Ilustrasi: Ekonomi Jepang alami kontraksi di kuartal III 2023/istimewa
Jakarta – Pemerintah Jepang mengumumkan bahwa perekonomian mereka mengalami kontraksi 2,1 persen pada kuartal III 2023. Hasil ini berbalik dari ekspansi sebesar 4,8 persen pada kuartal sebelumnya.
Melansir CNBC dan Reuters pada Rabu, 15 November 2023, adanya kontraksi perekonomian Jepang sudah diprediksi sebelumnya. Namun, perkiraan mereka meleset hingga 1,5 persen dari perkiraan awal. Ini merupakan kontraksi terbesar sejak kuartal-III 2021.
Baca juga: Ekonomi Jerman Stagnan di Kuartal II-2023, Makin Sulit Keluar dari Resesi
Data tersebut menunjukkan tingginya inflasi berdampak buruk pada pengeluaran rumah tangga. Lebih dari itu, dampak ini juga terasa bagi produsen manufaktur karena melambatnya permintaan global termasuk di Tiongkok.
Penyebab lain dari kontraksi ini adalah belanja modal dalam negeri yang lebih lemah dari perkiraan karena mengalami kontraksi sebesar 0,6 persen pada kuartal ketiga dibandingkan kuartal sebelumnya. Padahal, Pemerintah Jepang berekspektasi adanya ekspansi sebesar 0,3 persen.
Selain itu, jika dibanding kuartal sebelumnya, konsumsi masyarakat di Jepang mengalami stagnasi di kuartal ketiga. Stagnasi disebabkan akibat permintaan dalam dan luar negeri membebani perekonomian.
“Mengingat tidak adanya mesin pertumbuhan, saya tidak terkejut jika perekonomian Jepang kembali mengalami kontraksi pada kuartal ini. Risiko Jepang jatuh ke dalam resesi tidak dapat dikesampingkan,” kata Takeshi Minami, kepala ekonom di Norinchukin Research Institute kepada Reuters.
“Pertumbuhan yang lemah dan momok perlambatan inflasi dapat menunda keluarnya Bank of Japan (BOJ) dari suku bunga negatif,” lanjut Takeshi.
Baca juga: BI Perkirakan Ekonomi dan Inflasi Domestik Segini di 2024
Demi mencegah penurunan ekonomi lebih lanjut, Menteri Fumio Kishida telah meminta perusahaan-perusahaan untuk menaikkan gaji dan sejumlah tindakan lain untuk meredam dampak ekonomi dari kenaikan biaya hidup.
CNBC juga menyebut Pemerintah Jepang menyalurkan paket ekonomi sebesar 13,2 triliun yen, sekitar Rp1,357 triliun, bertujuan untuk membatasi kenaikan biaya hidup. Program ini diharapkan dapat memberikan subsidi dan pembayaran kepada rumah tangga berpendapatan rendah untuk memitigasi melonjaknya tagihan energi dan utilitas.
Sayangnya, para analis meragukan tindakan tersebut akan berdampak banyak dalam merangsang perekonomian. (*) Mohammad Adrianto Sukarso
Poin Penting Hashim Djojohadikusumo meraih penghargaan “Inspirational Figure in Environmental and Social Sustainability” berkat perannya… Read More
Poin Penting Mirae Asset merekomendasikan BBCA dan BMRI untuk 2026 karena kualitas aset, EPS yang… Read More
Poin Penting Indonesia menegaskan komitmen memimpin upaya global melawan perubahan iklim, seiring semakin destruktifnya dampak… Read More
Poin Penting OJK menerbitkan POJK 29/2025 untuk menyederhanakan perizinan pergadaian kabupaten/kota, meningkatkan kemudahan berusaha, dan… Read More
Poin Penting Sebanyak 40 perusahaan dan 10 tokoh menerima penghargaan Investing on Climate 2025 atas… Read More
Poin Penting IHSG ditutup melemah 0,09% ke level 8.632 pada 5 Desember 2025, meski beberapa… Read More