan, bahkan sudah di-write-off dengan jaminan lebih besar, pun masih “dikorek-korek”. Dan, para direksinya yang sudah pensiun sembilan tahun lalu dijebloskan penjara. Aneh. Dan, ini menakutkan para bankir muda untuk memberikan kredit, meski pasal kerugian negara sudah dianulir dalam UU BUMN No.1 Tahun 2025.
Hari-hari ini, seringkali ada dua sudut pandang berbeda. Para bankir memberikan kredit ketika usaha lancar dan sedang tumbuh. Sedangkan aparat penegak hukum menilai kelayakan kredit ketika usaha sudah macet, dan pasal yang senantiasa digunakan adalah memperkaya orang lain. Presiden harus membereskan hal ini, jujur saja aparat penegak hukum saat ini sedang membuka-buka kredit macet yang bisa dituduhkan merugikan negara.
Baca juga: Menkeu Purbaya Suntik Rp200 T ke Himbara, Begini Respons Bank Mandiri-BNI
Tanpa “kencing” kredit, alih-alih menjadi mesin pemulihan ekonomi, kebijakan ini berisiko menjadi subsidi terselubung untuk perbankan yang berujung pada distorsi pasar dan beban fiskal di masa depan. Pemerintah tidak boleh hanya menjadi “ATM berjalan” bagi perbankan.
Pemerintah juga harus dapat mendorong sektor riil dengan kepastian usaha, dan yang lebih mudah segera membelanjakan anggaran dua kali lebih cepat. Inilah ujian sesungguhnya bagi kolaborasi otoritas fiskal, moneter, dan pengawas perbankan. Sebab, semua berharap “pukulan” Rp200 triliun ini tepat sasaran, bukan malah meleset.
Apa itu? Bank-bank wajib “kencing” kredit di tengah permintaan kredit yang rendah. Tanpa itu, kebijakan ini akan membuat bank-bank makin “mabuk” sempoyongan kekenyangan likuiditas dari “ATM berjalan” yang sebesar Rp200 triliun itu.
Dan, jika jalan pintas kredit itu untuk dikucurkan ke Koperasi Desa Merah Putih maka perlu kewaspadaan tingkat “dewa”, karena banyak “ranjau” yang bisa membuat kredit tak kembali alias macet. Hati-hati wahai para bankir, salah-salah bisa kena pasal “wiro sableng” memperkaya orang lain. (*)
Poin Penting IHSG ditutup melemah 0,09% ke level 8.632 pada 5 Desember 2025, meski beberapa… Read More
Poin Penting Bank Mandiri raih 5 penghargaan BI 2025 atas kontribusi di makroprudensial, kebijakan moneter,… Read More
Poin Penting Menhut Raja Juli Antoni dikritik keras terkait banjir dan longsor di Sumatra, hingga… Read More
Poin Penting Roblox resmi ditunjuk DJP sebagai pemungut PPN PMSE, bersama empat perusahaan digital lainnya.… Read More
Poin Penting ASII membuka Astra Auto Fest 2025 di BSD sebagai upaya mendorong pasar otomotif… Read More
Poin Penting PT Bursa Efek Indonesia (BEI) menekankan kolaborasi lintas sektor (pemerintah, dunia usaha, investor,… Read More