Expertise

Emas Adalah Uang: Basel III, Bank Bulion, dan Kedaulatan Moneter Indonesia

Oleh Setiawan Budi Utomo, pengamat keuangan dan kebijakan publik

“EMAS adalah uang. Segala sesuatu yang lain adalah kredit.” – J.P. Morgan

Pernyataan legendaris tersebut kembali menemukan gaungnya di era keuangan modern yang kian penuh ketidakpastian. Dunia menyaksikan pergeseran besar dalam arsitektur sistem keuangan global ketika emas fisik kembali memperoleh tempat terhormat dalam neraca bank, setelah lebih dari setengah abad “terbuang” dari panggung utama pascaera Bretton Woods.

Pada 1 Juli 2025, regulasi Basel III Endgame secara resmi mengafirmasi bahwa emas fisik dapat diklasifikasikan sebagai Tier 1 Capital oleh bank-bank di Amerika Serikat. Dengan status ini, emas kini bisa dihitung sepenuhnya (100 persen) dari nilai pasarnya sebagai bagian dari modal inti bank setara dengan uang tunai dan obligasi pemerintah.

Padahal, sebelumnya, emas hanyalah aset Tier 3 yang diperhitungkan separuh nilainya. Ini bukan sekadar perubahan teknis akuntansi, tetapi lonceng peringatan atas keletihan sistem terhadap uang fiat (fiat money) yang rentan inflasi dan gejolak geopolitik.

Kebangkitan Simbolik dan Struktural Emas

Meskipun emas belum masuk daftar resmi aset likuid berkualitas tinggi (high quality liquid asset/HQLA) menurut Basel III, namun pengakuan sebagai Tier 1 Capital memiliki implikasi simbolik dan struktural yang luar biasa. Artinya, bank kini bisa menempatkan emas sebagai bagian dari modal minimum yang wajib dimiliki untuk menjaga ketahanan sistem keuangan.

Ini mengembalikan emas ke peran utamanya: sebagai penyimpan nilai (store of value) dan penjaga kepercayaan terhadap sistem perbankan. Langkah ini juga merefleksikan pola global yang sudah diamati dalam beberapa tahun terakhir.

Bank-bank sentral di seluruh dunia terus menambah cadangan emas sebagai bentuk diversifikasi dari dominasi dolar. Data World Gold Councilmencatat bahwa sepanjang kuartal pertama 2025 saja, bank sentral menambah sekitar 244 ton emas, meningkat 24 persen dari rata-rata kuartalan lima tahun terakhir. Tiongkok, India, Turki, dan negara-negara Timur Tengah termasuk di antara pembeli utama. Ini bukan kebetulan, melainkan strategi geopolitik.

Baca juga: ETF Syariah Emas Segera Punya Aturan Baru, Ini Bocorannya

Bank Bulion dan Reposisi Lembaga Keuangan

Perubahan ini membuka peluang baru bagi kelahiran kembali bank bulion (bullion bank)atau bank emas, lembaga keuangan yang secara khusus beroperasi dalam perdagangan, penyimpanan, dan pembiayaan emas. Di masa lalu, bank bulion terpinggirkan seiring dengan dominasi sistem uang fiat dan turunnya relevansi standar emas. Namun, kini, dalam lanskap Basel III, bank bulion bisa bangkit sebagai pengelola aset safe haven yang tidak hanya diminati investor ritel, tetapi juga institusi besar dan otoritas moneter.

Dengan emas memperoleh status Tier 1, bank memiliki insentif lebih besar untuk menyimpan emas sebagai bagian dari manajemen risiko. Bahkan, bisa dibayangkan munculnya inovasi instrumen keuangan berbasis emas yang lebih likuid, transparan, dan terdigitalisasi seperti tokenisasi emas atau sistem digital gold custody yang sesuai dengan prinsip akuntansi prudensial. Ini akan memperkuat stabilitas sektor keuangan dalam jangka panjang.

Krisis Kepercayaan dan Antisipasi Volatilitas

Transformasi ini tidak bisa dilepaskan dari krisis kepercayaan terhadap sistem fiat global. Inflasi yang berkepanjangan di berbagai negara maju, konflik geopolitik yang berkecamuk, dan instabilitas fiskal pascapandemi membuat dunia mencari jangkar baru. Emas, dengan sejarah ribuan tahun sebagai penyimpan nilai, tampil kembali sebagai alternatif kredibel bukan hanya oleh individu, tetapi juga oleh institusi.

Namun, perlu dicatat bahwa harga emas sangat rentan terhadap sentimen pasar, spekulasi, dan dinamika suku bunga. Meskipun status Tier 1 memberikan stabilitas institusional, tetap ada tantangan dalam aspek likuiditas dan pengelolaan risiko harga. Oleh karena itu, integrasi emas ke dalam sistem perbankan harus dibarengi dengan manajemen risiko yang matang, termasuk penggunaan kontrak derivatif lindung nilai (hedging) yang sesuai.

Implikasi bagi Indonesia

Bagi Indonesia, perkembangan ini membawa peluang dan tantangan strategis. Di satu sisi, Indonesia adalah salah satu produsen emas terbesar di dunia, namun belum menjadikan emas sebagai pilar strategis dalam sistem keuangan nasional. Cadangan devisa Indonesia per Juni 2025 sebesar USD140,2 miliar, namun porsi emas hanya sekitar 2,1 persen. Jauh lebih rendah dibandingkan dengan Rusia (25 persen) atau Jerman (70 persen).

Sudah saatnya Indonesia merumuskan strategi nasional emas, di antaranya dengan mendorong pembentukan bank bulion domestik. Di Indonesia, meskipun bank bulion dalam pengertian teknis belum sepenuhnya terbentuk, seperti yang dimiliki oleh Swiss, Kanada, atau Singapura, namun landasan menuju ke sana mulai terbentuk melalui sinergi antara industri tambang, perbankan syariah, dan dukungan otoritas berupa embrio sistem keuangan berbasis emas. Pegadaian, BSI, dan ANTAM memainkan peran vital dalam penyediaan, distribusi, dan layanan emas yang dapat dikembangkan menjadi sistem yang lebih terintegrasi.

Untuk menjawab tantangan Basel III dan merespons peluang dedolarisasi global, perlu keberanian untuk merancang bank bulion nasional sebagai pusat kustodian emas nasional dan regional, dengan dukungan otoritatif dan infrastruktur yang memadai. Selain itu, perlu memperkuat ekosistem perdagangan emas fisik dan digital, serta menjadikan emas sebagai instrumen diversifikasi dalam pengelolaan portofolio BUMN dan dana abadi.

OJK dan BI dapat merumuskan kebijakan sinergis untuk memastikan inklusi emas dalam sistem keuangan tanpa mengorbankan stabilitas makro. Namun, di lain sisi, perlu waspada terhadap potensi arus modal spekulatif yang dapat menyebabkan fluktuasi harga emas dan ketidakseimbangan neraca. Penguatan tata kelola dan transparansi perdagangan emas menjadi kunci.

Emas Kembali sebagai Penjaga Kepercayaan

Reklasifikasi emas dalam kerangka Basel III bukanlah nostalgia masa lalu, melainkan refleksi atas masa depan sistem keuangan yang makin tidak pasti. Ketika kepercayaan pada uang fiatmulai tergerus dan risiko sistemis terus mengintai, emas kembali menjadi jangkar yang menenteramkan.

Bank tidak hanya membutuhkan modal, tetapi juga kepercayaan. Dan, kepercayaan, dalam sejarah umat manusia, selalu dikaitkan dengan emas logam mulia yang tidak bisa dipalsukan, tidak bisa dicetak semaunya, dan tetap bernilai bahkan dalam krisis paling dalam. Dengan Basel III, dunia perbankan akhirnya mengakui kembali bahwa emas adalah uang. Dan, dari sinilah masa depan emas dimulai kembali.

Baca juga: OJK Siapkan Aturan ETF Emas untuk Asuransi dan Dana Pensiun

Tantangan Moneter dan Rekomendasi Strategis

Namun demikian, langkah menuju pemanfaatan strategis emas sebagai jangkar keuangan nasional tidak dapat dilepaskan dari tantangan moneter yang kompleks. Fluktuasi nilai tukar rupiah, ketergantungan pada modal asing jangka pendek, serta dominasi dolar dalam transaksi internasional masih menjadi faktor yang membatasi kedaulatan moneter Indonesia.

Strategi nasional emas harus dirancang bukan sekadar sebagai langkah diversifikasi, melainkan bagian dari arsitektur dedolarisasi yang lebih luas. Pemerintah bersama BI dan OJK perlu menyusun kebijakan jangka panjang yang mendorong stabilitas moneter melalui aset-aset hard currency berbasis komoditas strategis seperti emas, sambil membangun pasar keuangan domestik yang dalam, inklusif, dan tangguh terhadap gejolak global.

Dalam hal ini, sinergi antara kebijakan moneter, fiskal, dan sektor keuangan menjadi keniscayaan untuk menciptakan sistem keuangan yang resilien dan berdaulat di tengah dunia yang makin tak pasti. (*)

Galih Pratama

Recent Posts

Livin’ Fest 2025 Siap Digelar di Grand City Convex Surabaya, Catat Tanggalnya!

Jakarta - Bank Mandiri terus memperkuat dukungan terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah dengan menghadirkan Livin’ Fest… Read More

11 mins ago

Hashim Djojohadikusumo Raih Penghargaan ‘Inspirational Figure in Environmental and Social Sustainability’

Poin Penting Hashim Djojohadikusumo meraih penghargaan “Inspirational Figure in Environmental and Social Sustainability” berkat perannya… Read More

14 hours ago

Dua Saham Bank Ini Patut Dilirik Investor pada 2026

Poin Penting Mirae Asset merekomendasikan BBCA dan BMRI untuk 2026 karena kualitas aset, EPS yang… Read More

15 hours ago

Hashim Soroti Pentingnya Edukasi Publik Terkait Perubahan Iklim

Poin Penting Indonesia menegaskan komitmen memimpin upaya global melawan perubahan iklim, seiring semakin destruktifnya dampak… Read More

16 hours ago

OJK Sederhanakan Aturan Pergadaian, Ini Poin-poinnya

Poin Penting OJK menerbitkan POJK 29/2025 untuk menyederhanakan perizinan pergadaian kabupaten/kota, meningkatkan kemudahan berusaha, dan… Read More

17 hours ago

40 Perusahaan & 10 Tokoh Raih Penghargaan Investing on Climate Editors’ Choice Award 2025

Poin Penting Sebanyak 40 perusahaan dan 10 tokoh menerima penghargaan Investing on Climate 2025 atas… Read More

17 hours ago