Jakarta – Pusat Kajian Keuangan Negara (Pusaka Negara) mengkaji, dari 539 pemerintah provinsi/kabupaten/kita, terdapat 17 pemerintah daerah (pemda) yang konsisten memperoleh opini Wajar tanpa Pengecualian (WTP) atas kinerjanya. Jumlah tersebut hanya mencapai 3,2% dari jumlah seluruh entitas yang diperiksa BPK RI.
Analisis dilakukan terhadap pemda yang selama kurun waktu tahun 2010-2015 memperoleh predikat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI). Analisis deskriptif tersebut ditujukan untuk menilai sejauhmana kinerja Pemda yang konsisten mendapatkan opini WTP, sehingga dapat dijadikan sebagai rujukan (best practices) dalam tata kelola keuangan daerah.
Dari 17 pemda yang konsisten memperoleh opini WTP, 3 adalah Pemerintah Provinsi, 7 adalah Pemerintah Kota, dan 7 adalah Pemerintah Kabupaten.
“Bukan suatu kebetulan tentunya, bertepatan dengan momentum 17 Agustus, terdapat 17 dari 539 Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota atau 3,2% dari seluruh entitas yang diperiksa BPK RI yang berturut-turut dapat mempertahankan opini WTP selama 2010-2015,” kata Direktur Eksekutif Pusaka Negara, Prasetyo di Jakarta.
Adapun ke-17 entitas tersebut adalah Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi D.I. Yogyakarta, Provinsi Sulawesi Selatan, Kota Metro, Kota Bandar Lampung, Kota Banda Aceh, Kota Surakarta, Kota Blitar, Kota Yogyakarta, Kota Tangerang, Kabupaten Lampung Barat, Kabupaten Jepara, Kabupaten Nagan Raya, Kabupaten Way Kanan, Kabupaten Tulung Agung, dan Kabupaten Tangerang.
Tujuan Pusat Kajian Keuangan Negara menganalisis entitas yang secara konsisten mendapatkan opini WTP adalah karena selama ini opini WTP kerap dinilai telah terbebas dari masalah administratif dan finansial dalam tata kelola keuangannya. Bahkan ada pihak yang mengartikan bahwa mereka yang mendapat opini WTP telah terbebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.
Padahal, lanjut Prasetyo, opini WTP diberikan karena entitas yang bersangkutan telah menyajikan laporan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Misalnya sistem pengendalian internal (SPI) telah memadai dan tidak ada salah saji yang material atas pos-pos laporan keuangan. Dan secara keseluruhan laporan keuangan telah menyajikan secara wajar sesuai dengan SAP.
Sedangkan, Opini WDP diberikan dengan kriteria bahwa SPI memadai, namun terdapat salah saji yang material pada beberapa pos laporan keuangan. Laporan keuangan dengan opini WDP dapat diandalkan, tetapi pemilik kepentingan harus memperhatikan beberapa permasalahan yang diungkapkan auditor atas pos yang dikecualikan tersebut agar tidak mengalami kekeliruan dalam pengambilan keputusan.
Kemudian opini TMP diberikan apabila terdapat suatu nilai yang secara material tidak dapat diyakini auditor karena ada pembatasan lingkup pemeriksaan oleh manajemen sehingga auditor tidak cukup bukti dan atau sistem pengendalian intern yang sangat lemah. Dalam kondisi demikian auditor tidak dapat menilai kewajaran laporan keuangan. Misalnya, auditor tidak diperbolehkan meminta data-data terkait penjualan atau aktiva tetap, sehingga tidak dapat mengetahui berapa jumlah penjualan dan pengadaan aktiva tetapnya, serta apakah sudah dicatat dengan benar sesuai dengan SAP. Dalam hal ini auditor tidak bisa memberikan penilaian apakah laporan keuangan WTP, WDP, atau TW.
Adapun opini TW diberikan jika system pengendalian internal tidak memadai dan terdapat salah saji pada banyak pos laporan keuangan yang material. Dengan demikian secara keseluruhan laporan keuangan tidak disajikan secara wajar sesuai dengan SAP.
Prasetyo menambahkan, kendati 17 Pemda tersebut konsisten memperoleh WTP namun mereka masih menghadapi permasalahan-permasalahan, baik secara administratif maupun finansial. Sebagai contoh, dari ke-17 Pemda, terdapat 13 Pemda yang bermasalah dalam penggunaan belanja daerah yang tidak sesuai dengan ketentuan dan kekurangan volume pekerjaan/barang pada belanja modal dan pemeliharaan. Kemudian terdapat 7 Pemda yang bermasalah karena perjalanan dinas ganda/melebihi standar yang ditetapkan.
Selanjutnya, 27 pemda dinilai memiliki kelemahan SPI. Dari jumlah tersebut, sebanyak 14 pemda ditemukannnya persoalan pencatatan tidak dilakukan secara akurat dan perencanaan tidak memadai. Sementara sebanyak 13 pemda dinilai memiliki proses penyusunan laporan tidak sesuai dengan ketentuan.
Namun yang menarik, ujar Prasetyo, terlihat bahwa ke-17 Pemda tersebut memiliki kepatuhan dalam menindaklanjuti temuan dan rekomendasi dari BPK. “Kepatuhan menindaklanjuti rekomendasi tergolong tinggi antara 25,03% (batas bawah) sampai 96,16% (batas atas) dengan rata-rata secara nasional dari 539 Pemda yaitu 18,54%,” jelas Prasetyo.
Diketahui, secara nasional nilai rekomendasi dari seluruh Pemda di Indonesia tahun 2010 sampai Semester I 2015 mencapai Rp31,7 triliun. Nilai yang sesuai dengan rekomendasi sendri mencapai Rp5,8 triliun. “Analisis ini dapat dijadikan best practices khususnya bagi 237 Pemda yang selama lima tahun terakhir belum pernah memperoleh opini WTP” ujar Prasteyo. (*)
Jakarta - Masyarakat perlu bersiap menghadapi kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Salah… Read More
Jakarta - Kementerian Ekonomi Kreatif/Badan Ekonomi Kreatif (Kemenkraf/Bekraf) memproyeksikan tiga tren ekonomi kreatif pada 2025. … Read More
Jakarta - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengungkapkan bahwa sejumlah barang dan jasa, seperti… Read More
Jakarta - Pemimpin tertinggi Gereja Katolik Sedunia Paus Fransiskus kembali mengecam serangan militer Israel di jalur… Read More
Jakarta - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berbalik dibukan naik 0,98 persen ke level 7.052,02… Read More
Jakarta – Pengamat Pasar Uang, Ariston Tjendra, mengungkapkan bahwa kebijakan pemerintah terkait kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)… Read More