Oleh Awaldi

SAYA berada di tengah keramaian di Gelora Bung Karno (GBK), 10 Maret malam, menyaksikan penampilan grup musik Blackpink yang hampir satu dekade ini sangat populer dan digandrungi para remaja Indonesia. Banyak yang menanyakan kenapa saya ikut menonton pertunjukan itu. Mereka bertanya apakah saya fan Blackpink? Tentu saja tidak. Saya tidak pernah secara sengaja memutar lagunya untuk didengar. Saya hanya mengantar keponakan dan istri.

Akan tetapi, saya mendapatkan pengalaman menonton luar biasa. Saya terkesima. Ruangan yang besar dan luas disesaki puluhan ribu remaja. Sebelum keempat penyanyinya, Jisoo, Jennie, Rose, dan Lisa, muncul, para fan serempak tak henti-henti menyanyikan lagu-lagu grup musik ini. Penonton kemudian histeris ketika keempat penyanyi Blackpink muncul. 

Fan Blackpink disebut Blink. Mereka adalah penggemar setia yang datang sejak subuh, dan tidak beranjak segera dari stadion GBK walaupun konser malam itu sudah lama usai. Blink sebagai suatu fans club sudah seperti suatu suku, geng, kumpulan yang fanatik terhadap grup musik Blackpink. 

Dan, biasanya fans club seperti ini memang banyak terdapat dalam industri hiburan, musik, film, dan sport. Akan tetapi, beberapa juga tumbuh subur pada perusahaan dalam industri lain, seperti fan yang dimiliki oleh brand besar seperti Apple, Nike, atau Microsoft. 

Saking terkesimanya dengan Blink, saya merenung bahwa konsep yang sama bisa digunakan dalam pengelolaan sumber daya manusia (SDM) di perusahaan dengan membentuk employee tribe yang khusus untuk perusahaan itu. Tujuannya tentu untuk menumbuhkan karyawan yang fanatik terhadap perusahaan, yang dibelanya mati-matian. Konsep yang bisa menumbuhkan simbol budaya yang kuat dan kecintaan yang dalam terhadap perusahaan tempatnya bekerja. 

Karyawan yang merasa berada dalam satu kelompok yang kuat akan mengidentifikasi dirinya sebagai satu keluarga, satu tanah air, satu suku, bersaudara. Karenanya akan membangun kecintaan luar biasa terhadap sesama karyawan dan terhadap perusahaannya. Dan, akhirnya mempersembahkan komitmen dan kinerja optimal untuk perusahaan tempatnya bekerja. 

Bank dan perusahaan di Indonesia perlu mencontoh bagaimana fans club terbentuk dan menerapkannya untuk membentuk tribe dan subculture serupa untuk karyawan. Seperti anggota Blink yang fanatik, atau Army-nya BTS, atau Gooners-nya klub sepak bola Arsenal, atau HOG-nya Harley Davidson. 

Para anggota fans club ini punya nama khusus untuk menyebut dirinya. Ini menjadi pembeda identitas dengan kelompok lainnya. Perusahaan juga mesti punya penyebutan sendiri untuk kelompok karyawannya. Kalau menyebut mereka sebagai staf atau karyawan ataupun pekerja, menjadi sama saja dengan perusahaan lain. Tidak ada pembeda. Tidak ada identitas khusus. 

Perusahaan atau bank harus kreatif memberikan nama panggilan untuk karyawannya. Nama sebutan dengan ciri khas akan menjadi kebanggaan dan identitas. Seperti penyebutan Blink, yang diambil dari kata “Bl” untuk Black dan “ink” untuk Pink. Perusahaan bisa menyebut kelompok karyawannya dengan suffix-an. Contoh perusahaan ABC, karyawannya dipanggil ABCian. Tentu penyebutan lain yang lebih kreatif akan memiliki makna yang lebih dalam. 

Fans club memiliki banyak merchandiser. Perusahaan bisa meniru dengan menerbitkan banyak merchandiser untuk dibagikan gratis kepada karyawan maupun bisa dibeli dengan harga murah. Contohnya seperti kemeja dan kaus dengan warna perusahaan dan merek atau jargon tertentu. Bisa juga simbol-simbol lain yang diproduksi secara masif dan dibagikan atau dijual kepada karyawan maupun keluarganya. 

Blackpink memiliki bintang yaitu empat orang penyanyinya. Perusahaan atau bank juga harus punya bintang, yang ditunggu kehadirannya, dielu-elukan, dan dibanggakan. Ini adalah tugas CEO, yang tidak boleh terlalu diam dan introvert. CEO menjadi simbol, harus aktif, harus banyak di-cover oleh media, mesti hadir dalam acara-acara besar, sering jadi speaker. Dia harus menjadi kebanggaan. 

Perusahaan juga mesti sering tampil sebagai sponsor dalam hajatan-hajatan penting. Memberikan bantuan jika ada bencana kemanusiaan. Menjadi perusahaan terbaik untuk bidang-bidang tertentu, dan tentu saja dari sisi finansial dihormati dalam industri. Menjadi the admired company. 

Banyak kegiatan dari keberadaan Blink dan fans club yang bisa ditiru untuk menjadi contoh membangun employee subculture dan employee tribe. Perusahaan harus komit menyediakan resources untuk membangunnya. Karena, karyawan akan bangga setengah mati, dan seperti anggota Blink, karyawan akan lakukan apa saja untuk membela idolanya, fanatik dan die hard untuk memberikan yang terbaik bagi perusahaan kesayangannya.p

*) Penulis adalah Pemerhati SDM bank. Mahasiswa doktoral Unibraw. Pernah menjadi direktur operasi dan teknologi di bank

Rezkiana Nisaputra

Recent Posts

Harita Nickel Raup Pendapatan Rp20,38 Triliun di Kuartal III 2024, Ini Penopangnya

Jakarta – PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) atau Harita Nickel pada hari ini (22/11)… Read More

2 hours ago

NPI Kuartal III 2024 Surplus, Airlangga: Sinyal Stabilitas Ketahanan Eksternal Terjaga

Jakarta - Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada kuartal III 2024 mencatatkan surplus sebesar USD5,9 miliar, di… Read More

2 hours ago

Peluncuran Reksa Dana Indeks ESGQ45 IDX KEHATI

Head of Institutional Banking Group PT Bank DBS Indonesia Kunardy Lie memberikan sambutan saat acara… Read More

4 hours ago

Pacu Bisnis, Bank Mandiri Bidik Transaksi di Ajang GATF 2024

Pengunjung melintas didepan layar yang ada dalam ajang gelaran Garuda Indonesia Travel Festival (GATF) 2024… Read More

4 hours ago

Eastspring Investments Gandeng DBS Indonesia Terbitkan Reksa Dana Berbasis ESG

Jakarta - PT Eastspring Investments Indonesia atau Eastspring Indonesia sebagai manajer investasi penerbit reksa dana… Read More

6 hours ago

Transaksi Kartu ATM Makin Menyusut, Masyarakat Lebih Pilih QRIS

Jakarta - Bank Indonesia (BI) mencatat perubahan tren transaksi pembayaran pada Oktober 2024. Penggunaan kartu ATM/Debit menyusut sebesar 11,4… Read More

6 hours ago