Analisis

Ekspansi KUR, Peningkatan Akses UKM

Krisna Wijaya

Jakarta – Pemerintah ingin pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) lebih diberdayakan. Selain menjadi lebih sejahtera, andilnya dalam perekonomian menjadi lebih signifikan. Saat ini jumlah pelaku UMKM sekitar 52 juta orang. Sekitar 98%-nya atau lebih kurang 50,9 juta adalah pelaku usaha mikro dan kecil (UMK).

Betapa signifikan kalau saja setiap pelaku UKM tersebut dapat menyerap satu orang tenaga kerja tambahan. Setidaknya ada 100 juta yang tidak masuk kategori pengangguran. Belum lagi efeknya sebagai pekerja yang meningkat daya belinya.

Prognosis terhadap UKM sering kali dikatakan bahwa kendala pengembangannya adalah karena keterbatasan modal. Dari prognosis itu, lalu dicarikan jalan keluarnya, yaitu perlunya peningkatan akses UKM untuk mendapatkan permodalan berupa kredit dari bank, seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR). Pemerintah akhirnya mendorong semua pihak terkait, khususnya perbankan, agar lebih progresif memberdayakan UKM melalui KUR.

Untuk itu, digunakan asumsi bahwa permintaan kredit akan meningkat apabila tingkat suku bunga rendah dan adanya skema berupa sistem prosedur yang lebih dimudahkan. Karena kemudahan selalu meningkatkan risiko, pemerintah menyediakan program penjaminan untuk KUR melalui Askrindo dan Jamkrindo.

Saat ini upaya pemberdayaan UMK melalui ekspansi KUR dengan suku bunga rendah sudah berjalan dengan baik. Bank-bank yang melaksanakan program KUR sudah sama-sama menawarkan tingkat suku bunga sebesar 9%, yang konon diharapkan bisa menjadi 7%. Realisasi KUR juga menunjukkan perkembangan yang menggembirakan dalam konteks nominalnya yang terus meningkat. Tampaknya pemerintah telah berhasil mewujudkan keinginannya.

Fenomena peningkatan ekspansi KUR dengan suku bunga rendah merupakan suatu kondisi yang ideal bagi siapa pun, utamanya pelaku UKM dan tentunya juga pemerintah. Kelanjutan yang perlu mendapatkan perhatian adalah bagaimana agar fenomena itu terus berkembang secara berkesinambungan. Dalam kaitan tersebut, ada beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian.

Satu, ada baiknya kita simak kembali pembelajaran masa lalu yang berkaitan dengan upaya pemberdayaan UKM, khususnya berupa credit program dari pemerintah. Mulai dari Program Bimas, Kredit Investasi Kecil/Kredit Modal Kerja Permanen, dan Kredit Usaha Tani (KUT) tidak pernah berlanjut secara berkesinambungan. Masalahnya, bisa saja programnya sudah dianggap berhasil lalu diganti atau programnya sudah tidak cocok lagi dengan situasi dan kondisi yang ada. Namun, dari sisi perbankan, banyak yang sepakat bahwa program tersebut kurang berhasil karena tingginya nilai tunggakan.

Selalu ada kecenderungan bahwa ketika segala persyaratan dan prosedur dilonggarkan, maka risiko akan meningkat. Namun, apabila risiko tersebut disebabkan karena bisnis, maka risiko yang terjadi sudah lebih terukur. Sekiranya bank akan melakukan klaim juga, menjadi lebih mudah dilakukan karena dokumentasi dan alasan klaimnya sangat rasional.

Dalam beberapa kasus, sering kali tingginya tunggakan disebabkan oleh penyalahgunaan dari berbagai pihak, apakah nasabah dan/atau oknum tertentu, baik secara sendiri maupun bekerja sama. Tunggakan jenis ini banyak dijumpai pada masa lalu akibat persepsi credit program yang diartikan merupakan bagian dari hibah atau bahkan hadiah. Pemanfaatan itu dalam bahasa lain karena pemasarannya mengundang meningkatnya moral hazard (baca: niat yang tidak baik). Jadi, ada kecenderungan pihak bank merasa aman dan nyaman karena kreditnya ada yang menjamin. Dan, nasabah juga akan menyatakan, untuk apa membayar karena sudah ada yang menjamin.

Dua, harus mulai diingatkan bahwa KUR adalah sebuah opsi, bukan hak. Artinya, semua pelaku UKM diberikan opsi menggunakan KUR sepanjang memenuhi kriteria dan persyaratan yang ditetapkan oleh bank. Harus juga dipahami bahwa bank mesti patuh terhadap berbagai peraturan yang berkaitan dengan prinsip kehati-hatian, baik yang diamanatkan undang-undang (UU) maupun peraturan dari regulator. Di samping itu, harus dipahami bahwa meskipun KUR dijamin, tetap ada bagian risiko bank yang tidak terjamin. Adanya risiko tersebut harus tetap dijaga, mengingat dana yang digunakan oleh pihak bank berasal juga dari masyarakat.

Kenyataan masih sering dijumpai adanya kesan bahwa fasilitas KUR itu sebagai suatu hak sehingga tidak ada alasan bank untuk menolaknya. Mungkin diperlukan penyempurnaan dalam mengemas pemasaran dan membuat pernyataan sehingga tidak disalahartikan.

Tiga, belajar dari berbagai negara yang berhasil memberdayakan UKM, seperti Korea Selatan dan Jepang, dalam setiap program kredit pemerintah, selain adanya penjaminan dana atau subsidi bunga, juga disertai dengan program bantuan teknis (technical assistant) dalam bentuk program pendampingan. Program pendampingan tidak hanya sekadar membuat pelaku UKM menjadi layak mendapatkan KUR, tapi lebih dari itu adalah membuat pelaku UKM makin pintar dan profesional dalam mengelola bisnisnya.

Pendekatannya bisa melalui pelatihan dan pendidikan, studi banding, dan magang. Materi pendampingan bisa saja yang berkaitan dengan masalah teknis, seperti tata kelola administrasi keuangan, perbaikan sistem produksi, efisiensi usaha, pemasaran, sampai pada memfasilitasi berupa temu bisnis dengan pemasok bahan baku dan calon pembeli.

Program pendampingan sering dinyatakan sebagai sesuatu yang penting dan sebuah keharusan. Hanya, secara teknis, masih banyak pertanyaan yang berkaitan dengan tanggung jawab siapa. Idealnya program pendampingan dilakukan bukan oleh bank agar lebih objektif. Pada umumnya lebih banyak dilakukan oleh kalangan akademisi dan pemerintah melalui departemen terkait. Pihak bank tentunya tetap mempunyai tanggung jawab ketika sudah menjadi nasabah melalui pembinaan nasabah.

Ketiga catatan tersebut tentu bukan bagian dari upaya memperhambat ekspansi KUR. Esensinya lebih pada upaya untuk menjaga kualitas KUR. Harus diingat dan diyakini bahwa program KUR bukanlah program pemerintah yang ditujukan untuk peningkatan pencitraan. Juga, bukan sebagai “hadiah” dan/atau “hibah” kepada pelaku UKM sebagai bukti keberpihakan pemerintah.

Sangat pasti pemerintah berkeinginan agar program KUR terus berkembang dan berkelanjutan, siapa pun presidennya maupun menterinya. Tidak juga ada upaya-upaya memanfaatkan ekspansi KUR sebagai kendaraan politik. Dengan demikian, bisa diharapkan ekspansi KUR akan berkelanjutan dengan pembuktian berupa makin sejahteranya pelaku UKM dan bank-bank pelaksana tetap sehat serta selalu meningkat keuntungannya.

Penulis adalah pengamat perbankan. (Tulisan ini dimuat di Majalah Infobank)

Apriyani

Recent Posts

Evelyn Halim, Dirut SG Finance, Raih Penghargaan Top CEO 2024

Jakarta – Evelyn Halim, Direktur Utama Sarana Global Finance Indonesia (SG Finance), dinobatkan sebagai salah… Read More

3 hours ago

Bos Sompo Insurance Ungkap Tantangan Industri Asuransi Sepanjang 2024

Jakarta - Industri asuransi menghadapi tekanan berat sepanjang tahun 2024, termasuk penurunan penjualan kendaraan dan… Read More

4 hours ago

BSI: Keuangan Syariah Nasional Berpotensi Tembus Rp3.430 Triliun di 2025

Jakarta - Industri perbankan syariah diproyeksikan akan mencatat kinerja positif pada tahun 2025. Hal ini… Read More

4 hours ago

Begini Respons Sompo Insurance soal Program Asuransi Wajib TPL

Jakarta - Presiden Direktur Sompo Insurance, Eric Nemitz, menyoroti pentingnya penerapan asuransi wajib pihak ketiga… Read More

5 hours ago

BCA Salurkan Kredit Sindikasi ke Jasa Marga, Dukung Pembangunan Jalan Tol Akses Patimban

Senior Vice President Corporate Banking Group BCA Yayi Mustika P tengah memberikan sambutan disela acara… Read More

6 hours ago

Genap Berusia 27 Tahun, Ini Sederet Pencapaian KSEI di Pasar Modal 2024

Jakarta - PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) mencatat sejumlah pencapaian strategis sepanjang 2024 melalui berbagai… Read More

6 hours ago