Fokus Awasi Pinjol, OJK Tutup Pendaftaran Fintech Baru

Fokus Awasi Pinjol, OJK Tutup Pendaftaran Fintech Baru

Jakarta– Otoritas Jasa Keuangan (OJK) masih menutup pendaftaran platform P2P baru yang telah berlaku sejak Februari 2020. Langkah ini dilakukan untuk memastikan status masing-masing fintech, menyusul merebaknya keresahan di masyarakat akibat aksi pinjaman online (pinjol) ilegal.

Riswinandi Idris, Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) OJK, mengatakan sejak tahun 2018, OJK melalui Satgas Waspada Invesatasi telah menutup sebanyak 3.193 fintech ilegal. Selain itu, fintech yang sudah terdaftar juga sedang dipastikan kesehatannya dari sisi kelembagaan maupun SDM. 

Dia menjelaskan moratorium pendaftaran fintech dilakukan untuk memverifikasi dan mengawasi platform yang belum memenuhi peraturan yang ada. Perusahaan yang telah terdaftar diberikan waktu satu tahun untuk mengurus perizinan.

“Jadi setelah mendaftar, tidak semua memproses izin. Banyak yang tidak ambil izin, padahal sudah mulai cari investor. Jadi tidak semua yang terdaftar sudah berizin. Ini kami pastikan dulu kesehatannya, seperti modal dan SDM,” paparnya, dalam Diskusi Daring Waspada Jebakan Pinjaman Online Ilegal Forum Diskusi Salemba, di Jakarta, Rabu 30 Juni 2021.

Selain itu, jelasnya, OJK Juga berencana melakukan pembaharuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tahun 2016 untuk mengadopsi permasalah pinjaman online yang terjadi saat ini dan mengantisipasi perubahan di masa mendatang.

Tahun lalu, OJK juga menyusun Digital Financial Road Map 2020 -2025 untuk mendukung inovasi di sektor keuangan, stabilitas keuangan dan perlindungan konsumen. OJK sedang mengembangkan Pusat Data Fintech untuk mengelola data perusahaan keuangan berbasis teknologi.

“Saat ini, sudah terkoneksi 83 perusahaan yang sudah terintegrasi dengan sistem yang ada. Ini dikejar terus hingga mencapai 165 perusahaan yang terdaftar tadi. Fungsinya untuk membantu perusahaan P2P bekerja lebih efisien,” paparnya.

Di tempat yang sama, Tongam L Tobing, Ketua Tim Satgas Waspada Investasi, menambahkan dari sebanyak 3.193 fintech ilegal yang ditutup sejak tahun 2008 hingga Juni 2021, penutupan terbanyak dilakukan tahun 2019, yaitu 1.493 perusahaan. Tahun 2020 sebanyak 1.026 fintech ilegal, tahun 2018 sebanyak 404 perusahaan ilegal dan sejak awal 2021 hingga Juni mencapai 270 fintech ilegal.

Dia mengatakan upaya pemberantasan pinjol ilegal menghadapi kendala karena sebagian besar server yang beroperasi bukan di Indonesia. Hanya sekitar 22 persen di Indonesia, selebihnya di luar negeri, seperti Singapura, Malaysia atau China, dan menggunakan aplikasi pribadi.

“Masyarakat perlu mengetahui bahwa setiap penawaran pinjaman online melalui sms dan Wa adalah ilegal karena pada pinjaman online ilegal ini ada syarat untuk dapat memberikan izin akses data di ponsel. Data ini akan digunakan untuk penagihan secara tidak beretika,” terangnya.

Untuk menghindari terjerat pada pinjaman online, Tongam menyebutkan setidaknya ada empat hal yang bisa dilakukan, yaitu pinjamlah pada fintech peer to per lending terdaftar, pinjam sesuai kebutuhan, pinjam untuk kepentingan yang produktif dan pahami biaya, bunga, janga waktu, denda dan risikonya.

Sementara itu, Andre Rahadian, Ketua Umum Iluni UI, mengatakan edukasi adalah hal yang penting pada masyarakat. Di sisi lain, dia menilai peran OJK sangat besar dalam pelaksanaan dan mengatur pelaku pinjaman online.

“Bagaimana OJK bekerja sampai larut malam agar para pelaku fintech dan pendanaan online ini segera mendapatkan lisensi, sehingga mereka bisa diatur secara tepat dan lebih bertanggung jawab terhadap kegiatan operasionalnya,” paparnya.

Fathan Subchi, Wakil Ketua Komisi XI DPR pun juga mengatakan fintech diharapkan dapat diatur dalam sebuah Undang Undang tersendiri, sehingga dasar hukum bagi perusahaan untuk beroperasi dan perlindungan bagi masyarakat lebih kuat.

Dia mengatakan dua poin besar yang perlu mendapatkan perhatian, pertama tugas besar OJK untuk memberikan edukasi kepada masyarakat. Kedua, penegasan tindakan dari penegak hukum untuk menindak fintech ilegal, sehingga menciptakan keadilan bagi masyarakat.

“Saya lihat OJK serius berbenah, kami minta terus OJK serius mengatasi semua masalah gagal bayar di perusahaan keuangan karena konsumen harus bisa dilindungi di pasar. Misi Palemen sama dengan misi OJK untuk lembaga yang melindungi konsumen berhasil,” paparnya.

Dia juga mengatakan perlu ada peraturan yang tegas mengenai bunga yang diberlakukan oleh perusahaan pinjaman online. Dia berharap bunga pinjaman untuk fintech bisa di bawah 6 persen, sehingga bisa menyentuh pelaku usaha mikro, bahkan ultra mikro.

Sementara itu, Kombes Pol Ma’Mum, Kasubdit V Bareskrim Polri, mengatakan hingga saat ini ini sudah ada 47 perkara pinjaman online yang ditangani oleh Kepolisian dari sisi akses ilegal, seperti duplikasi identitas dan tindak pindana lain.

Lebih jauh, Kuseryansyah, Ketua Harian Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) juga mengatakan ruang untuk mendukung usaha mikro sudah sangat terbuka di Indonesia dan sejauh ini sudah difasilitasi oleh OJK.

Namun, untuk memperkuat kepastian hukum bagi pelaku bisnis fintech dan perlindungan kepada masyarakat, dia mengatakan pihaknya berharap DPR RI juga dapat segera menyesahkan Rancangan Undang Undang Perlindungan Data Pribadi untuk melindungi konsumen.

APFI, jelasnya, juga mendukung disusunnya Rancangan Undang Undang Fintech karena potensi pertumbuhan pinjaman online sangat besar bagi perekonomian. Dia menjelaskan peluang bisnis fintech di Indonesia sangat besar186 juta individu produktif (usia di atas 15 tahun), unbanked SME ada 46,6 juta UMKM yang belum memiliki akses kepada kredit.

Dimana diketahui, masyarakat unbanked sebanyak 132 juta individu yang belum memiliki akses kepada kredit dan dari sisi penyaluran kredit total pembiayaan ada Rp1.650 triliun yang belum bisa difasilitasi perbankan tahun 2016. Bagi perbankan ini kelompok berisiko, tetapi bagi pelaku bisnis ini peluang bisnis. (*)

Related Posts

News Update

Top News