Moneter dan Fiskal

Gagal Bayar Utang AS, Berdampak ke Pasar Keuangan RI?

Jakarta – Chief Economist PermataBank, Josua Pardede menilai potensi gagal bayar utang Amerika Serikat (AS) akan diawali dengan government shutdown. Hal ini tentunya dapat memberikan efek rambatan terhadap investasi dari AS ataupun perdagangan di Indonesia, termasuk di pasar keuangan.

“Karena Amerika juga salah satu tujuan ekspor Indonesia tapi kan itu temporer saja kalau lihat sejarahnya saya pikir goverment shutdown tidak akan berkepanjangan sangat short term,” kata Josua, disela-sela acara Asian Banking & Finance Forum 2023, Rabu, 3 Mei 2023.

Lebih lanjut, Josua menambahkan, sekalipun ada sentimen dari efek rambatan gagal bayar utang AS, maka dampaknya akan terjadi di pasar keuangan Indonesia, tetapi potensinya sangat kecil melihat kondisi Rupiah dan perekonomian nasional yang cenderung menguat.

“Tapi pasar keuangan melihat kondisi Rupiah kita sekarang cenderung menguat dan kondisi ekonomi juga lagi bagus bagusnya, saya pikir untuk sentimen yang bisa mempengaruhi Rupiah sangat kecil. Jadi menurut saya rupiah masih akan terjaga di bawah Rp15000 saat ini. Makanya saya belum melihat resiko yang cukup berarti yang mempengaruhi pasar keuangan kita,” ungkap Josua.

Baca Juga: AS Terancam Gagal Bayar Utang, Dampaknya Bikin Ngeri

Di sisi lain, sejauh ini Josua melihat, belum ada risiko yang signifikan dari potensi gagal bayar utang AS terhadap kondisi utang di Tanah Air. Menurutnya, utang di Indonesia sudah sangat terorganisisr, dimana Kementerian Keuangan pada Maret 2023 melaporkan utang RI sebesar 39,17% terhadap PDB atau Rp7.879,07 triliun.

“Artinya transmisi ataupun rambatan dari masalah utang Amerika Serikat tidak sampai jauh mempengaruhi kondisi utang negara kita,” jelas Josua.

Bahkan, di tengah pandemi tahun 2022 lalu fiskal kita sudah kembali berada dibawah 3%, sehingga sangat berbeda karakteristiknya dengan negara maju yang mana merasa terus menaikan utangnya. Selain itu, pemerintah juga berupaya untuk menjaga momentum investasi karena ujung-ujungnya investor akan melihat bagaimana suistinability dari utang.

“Jadi tentu ada penyesuaian dari sisi belanja yang terkait pandemi kan sudah dikurangi pemerintah Indonesia dan juga didorong melalui penerimaan perpajakan artinya upaya upaya tersebut untuk bisa mengurangi ketergantungan dari membengkaknya belanja dan membengkaknya utang,” pungkasnya. (*)

Editor: Rezkiana Nisaputra

Irawati

Recent Posts

Mau ke Karawang Naik Kereta Cepat Whoosh, Cek Tarif dan Cara Pesannya di Sini!

Jakarta - PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) resmi membuka penjualan tiket kereta cepat Whoosh… Read More

7 hours ago

Komitmen Kuat BSI Dorong Pariwisata Berkelanjutan dan Ekonomi Sirkular

Jakarta - PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) terus berkomitmen mendukung pengembangan sektor pariwisata berkelanjutan… Read More

9 hours ago

Melalui Program Diskon Ini, Pengusaha Ritel Incar Transaksi Rp14,5 Triliun

Tangerang - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) bekerja sama dengan Kementerian Perdagangan (Kemendag) meluncurkan program… Read More

9 hours ago

IHSG Sepekan Anjlok 4,65 Persen, Kapitalisasi Pasar Ikut Tertekan

Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat bahwa data perdagangan saham selama periode 16-20… Read More

12 hours ago

Aliran Modal Asing Rp8,81 Triliun Kabur dari RI Selama Sepekan

Jakarta – Bank Indonesia (BI) mencatat di minggu ketiga Desember 2024, aliran modal asing keluar… Read More

17 hours ago

Bos BRI Life Ungkap Strategi Capai Target Bisnis 2025

Jakarta - PT Asuransi BRI Life meyakini bisnis asuransi jiwa akan tetap tumbuh positif pada… Read More

18 hours ago