Expertise

Genius Act: Senjata Baru AS Menjaga Dominasi Dolar

Oleh Setiawan Budi Utomo, Pemerhati Keuangan dan Kebijakan Publik

DI era di mana uang berubah menjadi data dan data menjelma kekuasaan, Amerika Serikat (AS) kembali memainkan kartu trufnya: Genius Act – instrumen hukum dan teknologi untuk mempertahankan supremasi dolar di jagat digital.

Terkait dengan itu, kini ada sebanyak 134 negara (mewakili 98 persen PDB global) tengah meneliti atau mengembangkan Central Bank Digital Currency/CBDC (Atlantic Council, 2025). Dolar AS masih mendominasi 58 persen cadangan devisa global, meski turun dari 71 persen pada 1999 (IMF, 2025). Sebagai informasi, 99 persen stablecoin dunia berbasis dolar, menunjukkan transisi kekuasaan moneter dari fisik ke digital (Digital Chamber, 2025).

Kini, 11 negara telah meluncurkan CBDC penuh, dan transaksi digital bank sentral diproyeksikan mencapai USD213 miliar pada 2025 (Coinlaw, 2025). Indonesia sendiri menargetkan rupiah digital tahap implementasi 2025-2026 sebagai pilar kedaulatan finansial di era digital (Bank Indonesia, 2025).

Baca juga: Rupiah Diramal Bisa Tembus ke Level Rp16.800 per Dolar AS, Ini Pemicunya

Dominasi Dolar di Persimpangan Sejarah

Sejak Bretton Woods (1944), dolar AS menjadi jangkar sistem moneter dunia. Namun, dalam dua dekade terakhir, fondasi itu mulai retak. Tumbuhnya kekuatan ekonomi Tiongkok, meningkatnya fragmentasi perdagangan global, dan ledakan teknologi blockchain menantang tatanan lama. Kini, dominasi dolar tidak lagi ditentukan oleh cetakan uang atau neraca perdagangan, melainkan oleh siapa yang menguasai jaringan data dan arsitektur transaksi digital dunia.

Dalam lanskap baru inilah Genius Act lahir. Bukan sekadar kebijakan inovasi, melainkan strategi geopolitik yang menyatukan otoritas keuangan, lembaga riset, dan industri teknologi dalam satu visi: menjadikan dolar tetap sebagai pusat gravitasi ekonomi digital global.

Genius Act: Reinkarnasi Dolar dalam Bentuk Digital

Genius Act atau Government Enhancing National Innovative Unified Strategy disusun untuk mempercepat integrasi antara kebijakan moneter dan inovasi digital. Melalui payung hukum ini, The Federal Reserve (The Fed) dan Departemen Keuangan AS dapat mengembangkan digital dollar yang kompatibel dengan sistem pembayaran global, sembari memperketat pengawasan atas aset kripto, stablecoin, dan fintech lintas batas.

Kolaborasi dengan raksasa keuangan, seperti Visa, Mastercard, dan JPMorgan, memperkuat posisi AS di infrastruktur transaksi global. Hasilnya, lahirlah “dolar digital” – bukan hanya sebagai alat tukar, tapi juga sebagai mekanisme pengumpulan dan penguasaan data finansial dunia. Dengan algoritma, kecerdasan buatan, dan enkripsi kuantum, kekuatan moneter AS kini bertransformasi dari central banking power menjadi central data power.

Ancaman dari Timur: Digital Yuan dan BRICS Pay

Langkah cepat Washington ini adalah respons terhadap manuver Tiongkok dan sekutunya. Sejak 2023, Tiongkok memperluas penggunaan digital yuan (e-CNY) dalam perdagangan lintas batas, sementara Rusia dan India mengembangkan sistem BRICS Pay berbasis blockchain untuk mengurangi ketergantungan pada SWIFT.

Bank of Russia bahkan mulai mengeksekusi uji coba digital ruble, sementara Brasil meluncurkan proyek DREX – CBDC nasionalnya. Jika inisiatif ini berhasil, maka sistem pembayaran global akan terfragmentasi, dengan potensi mengurangi ketergantungan terhadap dolar hingga 10 persen – 15 persen dalam dekade mendatang.

Itulah sebabnya Genius Act dipandang sebagai langkah strategis AS untuk mempertahankan kepemimpinan mata uangnya di tengah munculnya pusat-pusat kekuatan moneter baru.

Dunia Menuju Multipolaritas Finansial

Data IMF (Juni 2025) menunjukkan bahwa proporsi cadangan devisa non-dolar terus meningkat, dengan euro di kisaran 20 persen, yuan 3 persen, dan yen 5 persen. Meski dominan, dolar kini berada dalam pusaran kompetisi baru: bukan dengan mata uang konvensional, melainkan dengan ekosistem digital yang menghubungkan negara-negara melalui digital ledger technology.

Dalam konteks ini, Genius Act adalah tameng sekaligus pisau: melindungi hegemoni lama, namun juga mengiris batas-batas lama kedaulatan moneter negara lain. Bagi AS, pengendalian standar digital global sama artinya dengan mempertahankan kursi puncak ekonomi dunia.

Indonesia: Dari Adaptasi ke Kedaulatan Digital

Bagi Indonesia, dinamika ini menghadirkan dua sisi mata uang. Di satu sisi, peluang terbuka untuk integrasi ekonomi digital lintas kawasan ASEAN. Di lain sisi, risiko dominasi sistem pembayaran berbasis dolar digital mengintai.

Bank Indonesia (BI) melalui Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia 2025 telah memproyeksikan peluncuran rupiah digital tahap implementasi penuh pada 2026. Bersama OJK, Kementerian Keuangan, dan BI-FAST, infrastruktur sistem pembayaran nasional terus diperkuat agar mampu bersaing di kancah global.

Langkah ini sejalan dengan tren kawasan. Singapura, Malaysia, dan Thailand telah menguji konektivitas lintas batas real-time payment, sementara ASEAN berkomitmen membangun Regional Payment Connectivity untuk memperkuat kedaulatan ekonomi kawasan.

Refleksi: Dari Kertas ke Kode, dari Kekuasaan ke Kepercayaan

Sejarah membuktikan, setiap transformasi moneter menandai babak baru dalam pergeseran kekuasaan global. Dolar digital, yuan digital, dan rupiah digital bukan sekadar alat transaksi. Mereka adalah simbol dari kedaulatan, kepercayaan, dan strategi nasional.

Di masa depan, kekuatan ekonomi tidak lagi ditentukan oleh seberapa banyak cadangan devisa yang dimiliki, melainkan oleh kemampuan menguasai algoritma keuangan dan keamanan data. Maka, Genius Act adalah pesan keras dari Washington: bahwa dalam ekonomi digital, kendali atas data sama pentingnya dengan kendali atas uang.

Penutup

Era keuangan digital telah memulai babak baru financial multipolarity. AS mungkin masih menjadi pemain utama, tapi panggung kini makin padat.

Bagi Indonesia, pilihan strategisnya jelas – menjadi penonton yang reaktif atau pemain yang proaktif. Dengan mempercepat transformasi digital, memperkuat regulasi, dan memastikan integrasi lintas batas berbasis kepercayaan, Indonesia dapat menulis bab baru: bukan sekadar mengikuti arus dominasi dolar, tapi ikut merancang arsitektur keuangan global yang lebih seimbang dan berdaulat.

Galih Pratama

Recent Posts

Hashim Djojohadikusumo Raih Penghargaan ‘Inspirational Figure in Environmental and Social Sustainability’

Poin Penting Hashim Djojohadikusumo meraih penghargaan “Inspirational Figure in Environmental and Social Sustainability” berkat perannya… Read More

2 hours ago

Dua Saham Bank Ini Patut Dilirik Investor pada 2026

Poin Penting Mirae Asset merekomendasikan BBCA dan BMRI untuk 2026 karena kualitas aset, EPS yang… Read More

2 hours ago

Hashim Soroti Pentingnya Edukasi Publik Terkait Perubahan Iklim

Poin Penting Indonesia menegaskan komitmen memimpin upaya global melawan perubahan iklim, seiring semakin destruktifnya dampak… Read More

3 hours ago

OJK Sederhanakan Aturan Pergadaian, Ini Poin-poinnya

Poin Penting OJK menerbitkan POJK 29/2025 untuk menyederhanakan perizinan pergadaian kabupaten/kota, meningkatkan kemudahan berusaha, dan… Read More

4 hours ago

40 Perusahaan & 10 Tokoh Raih Penghargaan Investing on Climate Editors’ Choice Award 2025

Poin Penting Sebanyak 40 perusahaan dan 10 tokoh menerima penghargaan Investing on Climate 2025 atas… Read More

4 hours ago

Jelang Akhir Pekan, IHSG Berbalik Ditutup Melemah 0,09 Persen ke Level 8.632

Poin Penting IHSG ditutup melemah 0,09% ke level 8.632 pada 5 Desember 2025, meski beberapa… Read More

5 hours ago