Oleh: Tim Biro Riset Infobank
KREDIT Macet. Dua kata itu pernah menjadi sangat menakutkan bagi direksi bank-bank BUMN. Pihak penegak hukum sangat “sigap” jika mendengar kredit macet di lingkungan Bank Pembangunan Daerah (BPD). Apalagi, kasusnya mencuat di media lokal, dan dasarnya surat kaleng dari karyawan dari dalam. Maka “kredit macet” menjadi bola liar, dan dekat-dekat dengan kasus hukum.
Bank-bank kena efek Covid-19, ketika ekonomi menurun menjadi 2,97 persen, bank-bank pun terkena dampaknya. Ada kenaikan non performing loan (NPL) yang kini (April 2020) sudah di atas 3-4 persen. Juga, loan at risk (LAR) pun naik tajam menjadi kisaran 12-13 persen dari sebelumnya 9-10%. Program restrukturisasi kredit merupakan jawaban bahwa kredit macet akan berserakan.
Kredit macet ini bisa berubah menjadi mimpi buruk bagi seorang bankir. Adalah kasus Eko Budiwiyono, mantan direktur utama Bank DKI yang menurut seluruh saksi ahli kredit macet yang timbul di eranya lebih banyak karena risiko bisnis. Tidak ada mens rea atau niat jahat dari keputusan kredit yang diputuskan secara kolegial, dan prosesnya dari bawah. Plus, Eko Budiwiyono tidak kenal dengan debitur. Apalagi, debitur itu sudah ada sejak (2006) sebelum yang bersangkutan masuk di Bank DKI.
Eko Budiwiyono, bankir profesional dari Bank BNI, kini diputus 10 tahun plus denda Rp1 miliar. Kasusnya sudah memasuki babak akhir, yaitu Peninjauan Kembali (PK), dan ditolak. Harapan terakhir Eko Budiwiyono adalah PK baru. Dan, sudah tentu, tidak ada kriminalisasi terhadap dirinya.
Kasus yang menimpa Eko Budiwiyono tak lain soal kredit macet. Soal risiko bisnis. Cerita makin mengerikan manakala masuk pada pasal kerugian Negara. Padahal, semua bank mempunyai kredit macet. Tapi, kenapa kredit macet yang diusulkan dari bawah itu menjadi malapetaka bagi Eko Budiwiyono yang waktu itu sempat menjabat Direktur Utama selama 6 tahun.
Tulisan ini hanya mengingatkan, bahwa kredit macet. Terutama bank-bank BUMN, BPD dan bank swasta yang sebagian ada saham pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah. Jika memungkinkan, juga bisa menjadi kesadaran baru bagi penegak hukum. Bahwa, kredit macet merupakan risiko kredit, kecuali memang ada “kong kalikong” antara debitur dengan kreditur.
Jika membaca berkas dan persidangan kasus Eko Budiwiyono, dari seluruh keterangan saksi ahli dan juga proses kreditnya. Plus, tidak ada hubungan sama sekali antara Eko Budiwiyono dengan debitur, sudah seharusnya Eko Budiwiyono bebas murni. Tapi, apa yang terjadi sungguh pilu. Karir yang dibangun lebih dari 35 tahun di bank hancur hanya karena dikriminalisasi.
Pada putusan di Pengadilan Negeri (PN), di vonis 4,5 tahun. Naik ke Pengadilan Tinggi kena tambahan menjadi 7 tahun. Lalu, ke Mahkamah Agung makin diberatkan menjadi 10 tahun. Ketika Peninjauan Kembali (PK) pun ditolak. Harapannya hanya PK baru. Lebih seru lagi, Supendi sang debitur atas nama PT Likotama Harum tidak pernah dihadirkan dalam siding-sidang Eko Budiwiyono.
Hati-hati Gelombang Kredit Macet
Kasus kredit macet ini bermula dari “batuk-batuknya” kredit Likotama Harum tahun 2014. Likotama Harum sudah menjadi nasabah Bank DKI sejak tahun 2006. Jadi nasabah lama. Tahun 2011 ada 8 rencana proyek yang dibiayai Bank DKI. Jadi, karena tahun 2014 macet, maka total kredit macet Rp269,734 miliar. Angka itu, Rp229,999 merupakan tunggakan pokok, dan sisanya tunggakan bunga sampai 2015.
Singkat cerita, Likotama Harum mengalami tunggakan macet sebesar Rp269,734 miliar, dan angka itu dianggap kerugian Negara. Padahal, dari nilai agunan seperti diungkap dalam pembelaan mencapai Rp452,76 miliar. Atau, lebih besar dari kredit macet itu sendiri. Dan, kredit macet itu juga sudah dicadangkan oleh Bank DKI.
Jadi bankir pelat merah atau setengah pelat merah seperti BPD harus pintar-pintar. Meski kredit diproses dari bawah pun bisa menimbulkan masalah. Jika demikian, maka bankir akan main aman pada kredit konsumsi. Bukan memberikan kredit ke korporasi menengah besar.
Kredit macet bukanlah korupsi. Jika kredit diberikan dengan cara yang benar. Tidak ada gratifikasi dan tidak ada kongkalikong. Jika kasus kredit macet dimana debiturnya macet, atau penyalahgunakan kredit bukan berarti salahnya bankir. Itu sepanjang tidak ada bukti ada gratifikasi, atau main mata dengan debitur. Apalagi, kredit diputus secara kolegial dan diproses dari bawah.
Menurut Biro Riset Infobank, saat ini, potensi restrukturisasi kredit macet, baik UMKM maupun non UMKM mencapai Rp1.116 triliun. Jumlah debiturnya mencapai 7.875.988 debitur. Sampai saat pertengahan Mei, kredit yang sudah di restrukturisasi mencapai Rp207,22 triliun. Baki debit non UMKM mencapai Rp107,88 triliun dan sisanya adalah UMKM. Itulah yang bisa jadi menjadi cerita buruk bagi bankir-bankir pelat merah maupun setangah pelat merah seperti BPD. Gelombang kredit macet sedang terjadi.
Pelajaran penting dari “kriminalisasi” kasus Eko Budiwiyono adalah kredit harus dilakukan pengawasan yang lebih dini. Kriminalisasi itu bisa saja terjadi pada siapa saja. Jangan sampai mengail di air keruh di tengah krisis ekonomi dan tentunya telah memukul bank-bank dengan kredit macetnya.
Lebih jelasnya, pihak aparat hukum juga harus bisa melihat, mana sesungguhnya kredit yang masuk ranah korupsi dan ranah bisnis. Jadi, kredit macet bukanlah korupsi sepanjang tidak ada aliran uang dan kongkalikong dengan debitur.
Dan, melihat proses persidangan, Eko Budiwiyono tidak melakukan korupsi. Hanyalah kredit macet semata yang harusnya masuk lajur risiko bisnis. Bukan pasal merugikan Negara. Kasus kredit macet seperti yang terjadi pada PT. Likotama Harum juga bisa terjadi di mana-mana. Jika kredit sudah macet, semuanya bisa salah. Pada akhirnya, bankirnya lah yang bertanggung jawab.
Itu seperti copet di pasar, kita yang kehilangan dompet, kita yang dituduh tidak hati-hati. Padahal, copetnya pun sudah lari, kalau toh ketangkap dan mengaku, kita yang pun masih dituduh tidak hati-hati. Sudah waktunya mengakhiri kredit macet sebagai kerugian Negara. Sebab, modal bank sudah dipisahkan dari kekayaan Negara, karena ada unsur dana masyarakat. Harus dilihat kasus per kasus, dan tidak dipasalkan kerugian Negara berdasarkan UU Tindak Pindana Korupsi.
Semoga kasus Eko Budiwiyono ini tidak terulang lagi, dan berharap PK baru dari bankir yang sederhana ini diterima, paling tidak untuk mengembalikan nama baiknya, karena memang tidak ada mens rea atau niat jahat. (*)
Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan telah melaporkan hingga 20 Desember 2024, Indonesia Anti-Scam… Read More
Jakarta - PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) membidik penambahan sebanyak dua juta investor di pasar… Read More
Jakarta - PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) masih mengkaji ihwal kenaikan PPN 12 persen… Read More
Jakarta – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menegaskan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi… Read More
Jakarta – Indeks harga saham gabungan (IHSG) pada hari ini, Senin, 23 Desember 2024, ditutup… Read More
Jakarta – Di tengah penurunan kunjungan wisatawan, PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk (PJAA) tercatat mampu… Read More