Ekonomi dan Bisnis

Harga Telur Melambung, Kementan Diminta Atasi Masalah Pakan Ternak

Jakarta – Tingginya harga telur dan ayam ras sejak bulan Ramadan hingga saat ini, disinyalir karena adanya kelangkaan pakan ternak dalam proses produksinya. Swasembada bahan pakan yang tak tercapai, menyebabkan biaya produksi menjadi tinggi.

Oleh sebab itu, Kementerian Pertanian diminta bisa bertanggungjawab terhadap kenaikan harga ini. Pasalnya, program upaya khusus padi, jagung dan kedelai (upsus pajale) milik Kementerian Pertanian pun belum bisa sepenuhnya berkontribusi pada industri pakan.

“Problemnya bukan hanya masalah produksi, namun juga kontinuitas. Jangan dilihat ketika panen jagung, terus kita swasembada. Jagung masih diragukan bisa memasok kebutuhan industri pakan,” ujar Ketua Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi Yeka Hendra Fatika, dalam pernyataannya, di Jakarta, Jumat, 20 Juli 2018.

Dirinya menyarankan, agar ditahun ini, sasaran upsus adalah peningkatan produksi jagung menjadi 33,08 juta ton. Angka produksi ini bisa dicapai dengan dukungan program 4 juta hektar lahan, alat dan mesin pertanian serta bantuan pembinaan. Namun, selama ini, kata dia, konsistensi menjadi persoalan.

Dia menganalisa, dalam setahun kebutuhan industri pakan hanyalah 8 juta ton. Jika dirata-rata, kebutuhan per bulan berkisar 660 ribu ton. Namun, budaya petani yang menanam jagung, padi dan palawija secara bergantian tiap musim menyebabkan produksi jagung tak merata sepanjang tahun.

Pada saat yang sama, depresiasi rupiah juga turut mendorong lonjakan harga pakan. Hal ini karena bungkil kedelai masih harus didatangkan dari luar negeri.

Baca juga: Swasembada Tiga Komoditas Sekaligus Sulit Terwujud

Meroketnya harga telur sebulan terakhir juga disebabkan minimnya pasokan akibat berkurangnya populasi ayam petelur. Menurut Yeka, berkurangnya jumlah pelaku usaha akibat banyaknya pelaku usaha skala kecil yang bangkrut ketika harga jatuh dua tahun lalu menjadi penyebab terpangkasnya populasi ayam petelur.

Ia memperkirakan, setidaknya ada 30 persen peternak ayam kecil yang terpaksa menutup usahanya akibat harga telur yang terlalu rendah. Sememtara faktor lainnya, adalah adanya penyebaran penyakit yang ditemui di beberapa sentra penghasil telur, yang menyebabkan tingkat kematian hingga 40-100 persen.

Selain itu,  juga ditemui penurunan produktivitas ayam petelur akibat serangan penyakit. Fenomena penurunan produktivitas ini terjadi setelah adanya larangan pengunaan antibiotic growth promoter (AGP). Penyakit yang menyebabkan produktivitas lebih masif dan inilah yang menyebabkan biaya produksi mahal.

“Akibatnya, harga telur juga menjadi mahal. Tanpa adanya upaya dari pemerintah membenahi masalah ini, biayaproduksi akan tetap mahal dan berimbas pada harga telur,” jelasnya.

Dihubungi terpisah, Peneliti Indef, Ahmad Heri Firdaus mengungkapkan hal senada. Masalah mengenai pakan ternak ini terlihat dari kurangnya suplai jagung khusus untuk pakan ternak yang bisa dihasilkan dari dalam negeri. Sementara itu, sudah sejak tahun lalu diketahui ada pembatasan impor jagung.

Pembatasan mengenai impor jagung ini diputuskan lewat Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 57 Tahun 2015. “Intinya masalah di pakannya ini cukup krusial. Itu berdampak terhadap outputnya, dalam hal ini adalah telur dan daging ayam,” papar dia.

Jika suplai pakan saja sudah langka, bisa dipastikan biaya produksi telur maupun ayam ras melambung tinggi. Pasalnya, komponen pakan dalam peternakan ayam maupun unggas lainnya bisa mencapai 20—30 persen. Di sisi lain, mengharapkan suplai nasional jagung untuk pakan ternak ibaratnya bertaruh seorang diri karena kerap produksi jagung tidak berkelanjutan sepanjang tahun.

Padahal, peternakan membutuhkan asupan yang tetap. “Sementara impornya itu kadang dibuka, kadang ditutup. Akhirnya kalau ditutup, harusnya pastikan dulu pasokan lokalnya mencukupi tidak,” tukasnya.

Untuk saat ini sendiri, rata-rata harga ayam ras secara nasional telah berada di angka Rp39.100 per kilogram. Sementara itu, harga telur ayam ras sudah mencapai posisi Rp27.200 per kilogram. Kedua masalah ini dibutuhkan langkah cepat dari pemerintah untuk dapat menyelesaikannya.

Selain itu, juga perlu mengumpulkan para stakeholder terkait untuk bisa memastikan tidak ada masalah dalam pakan ternak hingga ke pendistribusian menjadi urgen dilakukan. Pelonggaran impor DOC juga perlu dilakukan untuk menambah populasi ayam. (*)

Rezkiana Nisaputra

Recent Posts

Harita Nickel Raup Pendapatan Rp20,38 Triliun di Kuartal III 2024, Ini Penopangnya

Jakarta – PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) atau Harita Nickel pada hari ini (22/11)… Read More

5 hours ago

NPI Kuartal III 2024 Surplus, Airlangga: Sinyal Stabilitas Ketahanan Eksternal Terjaga

Jakarta - Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada kuartal III 2024 mencatatkan surplus sebesar USD5,9 miliar, di… Read More

5 hours ago

Peluncuran Reksa Dana Indeks ESGQ45 IDX KEHATI

Head of Institutional Banking Group PT Bank DBS Indonesia Kunardy Lie memberikan sambutan saat acara… Read More

7 hours ago

Pacu Bisnis, Bank Mandiri Bidik Transaksi di Ajang GATF 2024

Pengunjung melintas didepan layar yang ada dalam ajang gelaran Garuda Indonesia Travel Festival (GATF) 2024… Read More

7 hours ago

Eastspring Investments Gandeng DBS Indonesia Terbitkan Reksa Dana Berbasis ESG

Jakarta - PT Eastspring Investments Indonesia atau Eastspring Indonesia sebagai manajer investasi penerbit reksa dana… Read More

9 hours ago

Transaksi Kartu ATM Makin Menyusut, Masyarakat Lebih Pilih QRIS

Jakarta - Bank Indonesia (BI) mencatat perubahan tren transaksi pembayaran pada Oktober 2024. Penggunaan kartu ATM/Debit menyusut sebesar 11,4… Read More

9 hours ago