oleh Agus E. Siregar
PRESIDEN RI Joko Widodo, menjadikan ekonomi digital sebagai topik utamanya selama kunjungan ke Amerika Serikat menghadiri KTT ASEAN-AS pada Februari 2016. Presiden menekankan dua prioritas yang perlu mendapatkan perhatian ASEAN dan AS yakni kerja sama UMKM serta teknologi dan ekonomi digital. Indonesia diharapkan menjadi kekuatan ekonomi digital terbesar di kawasan pada tahun 2020 dengan potensi sebesar USD 130 Miliar atau Rp1.690 Triliun (kurs Rp13.000/USD).
Berdasarkan laporan yang dipublikasikan oleh Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) pada November 2015, pengguna internet di Indonesia mencapai 88,1 juta (34% dari jumlah penduduk), pengguna media sosial 79 juta (31%), dan pengguna ponsel 318,5 juta (125%). Hal ini menunjukkan bahwa dalam hal jumlah, penetrasi pemanfaatan teknologi digital di Indonesia sangat besar, bahkan melebihi populasi gabungan negara-negara lain di ASEAN.
Penggunaan teknologi digital dalam kehidupan sehari-hari tersebut telah mengubah perilaku masyarakat hampir pada semua aspek kehidupan, seperti jual beli secara online (e-commerce), interaksi sosial secara digital, buku elektronik, koran elektronik, transportasi publik (taksi dan ojek), layanan pendukung pariwisata, dan juga financial technology (FinTech).
Perkembangan ekonomi digital ini tidak hanya didukung oleh lembaga jasa keuangan yang telah ada, seperti perbankan, pasar modal, asuransi, dan perusahaan pembiayaan, namun juga oleh para perusahaan pemula yang secara inovatif memanfaatkan teknologi untuk menyediakan layanan keuangan atau disebut FinTech – Financial Technology. Menurut WhartonFinTech dalam blognya, FinTech adalah salah satu sektor industri dalam perekonomian, terdiri dari para perusahaan yang menggunakan teknologi untuk memberikan layanan keuangan secara lebih efisien.
FinTech bersama dengan para pelaku usaha e-commerce dan start-up company (UMKM) merupakan pemain utama dalam perekonomian digital. Bidang usaha FinTech merupakan layanan keuangan berbasis digital yang terbentang mulai dari sistem pembayaran, layanan perbankan, layanan asuransi, pinjaman, urun dana, hingga sekedar advis atau pembelajaran kepada masyarakat melalui media digital. Sedangkan e-commerce antara lain berupa toko online, pasar online (digital marketplace), layanan transportasi online, dan layanan dukungan pariwisata online.
Secara umum, layanan keuangan berbasis digital yang saat ini telah berkembang di Indonesia dapat dibedakan ke dalam beberapa kelompok, yaitu payment channel/system, digital banking, online/digital insurance, Peer-to-Peer (P2P) Lending, dan crowdfunding.
Payment channel/system merupakan layanan elektronik yang menggantikan uang kartal dan uang giral sebagai alat pembayaran, antara lain Alat Pembayaran Menggunakan Kartu dan e-Money. Di samping itu, terdapat jenis alat pembayaran elektronik lain yang telah digunakan oleh sebagian masyarakat dunia, yaitu sistem pembayaran berbasis kriptografi (blockchain) seperti Bitcoin. Info terakhir, pengiriman uang juga sudah bisa dilakukan dengan aplikasi Facebook Messenger.
Digital banking merupakan layanan perbankan yang memanfaatkan teknologi digital untuk memenuhi kebutuhan nasabah. Masyarakat di Indonesia telah cukup lama mengenal perbankan elektronik seperti ATM, EDC, internet banking, mobile banking, SMS banking, phone banking, dan video banking. Selain itu, beberapa bank juga telah meluncurkan layanan keuangan tanpa kantor (branchless banking) sesuai kebijakan OJK dengan nama Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam rangka Keuangan Inklusif (Laku Pandai) yang utamanya ditujukan kepada masyarakat yang belum memiliki akses ke perbankan.
Saat ini, OJK dan perbankan di Indonesia sedang mengkaji penerapan suatu electronic channel yang dapat memberikan layanan perbankan secara lengkap kepada nasabah, baik simpanan, pinjaman, maupun jasa perbankan lainnya, bahkan memungkinkan nasabah melakukan transaksi lain seperti e-commerce, bancassurance, investasi, dan advisory karena bank telah bekerja sama dan terhubung secara sistem dengan pihak lain. Electronic channel yang dapat memberikan layanan secara lengkap kepada nasabah tersebut dikenal dengan istilah omnichannel. Pada tahap awal, pengembangan layanan omnichannel ini dimulai dengan digital branch, yaitu penyediaan berbagai jenis layanan perbankan elektronik pada suatu tempat yang disediakan oleh bank, sehingga memungkinkan nasabah melakukan pembukaan rekening dan transaksi perbankan secara mandiri, tanpa dilayani oleh petugas bank seperti Customer Service (CS) atau Teller. OJK juga akan mengkaji penerapan digital banking yang lebih lanjut (advanced), banking anywhere, yang memungkinkan nasabah melakukan pembukaan rekening dan pemenuhan seluruh kebutuhan perbankan menggunakan perangkat gadget miliknya.
Online/digital insurance adalah layanan asuransi bagi nasabah dengan memanfaatkan teknologi digital. Beberapa perusahaan asuransi telah memanfaatkan web portal untuk menawarkan produk asuransi, menerbitkan polis, dan menerima laporan klaim.Di samping itu, banyak pula perusahaan yang menawarkan jasa perbandingan premi (digital consultant) dan juga keagenan (digital marketer) asuransi melalui website atau mobile application.
P2P lending adalah layanan keuangan yang memanfaatkan teknologi digital untuk mempertemukan antara pihak yang membutuhkan pinjaman dan pihak yang bersedia memberikan pinjaman. Layanan ini biasanya menggunakan website. Sedangkan Crowdfunding adalah kegiatan pengumpulan dana melalui website atau teknologi digital lainnya untuk tujuan investasi maupun sosial. Sumber dana P2P lending dan crowdfunding dapat berasal dari seseorang atau sekumpulan orang yang secara sadar menempatkan dananya, baik dalam bentuk equitas, pinjaman, sekedar untuk donasi, atau pengakuan publik. Para penyandang dana itu biasa disebut dengan Angel Investor.
Antara FinTech dan e-commerce/start-up terdapat keterkaitan, antara lain berupa penyediaan modal ataupenyelesaian transaksi. Modal usaha e-commerce/start-up mungkin saja berasal dari lembaga keuangan, perusahaan, atau individu yang difasilitasi oleh FinTech.
Diskusi yang berkembang saat ini tentang FinTech pada umumnya seputar isu P2P Lending/Crowdfunding/Angel Investor. Penyediaan dana kepada pihak yang membutuhkan oleh P2P Lender dan Crowdfunding didukung sumber dana dari founder dan angel investor. Pada dasarnya model bisnis yang dikembangkan adalah berupa penyediaan informasi dan kinerja (rating) dari usaha yang potensial oleh perusahaan FinTech kepada calon investor. Dari sisi teori ekonomi, FinTech mengeliminasi kesenjangan informasi (asymmetric information) di pasar keuangan dan dengan melakukan itu maka ada biaya yang timbul.
Perkembangan bisnis FinTech dan industri lainnya di sektor jasa keuangan, sangat dipengaruhi oleh faktor kepercayaan (trust). Jika masyarakat tidak percaya maka bisa dipastikan bahwa bisnis FinTech tidak akan berkembang.
Salah satu faktor penting untuk meningkatkan kepercayaan publik adalah adanya rezim pengaturan (regulatory regime) yang wajar untuk melindungi kepentingan umum di satu sisi namun tetap memperhatikan ruang pengembangan bisnis bagi industri di sisi lain. Mencari keseimbangan yang tepat dalam hal ini jelas tidak mudah.
Banyak hal menarik yang perlu didiskusikan tentang P2P Lending & Crowdfunding misalnya : (1) Apakah perlu “diatur” sekarang atau dibiarkan berkembang dahulu?. Perlu diingat apabila diatur maka akan ada proses mulai perizinan, pengawasan, sampai pelaporan. (2) Apakah FinTech itu lembaga jasa keuangan atau hanya sekedar keagenan?. (3) Seberapa besar “kepentingan umum/publik” dalam bisnis FinTech? Apakah sudah saatnya negara melakukan intervensi. (4) Berapa “biaya” tambahan yang wajar yang dibebankan dan seberapa siap FinTech serta Angel Invertor untuk transparan?. Masih banyak beberapa pertanyaan teknis lainnya mulai dari aspek hukum sampai ke aspek IT, misalnya data integrity and protection. Penulis tidak berpretensi untuk mampu menjawab semua pertanyaan tersebut, melainkan mendorong agar tulisan ini bisa memacu diskusi lebih lanjut demi perkembangan ekonomi digital di tanah air sebagaimana harapan Bapak Presiden.
Selain itu, kesiapan masyarakat melalui perubahan perilaku, dan kesiapan para pelaku usaha, kemajuan ekonomi digital di Indonesia hanya dapat terwujud jika didukung oleh infrastruktur TI seperti tersedianya sistem aplikasi yang handal (mobile application, web application, artificial intelligence, robotic, Big Data Analytics), koneksi jaringan yang baik (broadband internet, 4G, Google Balloon), data center yang murah dan handal (co-location, managed service, clouds computing), identitas penduduk yang valid (KTP elektronik), dan teknik otentikasi yang kuat (cryptography, digital signature, digital certificate, one time password, biometric verification).
Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan lembaga jasa keuangan dan penggiat FinTech untuk mendukung ekonomi digital di Indonesia. Namun satu hal yang pasti, ekonomi digital itu adalah suatu keniscayaan. CEO di lembaga jasa keuangan harus siap mengantisipasinya. Penulis teringat ucapan terakhir CEO Nokia, yang pernah menguasai pasar handphone di dunia, pada saat mengumumkan penutupan bisnis handphone Nokia dia mengatakan “we didn’t do anything wrong, but somehow, we lost… ”.
Penulis adalah Advisor Senior Otoritas Jasa Keuangan. (Tulisan merupakan pendapat pribadi)
Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat peningkatan biaya pendidikan yang signifikan setiap tahun, dengan… Read More
Jakarta - Koordinator Aliansi Masyarakat Tekstil Indonesia (AMTI) Agus Riyanto mengapresiasi langkah cepat Presiden Prabowo… Read More
Jakarta - Kandidat Presiden Amerika Serikat, Kamala Harris dan Donald Trump, saat ini tengah bersaing… Read More
Jakarta - Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tengah menggodok Peraturan Pemerintah (PP) perihal hapus tagih… Read More
Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan rata-rata upah buruh di Indonesia per Agustus 2024… Read More
Jakarta - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada hari ini (5/11) berakhir ditutup pada zona… Read More
View Comments
Setuju dengan banyaknya pekerjaan rumah yang masih harus dilakukan. Mengingat kesiapan dan penerimaan pada masyarakat ditambah dengan infrastruktur yg harus memadai.
Satu hal berkaitan dengan maraknya perkembangan digital ini, mungkin juga harus dipikirkan tingkat keamanan yang juga terus berkembang, hal ini terkadang lupa dipikirkan oleh pengusaha dan atau menjadikan pengusaha memerlukan investasi yg cukup besar, baik secara financial atau tecknikal.
Amazing issues here. I am very satisfied to see your article.
Thank you a lot and I am having a look forward to contact you.
Will you kindly drop me a e-mail?