Oleh A.Y. Eka Putra, pemerhati ekonomi dan perbankan
“DUNIA adalah tempatnya Nabi Adam AS menjalani hukuman Allah SWT”. Refleksi ini mengingatkan kita bahwa dunia tidak pernah bebas dari ujian, termasuk dalam bidang ekonomi.
Dunia tengah menghadapi tekanan global yang tidak ringan. Perang dagang, konflik geopolitik, suku bunga tinggi, inflasi merangkak, serta pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang melambat menjadi kombinasi badai yang tidak bisa dihindari. Banyak negara mulai goyah. Lalu, bagaimana dengan Indonesia?
Dalam banyak aspek, ekonomi Indonesia tampak memilik daya tahan. Pertumbuhan ekonomi masih bergerak stabil di kisaran 5 persen. Inflasi terjaga, cadangan devisa cukup, rasio utang terhadap PDB (38,7 persen, Maret 2024) pun relatif aman. Semua indikator ini memberi sinyal bahwa sistem pengelolaan ekonomi makro Indonesia cukup disiplin, setidaknya dalam kerangka jangka pendek.
Namun, mari kita jangan cepat puas. Ada hal-hal mendasar yang patut kita waspadai. Pertama, struktur ekonomi kita masih bertumpu pada ekspor komoditas mentah. Saat harga batu bara, nikel, atau CPO (lebih dari 60 persen dari total ekspor) turun di pasar global, pendapatan negara ikut tergerus. Kedua, transformasi industri dan hilirisasi memang sudah dimulai, tapi baru segelintir sektor (nikel).
Baca juga: Ekonomi RI Terancam, Sri Muyani Wanti-Wanti Dampak Konflik Global
Ketiga, ketimpangan pembangunan antarwilayah dan kualitas SDM serta implementasi meritokrasi masih jadi tantangan jangka panjang. Keempat, ketimpangan ekonomi juga masih tinggi. Indeks gini, yang pada Maret 2024 di angka 0,388, menunjukkan distribusi pendapatan belum merata.
Sementara itu, kekuatan ekonomi Indonesia adalah konsumsi domestik. Lebih dari separuh PDB kita disumbang oleh konsumsi rumah tangga. Populasi usia produktif yang besar (191 juta jiwa pada 2023) menjadi anugerah tersendiri sekaligus menjadi tanggung jawab besar negara untuk menyediakan lapangan kerja. Hal itu mengingat, tingkat pengangguran terbuka masih di angka 5,3 persen dan mayoritas pekerja masih berada pada sektor informal (58,8 persen per Februari 2024).
Kebijakan ekonomi harus lebih dari sekadar menjaga stabilitas makro, yaitu harus menjadi alat pemberdayaan ekonomi rakyat. Kita perlu dorongan nyata terhadap pendidikan vokasional, insentif bagi pelaku UMKM, dan reformasi birokrasi yang mampu menekan korupsi serta mempercepat pelayanan publik.
Indeks persepsi korupsi Indonesia stagnan (di angka 34 per 2023), menandakan perlunya penguatan integritas dalam sistem tata kelola; transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, fairnness. Indonesia memang cukup tangguh, tapi belum kebal.
Baca juga: Ekonomi RI Terancam, Sri Muyani Wanti-Wanti Dampak Konflik Global
Ketangguhan sejati adalah ketika ekonomi nasional mampu berdiri di atas kaki sendiri. Tidak limbung saat dunia goyah, dan tetap berpihak pada rakyat kecil dan kelas menengah, sehingga pada saat badai datang mampu dikendalikan secara efektif.
Dalam dunia yang makin tidak pasti, satu hal yang pasti: hanya bangsa yang disiplin, jujur, dan terus belajar yang bisa selamat. Semoga Indonesia menjadi salah satunya. (*)
Poin Penting Komdigi ajukan delisting delapan aplikasi yang diduga menyalahgunakan data nasabah pembiayaan kendaraan bermotor… Read More
Poin Penting IPCM bagikan dividen interim tahun buku 2025 sebesar Rp4,40 per saham atau total… Read More
Poin Penting TKD hingga November 2025 terealisasi Rp795,6 triliun atau 91,5 persen dari pagu APBN,… Read More
Poin Penting RUPSLB GPSO menyetujui perubahan susunan direksi dan dewan komisaris, termasuk pengunduran diri empat… Read More
Poin Penting RUPSLB Bank Mandiri pada 19 Desember 2025 resmi mengangkat Zulkifli Zaini sebagai Komisaris… Read More
Poin Penting RUPSLB Bank Mandiri (BMRI) 19 Desember 2025 memutuskan perombakan jajaran dewan komisaris, sementara… Read More