Oleh : Prosagama, Pengamat dari The Asia Economic and Capital Market Institute
LEBIH 10 triliun rupiah. Wuiih. Kalau benar dugaan korupsi investasi di Asabri mencapai angka tersebut, alangkah dahsyatnya. Ngeri nian. Tapi baiklah. Tidak boleh suuzon juga. Biar BPK periksa saja dulu. Meskipun, konon BPK sudah melakukan pemeriksaan. Walaupun anehnya semua seolah-olah baik-baik saja. Begitu juga dengan pengawasan OJK. Kok bisa lolos? Padahal setiap bulan perkembangan investasi wajib dilaporkan. Dugaan korupsi mega tersebut baru tercium saat ini. Itupun karena Menko Polhukam menyuarakannya.
Kenapa fenomena seperti di Jiwasraya dan atau Asabri (jika benar), bisa terjadi. Kenapa pola investasi di lembaga asuransi kerap berantakan? Hanya ada 3 (tiga) kemungkinan. Pertama, yang mengelola tidak kompeten alias tidak faham investasi. Kedua, faham investasi, tapi tidak membuat aturan investasi yang rigid. Ketiga, pengelola investasi pura-pura tidak faham karena integritasnya tidak memadai.
Kemungkinan pertama, perihal kompetensi. Cek saja, bagaimana proses rekrutment si pengelola. Jalur apa yang ditempuhnya, sehingga bisa menduduki jabatan pengelola investasi. Apakah jalur undangan alias diminta? Apakah jalur titipan? Apakah jalur proses seleksi? Apakah jalur “TST”. Jika proses rekrutment-nya tidak benar, dijamin hasil kerjanya pun pasti tidak benar pula.
Bagaimana jika pengelola memiliki pemahaman investasi? Tidak jaminan juga investasi yang dikelolanya berhasil. Seandainya tidak ada aturan yang jelas atau terlalu longgar, pola investasinya pasti akan aneh. Suka-suka pengelola saja. Kalau seleranya main saham, maka dana investasi akan dtempatkan di saham. Apalagi jika pengelola bertipe risk taker. Dus, tujuan investasi belum tentu sesuai dengan tujuan perusahaan. Bukan tidak mungkin, kegiatan investasi yang dilakukan bertabrakan dengan karakteristik perusahaan itu sendiri. Seperti itu tadi. Pengelolanya berkarakter risk taker, padahal tipe perusahaannya berbasis risk avoider.
Kemungkinan terakhir. Memang ada aturan. Pengelolanya juga kompeten di bidang investasi. Tapi, ya bisa rusak juga kalau tidak punya integritas. Main pencak silat. Aturan disimpangi. Lepas apa pun motifnya. Pasti hasil investasinya amburadul. Apalagi kalau godaan datang bertubi-tubi. Apalagi kalau “titipan” datang tak henti-henti. Nah, kalau pengelola investasi nyalinya ciut, besar kemungkinan investasi yang dilakukan hanya berdasarkan pesanan. Ujungnya ya acak adul.
Lebih parah lagi, gabungan dari semua itu. Sudahlah pengelolanya tidak kompeten, aturan investasi tidak jelas, ditambah pula, tak punya integritas. Sudah pasti, perusahaan yang suasana kebatinannya seperti itu tinggal menunggu waktu untuk mangkat. Pelan-pelan menuju kematian.
Lantas mana yang paling benar dari 3 (tiga) kemungkinan tersebut? Wallahualam bisawab. Hasil audit investigasi atau pemeriksaan oleh pihak berwenang yang bisa menjawabnya. Itupun kalau tidak ada yang ditutupi. Itupun kalau bukan pemeriksaan basa-basi. Dan atau malah menemukan yang lebih dahsyat lagi. Apapun hasilnya, semestinya kalau objektif ya tidak apa-apa. Setelah itu carikan solusi agar tidak berulang lagi.
Para praktisi keuangan profesional pasti tahu, asuransi sosial memiliki bisnis model yang sama sekali tidak kompleks. Sederhana malah. Pesertanya mandatory. Para tentara dan polisi. Iurannya datang sendiri. Notebene diperoleh dari pemerintah. Diambil dari APBN. Jadi, tanpa melakukan pemasaran sekalipun, peserta dan iuran sudah pasti datang. Selanjutnya iuran yang masuk tersebut dikelola dalam berbagai bentuk investasi. Ujungnya, membayar claim sekaligus memberikan benefit bagi peserta. Lazimnya dalam bentuk manfaat pensiun dan hari tua jika telah memasuki pensiun. Santunan kecelakaan kerja. Santunan kematian. Hanya itu. Dus, yang dibutuhkan sebenarnya sekedar orang ahli dibidang pengelolaan data, ahli pengelolaan dana dan ahli aktuaria. Dan tentu saja ahli di bidang manajemen korporasi sebagai pondasinya.
Dari berbagai persyaratan tersebut, yang paling crucial adalah pengelolaan investasi. Kenapa ? Karena uang orang banyak ada di situ. Basisnya kepercayaan. Basisnya kehati-hatian. Basisnya kepastian dalam pembayaran manfaat. Berarti harus ada sistem pengelolaan investasi yang mumpuni. Disesuaikan dengan karakter asuransi sosial.
Adapun persyaratan mendasar dalam pengelolaan investasi asuransi sosial adalah ; likuiditas, optimal return dan sustainability alias bertujuan jangka panjang. Untuk itu, asuransi sosial mesti memiliki aturan investasi baku yang disebut dengan strategic asset allocation. Implementasinya, untuk kebutuhan likuiditas tempatkan dana di deposito berjangka yang mudah dicairkan. Untuk tujuan sustainability jangka panjang, tempatkan dana dalam bentuk obligasi. Lalu, untuk enhancement dan optimalisasi return, bolehlah tempatkan di saham atau reksa dana. Tapi itupun mesti ada “adat istiadatnya”.
Sejatinya, untuk kebutuhan likuiditas, didasarkan atas perkiraan claim dan benefit yang mesti dibayarkan setiap tahun. Berapa banyak peserta yang pensiun. Berapa banyak yang kemungkinan meninggal dunia dan atau mengalami kecelakaan kerja, sehingga mesti diberikan santunan. Berdasarkan keperluan tersebut alokasi ke deposito berjangka tidak perlu banyak-banyak. Alokasinya sekitar 15-20 persen saja. Selain itu, kebutuhan likuiditas juga bisa dipenuhi dari iuran yang masuk. Ini sesuai dengan prinsip “hukum bilangan besar”. Jika pesertanya banyak, maka persentase yang mengalami resiko setiap tahunnya akan kecil. Jadi, kalau semua peserta membayar iuran dengan lancar, besar kemungkinan jumlah iuran masuk lebih besar dibandingkan kebutuhan membiayai claim dan manfaat. Malah bersisa. Nah sisanya itu, ditambahkan ke dalam investasi baru.
Kemana deposito ditempatkan? Taruh di bank buku 3 dan 4. Ini untuk memenuhi prinsip kehati-hatian. Bank buku 3 dan 4 mestinya lebih susah bangkrut. Atau cara lainnya, bank-bank dirating berdasarkan kinerja dan track record-nya. Penempatan deposito dilakukan berdasarkan rating tersebut. Bank yang ratingnya tinggi mendapatkan alokasi dana lebih besar. Dengan model begini, sulit dilakukan “kong kalikong”. Pasti akan menjadi pertanyaan, jika menempatkan dana lebih besar di bank yang rating-nya rendah.
Begitu pula dengan penempatan dana di obligasi. Utamanya adalah obligasi pemerintah atau SUN. Berapa besar jumlahnya? Harus di atas 50 persen. Karena orientasinya jangka panjang. Boleh juga tempatkan di obligasi korporasi, tapi yang memenuhi kriteria investment grade. Ratingnya minimal single A polos. Tapi jumlahnya dibatasi antara 5 -10 persen saja. Dengan sistem seperti ini, obligasi “abal-abal” tidak memungkinkan untuk dibeli.
Selanjutnya, untuk optimalisasi return, boleh saja alokasikan dana investasi ke saham. Bergantung berapa persen imbal hasil rata-rata yang dinginkan. Katakanlah, imbal hasil atau yield-nya diharapkan sekian persen di atas deposito berjangka. Semakin moderat return yang diharapkan, maka alokasi dana untuk saham juga harus semakin kecil. Lazimnya, tidak boleh lebih dari 15-20 persen dari total investasi. Lantas saham apa saja yang boleh dibeli? Di sinilah kuncinya. Harus dibatasi hanya pada saham blue chip dan atau LQ 45. Tidak boleh di luar itu. Untuk saham yang LQ 45 pun harus ada kriteria lagi, yakni besaran kapitalisasi pasarnya. Jadi meskipun LQ 45, tidak boleh sembarangan juga. Market cap-nya harus besar. Agar ada likuiditas. Bisa diperjualbelikan kapan saja. Ada pasarnya. Bukan saham tidur. Jika menilik saham di portofolio Jiwasraya maupun Asabri, tampaknya jauh dari kategori blue chip. Makanya disebut saham “gorengan”.
Apakah persoalan selesai? Belum. Saham-saham dan atau reksadana saham yang dibeli itu tentu melalui sekuritas atau manajer investasi. Aspek ini juga mesti diatur. Manajer investasi/MI dan sekuritas sejatinya adalah mitra. Pilih yang wangi. Jangan yang bau. Caranya ? Mereka pun dirating berdasarkan kinerjanya. Pilih yang terbaik. Bukan karena punya teman atau sanak saudara. Jumlahnya pun harus dibatasi. Maksimal 10 saja, misalnya.
Terhadap ke-10 MI itu alokasikan dana untuk diinvestasikan. Makin tinggi ratingnya, makin besar alokasinya. Rating itu sendiri mesti didasarkan atas “sejarah” dan kinerja perusahaan dimaksud. Berapa total AUM (Asset under management), berapa lama usia MI dimaksud, siapa saja yang menjadi pengelola-nya. Singkatnya, harus ada semacam “fit and proper” terhadap “bibit bebet bobot” dari perusahaan sekuritas maupun MI sebelum dijadikan sebagai mitra investasi.
Simpulannya, jika ingin perusahaan asuransi dikelola secara keren, maka 3 (tiga) persyaratan mesti terpenuhi. Yakni, adanya pengelola yang kompeten. Adanya sistem investasi yang anti “intervensi”. Adanya pengelola yang berintegritas dan bernyali. Jika itu sudah ada, baru bisa membenahi portfolio investasi yang rusak, termasuk konon di Asabri.
Di samping itu kasus Jiwasraya dan Asabri telah membuka mata kita semua bahwa Asuransi bisa membuat sistemik yang ternyata kita lupa memasukan dalam UU No.9 Tahun 2016 tentang Penanggulangan dan Pencegahan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK). Bukan tak mungkin setelah Jiwasraya, Asbari terbitlah Asuransi atau dana Pensiun lain karena pola investasinya mirip mirip. (*)
Jakarta - Harga emas Antam atau bersertifikat PT Aneka Tambang hari ini, Rabu, 24 September… Read More
Jakarta – Evelyn Halim, Direktur Utama Sarana Global Finance Indonesia (SG Finance), dinobatkan sebagai salah… Read More
Jakarta - Industri asuransi menghadapi tekanan berat sepanjang tahun 2024, termasuk penurunan penjualan kendaraan dan… Read More
Jakarta - Industri perbankan syariah diproyeksikan akan mencatat kinerja positif pada tahun 2025. Hal ini… Read More
Jakarta - Presiden Direktur Sompo Insurance, Eric Nemitz, menyoroti pentingnya penerapan asuransi wajib pihak ketiga… Read More
Senior Vice President Corporate Banking Group BCA Yayi Mustika P tengah memberikan sambutan disela acara… Read More