oleh Eko B. Supriyanto
SETAHUN terakhir ini diskusi mengenai kehadiran financial technology (fintech) tak pernah sepi. Banyak diskusi yang mengatakan, kehadiran fintech akan begitu masif dan akan menggeser peran intermediasi, termasuk bank. Bisnis bank akan tergerus, terutama dalam dua hal penting, yaitu sistem pembayaran (fee based income) dan kredit, dalam hal ini peer to peer lending (P2P).
Jumlah fintech terus menjamur, baik yang resmi maupun yang abal-abal. Stempel yang resmi jika itu terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dan, jika tidak terdaftar, itu abal-abal. Jumlah yang abal-abal lebih banyak daripada yang resmi. Nah, jika yang abal-abal sebanyak 231, yang resmi belum sampai 100 fintech P2P. Banyak server dari fintech yang abal-abal ini disimpan di luar negeri, bahkan ada yang disimpan di tiga negara sekaligus. Hari ini ditutup OJK, hari ini juga buka lagi.
Baik yang resmi maupun yang tidak, setidaknya fintech punya kesamaan utama, yaitu bunga dan biayanya tinggi. Ada yang sampai 3 persen per hari dan rata-rata 1 persen sehari. Jadi, tidak salah meski tidak harusnya dikatakan oleh Ketua OJK dengan istilah rentenir online. Konotasi rentenir itu negatif, tapi meski rentenir online pun tetap diberi izin oleh OJK meski belum tentu diawasi seperti layaknya bank yang super ketat.
Perkembangan fintech setahun ini lebih cepat. Per Januari portofolio P2P lending mencapai Rp25,29 triliun. Tumbuh 743 persen secara tahunan dari Januari 2018 yang baru Rp3 triliun. Optimisme yang luar biasa. Layanan makin beragam. Namun, ada tanda-tanda terjadi peningkatan non-performing loan (NPL) dari yang semula 1,28 persen menjadi 1,68 persen. Hampir semua portofolio dengan risiko tinggi di sektor konsumsi atau kredit multiguna.
Ada fakta lain, banyak fintech yang langsung melakukan hapus buku sehingga terlihat NPL rendah, karena bisnis model yang dikembangkan adalah database dan guyuran dana dari investor. Nah, agar kelihatan tetap sehat bugar, maka dihapuskan dengan harapan ada investor yang akan menyuntik lagi. Begitu seterusnya. Tak peduli profit and loss, tapi berapa banyak yang sudah menjadi nasabah.
Ada teror fisik, tapi banyak yang menggunakan data pribadi dan foto pribadi yang disebar-sebar ke nomor kontak dari sang peminjam. Mempermalukan, bahkan ada satu kasus sampai bunuh diri karena malu. Hal-hal inilah yang perlu dibenahi. Harusnya fintech mempunyai peluang besar karena masih banyak masyarakat yang belum dilayani oleh bank. Namun, jangan salah membaca data, meski belum banyak masyarakat yang dilayani bank, bukan berarti mereka juga layak mendapatkan pinjaman.
Bank saja lewat kartu kredit, di mana ada kontak manusia. Kredit tanpa agunan pun masih mengalami kredit bermasalah yang sangat serius. Namun, bukan berarti fintech punya celah sempit karena mereka yang belum dilayani oleh bank selain tidak bankable juga tidak layak diberikan kredit karena posisi utangnya sudah melebihi batas.
Peternakan NPL diperkirakan akan muncul di tahun-tahun mendatang, sementara kucuran investor mulai seret.
Apakah fintech akan layu sebelum berkembang di Indonesia? Pengalaman di Tiongkok, tahun lalu saja sudah ada ratusan fintech P2P lending bangkrut. Ada keserakahan di sana, dalam hal ini pengelola fintech ikut menjadi investor sehingga bisa memilih mana nasabah yang benar-benar bagus dan mana yang tidak. Dan, yang buruk itu dibiayai investor dan macet. Karena keserakahan itu, fintech diatur dan bangkrut.
Belajar dari Tiongkok, sudah waktunya fintech di Indonesia tidak serakah dengan tidak menetapkan suku bunga sangat tinggi. Harusnya mekanisme blacklist atau daftar hitam atau BI Checking versi fintech. Jika tidak belajar dari Tiongkok, fintech di Indonesia akan berguguran.
Dan, sekarang banyak fintech yang mulai kehabisan likuiditas karena banyak yang menunggu investor. Sementara, banyak investor besar yang juga sudah masuk di P2P lending dan marketplaceyang kini juga sedang susah dan banyak menjadi toko digital yang tak banyak transaksi.
Musim semi fintech kini bisa jadi telah memasuki musim gugur. Karena itu, tak ada cara lain selain mengubah bisnis modelnya agar NPL tak membesar. Dan, terus berharap kucuran dana dari investor entah sampai kapan? Pada akhirnya laba rugi itu penting dan sangat penting sekarang ini. (*)
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Majalah Infobank
Jakarta - Perusahaan pembiayaan PT Home Credit Indonesia (Home Credit) terus berupaya meningkatkan inklusi keuangan… Read More
Jakarta - Hilirisasi nikel di Pulau Obi, Maluku Utara membuat ekonomi desa sekitar tumbuh dua… Read More
Jakarta - Menteri Koperasi (Menkop) Budi Arie Setiadi mendukung langkah Induk Koperasi Unit Desa (Inkud)… Read More
Jakarta - PT Bank Central Asia Tbk (BCA) untuk pertama kalinya menggelar kompetisi Runvestasi pada… Read More
Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) memberi tanggapan terkait penutupan Indeks Harga Saham Gabungan… Read More
Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) bersama Self-Regulatory Organization (SRO), dengan dukungan dari Otoritas… Read More