Ekonom Soroti Lemahnya Respons Fiskal di Tengah Perlambatan Ekonomi

Ekonom Soroti Lemahnya Respons Fiskal di Tengah Perlambatan Ekonomi

Jakarta – Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi menilai pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tumbuh sebesar 4,87 persen year on year (yoy) di kuartal I 2025 menunjukan sinyal yang perlu dicermati secara serius.

Syafruddin menjelaskan, di tengah kombinasi tekanan eksternal akibat ketegangan geopolitik global dan kebijakan tarif Amerika Serikat (AS), serta tekanan internal dari efisiensi fiskal dan minimnya belanja pemerintah, ekonomi Indonesia masih tumbuh sebesar 4,87 persen.

“Namun bila ditelusuri lebih dalam, satu-satunya penopang utama pertumbuhan itu adalah konsumsi rumah tangga,” ujar Syafruddin dalam keterangannya, dikutip, Selasa, 6 Mei 2025.

Secara rinci, konsumsi rumah tangga tumbuh sebesar 4,89 persen yoy dan menyumbang 2,61 poin terhadap PDB. Artinya, lebih dari separuh pertumbuhan ekonomi nasional ditopang oleh aktivitas konsumsi rumah tangga, yang mencerminkan peran dominan sektor ini sebagai tulang punggung ekonomi domestik.

Baca juga: Pemerintah Targetkan Pertumbuhan Ekonomi RI Capai 6,3 Persen pada 2026

Sementara itu, kinerja komponen ekonomi lainnya justru mengecewakan. Konsumsi pemerintah menyusut 1,38 persen dan justru menyumbang negatif terhadap pertumbuhan. Seperti, Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) hanya tumbuh 2,12 persen dan menyumbang 0,65 poin, jauh dari harapan untuk mendorong akselerasi ekonomi jangka panjang.

Selain itu, ekspor barang dan jasa hanya berkontribusi 1,59 poin, lebih rendah dibanding periode yang sama tahun lalu. Bahkan secara kuartalan (qtq), hampir semua komponen utama mengalami kontraksi, seperti konsumsi pemerintah -39,89 persen, investasi -7,40 persen, dan ekspor -6,11 persen.

“Ini menandakan bahwa mesin ekonomi selain rumah tangga belum bergerak optimal, bahkan menunjukkan gejala perlambatan yang serius,” ungkapnya.

Syafruddin menyatakan, hal yang paling mengkhawatirkan adalah tidak adanya langkah konkret dari pemerintah yang mampu mengintervensi atau memperbaiki situasi. Belanja negara yang seharusnya menjadi bantalan ekonomi di tengah badai global justru dikendalikan secara ketat.

“Seolah-olah negara menarik diri dari ruang publik di saat pasar tengah lesu. Ini menunjukkan lemahnya respons fiskal di tengah perlambatan ekonomi dan minimnya stimulasi terhadap sektor riil,” imbuhnya.

Dengan begitu, lagi-lagi konsumsi rumah tangga tetap menjadi jangkar utama ketahanan ekonomi nasional. Ketika ekspor terganggu dan investasi tertahan, hanya pasar domestik yang masih bisa diandalkan. 

“Namun, bila tekanan terhadap daya beli masyarakat dibiarkan, misalnya dengan lonjakan harga kebutuhan pokok, naiknya tarif pajak, atau minimnya jaring pengaman sosial, maka bukan tidak mungkin rumah tangga juga akan kehilangan daya tahan,” tegasnya.

Baca juga: Ekonomi Hanya Tumbuh 4,87 Persen: Presiden Prabowo Perlu Regain Trust dari Pasar dan Masyarakat

Syafruddin memandang bahwa urgensi penguatan konsumsi domestik harus menjadi prioritas utama dalam kebijakan ekonomi nasional. Pemerintah harus mulai merancang insentif yang secara langsung menyasar rumah tangga kelas menengah dan bawah, memperkuat bantuan sosial yang bersifat produktif, serta menjaga stabilitas harga pangan dan energi.

“Strategi pembangunan yang terlalu berorientasi pada investasi besar dan ekspor mentah harus ditinjau ulang, karena tidak menawarkan jaminan keberlanjutan di tengah dunia yang semakin tidak pasti,” tambahnya. (*)

Editor: Galih Pratama

Related Posts

Top News

News Update