Greenwashing Meningkat, Perbankan Jadi Penyumbang Kasus Terbesar Kedua

Greenwashing Meningkat, Perbankan Jadi Penyumbang Kasus Terbesar Kedua

Poin Penting

  • Greenwashing di sektor jasa keuangan meningkat signifikan, dengan perbankan menempati posisi kedua penyumbang insiden (12 persen) pada 2023.
  • Eropa menjadi wilayah dengan kasus greenwashing terbanyak, didorong oleh tingginya permintaan ESG, diikuti Amerika Utara dan Asia.
  • OJK dan UNEP FI melakukan riset dan sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran dan mengurangi risiko greenwashing di sektor keuangan.

Jakarta – Praktik greenwashing atau pemalsuan pelaporan ESG oleh entitas bisnis semakin marak, termasuk di industri jasa keuangan.

Asia-Pacific Regional Coordination Associate UNEP FI, Nyoman Gde Satrya Wibawa menyatakan, peristiwa greenwashing terus meningkat dari tahun ke tahun.

“Terjadi lonjakan kasus greenwashing di industri jasa keuangan global sejak periode tahun 2021-2023 di semua kawasan, kecuali Amerika Utara,” jelasnya, dalam acara The 3rd OJK International Research Forum 2025, Senin, 6 Oktober 2025.

Mengutip data Reprisk, pada 2023, insiden greenwashing terbanyak terjadi di Eropa dengan sekitar 1.131 kasus. Posisi kedua ditempati Amerika Utara (Amerika Serikat dan Kanada) dengan 535 insiden, sementara benua Asia berada di posisi berikutnya.

Dominasi Eropa terkait greenwashing tak lepas dari permintaan ESG yang jauh lebih tinggi di kawasan tersebut dibandingkan wilayah lain.

Sementara itu, sektor industri terbanyak yang melakukan greenwashing secara global pada 2023 ialah oil and gas sebanyak 13 persen dari total insiden greenwashing

Adapun sektor perbankan dan layanan keuangan menempati posisi kedua terbanyak dengan 12 persen dari total peristiwa greenwashing, atau sebanyak 199 kasus.

“Jadi, industri keuangan tidak imun terhadap risiko greenwashing ini,” tegasnya.

Baca juga: Transformasi Sistem Keuangan RI oleh AI dan Blockchain, OJK Dorong Regulasi Ketat

Ia menjelaskan, untuk meningkatkan kesadaran pelaku usaha jasa keuangan, OJK bersama UNEP FI pun mengadakan objek penelitian untuk melakukan pendalaman fenomena greenwashing di sektor jasa keuangan.

Salah satunya, melakukan Diseminasi Riset Kolaborasi bertema “The Greenwashing Trap: How to Build Public Awareness” pada 2024 silam. 

Kegiatan ini juga bertujuan untuk memberikan rekomendasi strategis untuk mencegah dan menangani isu praktik greenwashing dalam industri jasa keuangan.

“Tujuan kegiatan ini untuk memberikan pemahaman komprehensif mengenai gambaran greenwashing di sektor keuangan yang berkelanjutan dan strategi untuk mengurangi risiko praktik greenwashing,” tegasnya.

Sebelumnya, Peneliti Kelompok Spesialis Riset dan Widyaiswara OJK Institute, Sanjung Purnama Budiarjo mengungkapkan, ada beberapa faktor pendorong timbulnya greenwashing.

Antara lain, kurangnya pengungkapan standar mengenai praktik keberlanjutan, kemampuan konsumen yang terbatas untuk memverifikasi akurasi klaim hijau terkait produk dan layanan, penggunaan data ESG yang tak diaudit secara luas, serta tak adanya otoritas regulasi global dan pedoman regulasi yang mengikat.

Baca juga : Kasus Pembobolan Dana Sekuritas, OJK Tidak Menemukan Kesalahan di Sistem TI BCA

Dari sana, OJK menemukan ada dua bentuk utama greenwashing yang marak terjadi di sektor keuangan. Pertama, greenwashing pada produk keuangan berkelanjutan. 

Greenwashing pada produk keuangan berkelanjutan mengambil bentuk dalam misinterpretasi pada pemasaran (mislabeling), permasalahan pelaporan, dan kesalahan alokasi dana.

“Misalnya, perusahaan menerbitkan green saving account. Yang dipromosikan seolah-olah dananya ini untuk energi terbarukan. Namun, ternyata digunakan untuk meningkatkan infrastruktur berbasis diesel,” ucapnya.

Kemudian, bentuk kedua adalah pernyataan keliru terkait pelaporan ESG. Beberapa tipe greenwashing dari bentuk ini ialah statement provision atau penyediaan pernyataan, yang dapat dikenali dari penggunaan kata-kata yang berlebihan. Kemudian, pernyataan yang menyesatkan dan tidak jelas.

“Contoh, salah satu bank bilang bahwa dia adalah juara dalam memerangi perubahan iklim melalui operasional bisnis yang 100 persen hijau. Padahal, klaim 100 persen hijau ini hanya didasarkan pada penggunaan listrik terbarukan di kantor pusat mereka. Yang hanya sebagian kecil dari jejak operasionalnya,” beber Sanjung. (*)

Editor: Yulian Saputra

Related Posts

News Update