Jakarta – Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menilai, meski pertumbuhan ekonomi nasional di kuartal II 2018 cukup baik yang tercatat sebesar 5,27 persen (yoy), namun diperkirakan pertumbuhan ekonomi nasional dikuartal III dan IV 2018 bakal mengalami perlambatan.
Ekonom Indef Bhima Yudistira saat dihubungi Infobank di Jakarta, Senin, 6 Agustus 2018 mengatakan, potensi perlambatan ekonomi masih mungkin terjadi di kuartal III dan IV di mana ekonomi sulit untuk tumbuh diangka 5,2 persen. Dengan demikian, hingga akhir tahun, ekonomi diproyeksi hanya tumbuh 5,1-5,15 persen.
“Potensi perlambatan ekonomi masih mungkin terjadi di kuartal III dan IV, meskipun ada stimulus Asian games dan IMF WB meeting yang dorong konsumsi dan sektor pariwisata,” ujarnya.
Asal tahu saja Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis data pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2018 sebesar 5,27 persen secara year on year (yoy). Secara kumulatif, ekonomi pada semester I-2018 mengalami pertumbuhan 5,17 persen.
Menurutnya, pertumbuhan ekonomi di kuartal II 2018 cukup surprise karena melebihi ekspektasi. Konsumsi rumah tangga menjadi driver utama pertumbuhan ekonomi karena bisa tumbuh sebesar 5,14 persen dibanding dengan kuartal II 2017 yang sebesar 4,95 persen. Namun sayangnya, kata dia, kondisi ini dikhawatirkan hanya bersifat temporer.
Baca juga: INDEF: Pertumbuhan Ekonomi 5,27% Ditopang Sektor Konsumtif
“Ini karena hanya didorong oleh faktor seasonal Lebaran, THR PNS, dan bansos,” ucap Bhima.
Selain itu, tambah dia, ada beberapa catatan lainnya untuk memperbaiki faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di sisa tahun 2018. Belanja pemerintah yang terlihat jor-joran, sepertinya hanya bersifat konsumtif bukan produktif. Konsumsi pemerintah di kuartal II 2018 tumbuh 5,26 persen naik dibanding 2017 yang minus 1,93 persen.
“Belanja Bansos dan THR PNS yang naik signifikan plus belanja Pilkada jadi penyebab utama,” paparnya.
Sementara itu, nilai ekspor yang tumbuh lebih rendah dari impor yakni hanya sebesar 7,7 persen juga harus menjadi perhatian pemerintah guna mendorong perbaikan ekonomi nasional. Di mana nilai impor tercatat meningkat 15,1 persen. Kebutuhan bahan baku untuk infrastruktur, telah mendongkrak kegiatan impor tanah air.
“Efek proteksi dagang ke negara tujuan ekspor, fluktuasi harga CPO dan karet plus pelemahan kurs rupiah diproyeksi akan menghambat kinerja ekonomi hingga akhir tahun,” tegasnya.
Di sisi lain, tambah dia, kinerja investasi langsung yang trennya tengah melemah, juga menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi nasional ditahun ini. Pasalnya, para investor tengah khawatir terhadap kondisi politik dalam negeri dan tekanan ekonomi global yang tengah terjadi, bisa menahan investor untuk berinvestasi di Indonesia.
“Ini bisa menahan keputusan berinvestasi. Lamanya libur panjang juga ternyata menghambat birokrasi perizinan investasi. Pertumbuhan investasi hanya 5,87 persen lebih rendah dari kuartal I 2018 yakni 7,95 persen,” tutup Bhima. (*)
Jakarta - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat penermaan dari sektor usaha ekonomi digital hingga 31 Oktober 2024 mencapai… Read More
Jakarta - Kinerja fungsi intermediasi Bank Jasa Jakarta (Bank Saqu) menunjukkan hasil yang sangat baik… Read More
Jakarta - Presiden Prabowo Subianto menegaskan komitmen Indonesia untuk mendukung upaya PBB dalam mewujudkan perdamaian dan keadilan internasional. Termasuk… Read More
Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat outstanding paylater atau Buy Now Pay Later (BNPL) di perbankan… Read More
Jakarta - Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) menargetkan jumlah agen asuransi umum mencapai 500 ribu… Read More
Jakarta – Di tengah fenomena makan tabungan alias mantab akhir-akhir ini, pertumbuhan antara ‘orang-orang tajir’… Read More