Jakarta – Bangkrut. Begitulah gambaran singkat “kengerian” yang bisa menimpa sektor jasa keuangan dan perbankan akibat climate change atau perubahan iklim. Kengerian ini secara serius diutarakan oleh Andhyta Firselly Utami, Peneliti Ekonomi Lingkungan dan Pendiri Think Policy, apabila sektor jasa keuangan dan perbankan tidak segera melakukan aksi dan tindakan konkret dalam menghadapi perubahan iklim.
Akan tetapi, pertanyaan besarnya, apakah memang begitu mengerikan, hingga perubahan iklim mampu membuat perbankan maupun lembaga jasa keuangan lainnya gulung tikar? Dan, bagaimana relasi antara sektor keuangan, terutama perbankan terkait isu iklim yang kini sedang menjadi perhatian di seluruh dunia?
Dalam laporan World Bank “Turn Down the Heat: Confronting the New Climate Normal,” menyatakan bahwa perubahan iklim telah menyebabkan peningkatan suhu rata-rata global, yang berdampak pada pola cuaca ekstrem, kenaikan tingkat laut, dan berbagai ancaman bagi masyarakat dan lingkungan.
Contoh sederhana di industri perbankan. Diceritakan Andhyta, perubahan iklim bisa berdampak langsung pada bisnis, perusahaan atau nasabah yang mendapat pinjaman dari bank, terlebih karena adanya risiko fisik yang ditimbulkan. Seperti kenaikan air laut dan banjir hingga terjadi property damage, yakni kasus kecelakaan yang menyebabkan kerusakan property/aset perusahaan.
Baca juga: Menata Kembali Sistem Keuangan untuk Mempercepat Transisi Energi
“Kalau nasabah punya aset property yang dijadikan jaminan/agunan ke bank, ketika property ter-damage kebanjiran atau rusak, value-nya akan turun, sehingga aset sektor perbankan juga terdampak. Contoh lain, perusahaan di sektor agriculture. Karena perubahan iklim, perusahaannya gagal panen terus menerus sehingga portofolionya tidak menguntungkan. Dan yang ditakutkan, debitur tidak bisa mengembalikan atau membayar hutang-hutang mereka,” katanya, medio November lalu.
Padahal, debitur gagal bayar adalah mimpi buruk bagi bank. Bank harus menanggung beban kredit macet dan kerugian akibat dana pinjaman yang tidak dikembalikan. Jadi, baik debitur gagal bayar maupun property damage, keduanya merupakan dampak buruk akibat perubahan iklim yang merugikan perbankan.
Akhirnya, disinilah relasi antara bank dengan perubahan iklim. Bank yang menurut Andhyta merupakan hulu dari segala hulu di sektor keuangan, punya andil besar untuk menunjukkan “keberpihakan” dalam menyalurkan pendanaan.
Keberpihakan ini maksudnya, memilih untuk menyalurkan pendanaan atau pembiayaan ke sektor sektor-sektor bisnis yang ramah lingkungan, misalnya mendukung proyek-proyek yang berfokus pada energi terbarukan, efisiensi energi, dan tata kelola perusahaan yang baik. Jadi, tidak hanya sebagai penyedia dana, tetapi bank juga berperan sebagai agen perubahan dalam mendorong praktik bisnis yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Hal ini pun juga turut mendorong perbankan mengimplementasi pembiayaan berkelanjutan. Andhyta menjelaskan, pembiayaan berkelanjutan merupakan paradigma keuangan yang telah menjadi sorotan utama dalam upaya mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan di Indonesia. Paradigma ini tidak hanya mencakup aspek finansial, tetapi juga aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola yang berdampak luas.
Pembiayaan berkelanjutan, atau sustainable finance, adalah pendekatan keuangan yang memadukan pertumbuhan ekonomi dengan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Dalam konteks ini, Andhyta juga menyoroti pentingnya memasukkan aspek sosial dan lingkungan dalam pengambilan keputusan keuangan. “Pembiayaan berkelanjutan adalah tentang memahami bahwa ekonomi, sosial, dan lingkungan adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan,” ujarnya.
Pada saat yang sama, transisi nir-emisi (atau transmisi menuju nol karbon) telah menjadi komitmen global yang diikuti oleh Indonesia dalam mengurangi emisi karbon hingga mencapai net zero emisi atau net zero emission (NZE) karbon pada tahun 2050. Ini berarti, Indonesia berusaha untuk mengurangi emisi karbon secara signifikan, dan jika ada emisi yang tersisa, akan dikompensasi melalui upaya seperti penanaman hutan atau teknologi karbon negatif.
“Kemitraan antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sangat penting dalam mencapai tujuan pembiayaan berkelanjutan dan transisi nir-emisi, dengan tanggung jawab masing-masing yang proporsional. Inovasi juga menjadi kunci dalam memecahkan masalah-masalah yang kompleks dalam pembiayaan berkelanjutan,” tutur Andhyta.
Salah satu contoh dari implementasi pembiayaan berkelanjutan yang berorientasi pada lingkungan, sosial dan tata kelola adalah saat PT Bank HSBC Indonesia (HSBC Indonesia) mengumumkan penyaluran pinjangan berjangka hijau sebesar USD 20 juta kepada PT Indo-Rama Synthetics, Tbk., sebuah perusahaan publik di Indonesia, produsen benang pintal dan polyester terintegrasi yang merupakan anak perusahaan dari Indorama Corporation Pte. Ltd., Singapore (“Indorama”).
Pinjaman berjangka hijau akan digunakan untuk mendukung upaya Indo-Rama mengurangi konsumsi energi melalui instalasi mesin-mesin baru dengan teknologi dan penggunaan energi yang lebih efisien pada perluasan pabrik benang pintal, serta meningkatkan pencapaian ESG dari Indorama Group secara keseluruhan.
Proyek ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi energi sekitar 20% yang diperoleh dari penggunaan mesin-mesin dan teknologi yang lebih hemat energi. Dengan demikian, hal ini sejalan dengan rencana peningkatan ESG Indorama secara luas yang meliputi peta jalan dekarbonisasi, inisiaitif sumber daya terbarukan seperti contohnya instalasi panel tenaga suraya, serta menggiatkan penggunaan bahan-bahan yang dapat didaur ulang.
HSBC Indonesia yang telah beroperasi di Indonesia sejak 1984, saat ini telah melayani nasabah melalui lebih dari 80 cabang yang tersebar di 28 kota di Indonesia. HSBC percaya bahwa integrasi antara lingkungan, sosial, dan tata kelola perusahaan dalam proses pembuatan keputusan finansial membuka peluang positif untuk mendorong perubahan dunia ke arah lebih baik. Perusahaan memiliki visi untuk mencapai NZE pada praktik operasional dan rantai pasokannya di 2030 dan pada portofolionya di 2050.
Baca juga: Bos HSBC Ungkap Potensi Bisnis Bursa Karbon RI, Nilainya Capai Segini
Francois de Maricourt, Presiden Direktur HSBC Indonesia, mengatakan bahwa HSBC Indonesia telah terlibat dalam mengembangkan keuangan keberlanjutan melalui kemitraan strategis antara pemerintah dengan swasta.
“Kami berperan aktif dalam inisiatif strategis seperti Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ) melalui mekanisma Just Energy Transition Partnership (JETP). Kolaborasi ini bertujuan untuk mempercepat transisi menuju ekonomi rendah karbon dan berkelanjutan di Indonesia,” ujarnya, beberapa waktu lalu.
Sebagai informasi, Bank HSBC Indonesia mencatatkan kinerja baik pada kuartal III/2023. Labanya tumbuh 4,2 persen menjadi Rp1,68 triliun dari sebelumnya Rp1,62 triliun. Kemudian, HSBC Indonesia mencatat penyaluran kredit Rp58,7 triliun.
Aset bank naik 6,64 persen menjadi Rp133,73 triliun pada kuartal III/2023, dari yang sebelumnya Rp125,4 triliun. Sementara, dana pihak ketiga HSBC Indonesia mencapai Rp92,78 triliun atau naik 6,38 persen. (*) Ayu Utami
Jakarta - PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) resmi membuka penjualan tiket kereta cepat Whoosh… Read More
Jakarta - PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) terus berkomitmen mendukung pengembangan sektor pariwisata berkelanjutan… Read More
Tangerang - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) bekerja sama dengan Kementerian Perdagangan (Kemendag) meluncurkan program… Read More
Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat bahwa data perdagangan saham selama periode 16-20… Read More
Jakarta – Bank Indonesia (BI) mencatat di minggu ketiga Desember 2024, aliran modal asing keluar… Read More
Jakarta - PT Asuransi BRI Life meyakini bisnis asuransi jiwa akan tetap tumbuh positif pada… Read More