Keuangan

Fenomena ‘War’ Takjil, Ekonom: Bukti Belanja Masyarakat Hanya Terkonsentrasi di Sektor Makanan

Jakarta – Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro menyoroti adanya fenomena war atau perang takjil di Ramadan tahun ini. Menurutnya, hal ini menandakan bahwa orang Indonesia hobi jajan dan daya beli atau belanja masyarakat masih terkonsentrasi di sektor makanan.

“Saya tergelitik juga sama fenomena perang takjil. Itu kan menandakan emang orang tuh hobi jajan. Jadi memang spendingnya banyak di makanan,” ujar Andry kepada wartawan di Jakarta, dikutip, Selasa 19 Maret 2024.

Berdasarkan data dari Mandiri Spending Index (MSI), pada periode Januari-Februari 2024 belanja masyarakat ke supermarket dan restoran (eating out) mencapai 40 persen. Padahal, di Januari 2023 lalu pertumbuhan di sektor tersebut hanya sekitar 30 persen.

Baca juga: Konsumsi Rumah Tangga Melambat, Imbas Orang Kaya Ogah Belanja?

“Jadi dari sisi konsumsi itu masyarakat semakin defensif. Semakin terkonsentrasi belanja yang makanan aja. Tapi positifnya memang dari trajektorinya konsumsinya yang tadinya sempet turun, sekarang mulai naik lagi,” imbuhnya.

Meski demikian, naiknya tren konsumsi masyarakat ini berada pada kondisi komoditas pangan, yakni beras yang mengalami kenaikan. Namun, bantuan sosial (bansos) dari pemerintah turut membantu dalam meningkatkan daya beli masyarakat. Dalam hal ini, tambah Andry, fenomena makan tabungan (mantab) berdasarkan data dari MSI juga mulai relatif flat dan tak menunjukan penurunan lagi.

“Itu tabungannya masih turun yang paling bawah. Mantab (makan tabungan) gitu. Cuma memang udah relatif flat gitu ya. Karena bantuan bansosnya juga kenceng. Kalau dari konsumsi itu yang harus diperhatikan adalah konsumsi kelas menengahnya. Karena kelas menengah agak tergerus apalagi kelas menengah yang lower middle itu kalau harga beras naik kenceng, itu kemudian dia akan jatuh jadi konsumsinya sangat terbatas,” katanya.

Baca juga: Survei BI: Belanja Masyarakat Melemah, Bayar Cicilan Utang Melonjak

Sehingga, lanjut Andry, tentunya akan berdampak terhadap perekonomian di Tanah Air yang tidak tersebar pertumbuhannya di berbagai sektor. Yang mana sektor selain makanan, seperti kebutuhan sekunder dan tersier seperti pakaian hingga kesehatan akan tergerus daya belinya.

“Jadi pakaian secondary, tertiary gitu jadi terbatas tuh. Nah kan kita gak mau pengen kayak gitu. Semuanya kan maunya nyebar gitu. Ke clothing, ke kesehatan, ke asuransi. Jadi terbatas, nah itu yang jeleknya disitu,” pungkasnya. (*)

Editor: Galih Pratama

Irawati

Recent Posts

Jumlah SID Naik, BEI Gaspol Tingkatkan Keaktifan Investor di Pasar Modal

Balikpapan – PT Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat, jumlah single investor identification (SID) menembus 14 juta per… Read More

1 hour ago

Generali Indonesia Beri Perlindungan Asuransi bagi 6.000 Pelari di PLN Electric Run 2024

Jakarta – PT Asuransi Jiwa Generali Indonesia (Generali Indonesia) terus mendukung berbagai kegiatan yang mempromosikan kesehatan… Read More

2 hours ago

Diikuti 6.470 Pelari, PLN Electric Run 2024 Ditarget Hindari Emisi Karbon hingga 14 ton CO2

Jakarta - Sebanyak 6.470 racepack telah diambil pelari yang berpartisipasi dalam PLN Electric Run 2024… Read More

9 hours ago

Segini Target OJK Buka Akses Produk dan Layanan Jasa Keuangan di BIK 2024

Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membidik pencapaian Bulan Inklusi Keuangan (BIK) 2024 sekitar 8,7… Read More

9 hours ago

HUT ke-26, Bank Mandiri Hadirkan Inovasi Digital Adaptif dan Solutif untuk Siap Jadi Jawara Masa Depan

Jakarta - Merayakan usia ke-26, Bank Mandiri meluncurkan berbagai fitur dan layanan digital terbaru untuk… Read More

22 hours ago

KemenKopUKM Gandeng Surveyor Indonesia Verifikasi Status Usaha Simpan Pinjam Koperasi

Jakarta - Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM) menunjuk PT Surveyor Indonesia, anggota Holding BUMN IDSurvey,… Read More

23 hours ago