Efek Tarif Trump bagi Perbankan

Efek Tarif Trump bagi Perbankan

Oleh Paul Sutaryono, pengamat perbankan, Assistant Vice President BNI (2005-2009), Staf Ahli Pusat Studi Bisnis (PSB) UPDM, dan Advisor Pusat Pariwisata Berkelanjutan Indonesia (PPBI) Unika Atma Jaya.

PADA 2 April 2025, Indonesia dikenakan tarif impor ke Amerika Serikat (AS) – ekspor Indonesia ke AS – sebesar 32 persen yang berlaku efektif per 9 April 2025. Namun, kemudian kebijakan tarif itu ditunda hingga 90 hari ke depan. Bukan hanya pemerintah yang bakal kelabakan, bank pun bisa terkena getahnya. Bagaimana bank menghadapi tantangan tersebut?

Bandingkan dengan tarif Trump ke negara ASEAN: Kamboja 49 persen, Vietnam 46 persen, Thailand 36 persen, dan Malaysia 24 persen. Juga, Tiongkok 34 persen, Taiwan 32 persen, India 26 persen, Korea Selatan 25 persen, Jepang 24 persen, dan Uni Eropa 20 persen. Data perdagangan 2024 menunjukkan, AS mengalami defisit perdagangan barang US$1,2 triliun dengan 92 negara, tetapi juga mencatat surplus dengan 111 negara. Defisit ini bukan semata akibat kebijakan dagang negara mitra, melainkan hasil dari keunggulan komparatif dan ketidakseimbangan anggaran AS sendiri.

Dengan pemangkasan pajak dan peningkatan defisit anggaran, tabungan domestik AS berkurang dan akan meningkatkan kesenjangan tabungan-investasi AS, yang pada gilirannya memperbesar defisit perdagangan (Mari Pangestu, Kompas, 4 April 2025).

Lantas, apa saja efeknya bagi perbankan? Bagaimana jurus andalan bank dalam menepis efek tersebut? Pertama, tentu penerapan tarif itu akan menekan ekspor Indonesia. Padahal, selama ini, perdagangan Indonesia dengan AS tercatat surplus USD18 miliar.

Bank pun akan mengalami penurunan ekspor dan impor dengan letter of credit (L/C). Selama ini, provisi L/C mencapai 0,125 persen. Sebagai ilustrasi, tatkala volume transaksi ekspor atau impor pada bank nasional papan atas mencapai 1.000 per bulan dengan rata-rata nilai ekspor atau impor Rp100 juta, maka bank akan mereguk pendapatan 0,125 persen kali 1.000 (volume) kali Rp100 juta, mencapai Rp125 juta per bulan atau Rp1,5 miliar per tahun.

Bank juga melayani transaksi jasa-jasa (services), seperti transfer masuk (ingoing transfers) dan transfer keluar (outgoing transfers). Volume transaksi jasa-jasa pada bank nasional papan atas bisa mencapai sekitar 10.000 per bulan. Bayangkan saja, misalnya biaya transaksi jasa-jasa Rp10.000 per transaksi. Maka, bank akan meraup pendapatan dari komisi 10.000 kali Rp10.000, mencapai Rp100 juta per bulan atau Rp1,2 miliar per tahun.

Pendapatan dari perdagangan internasional (trade finance)dan services tersebut merupakan salah satu pendapatan nonkredit (non interest income) yang disebut fee based income. Fee based income tersebut pada bank devisa papan atas bisa mencapai sekitar 30 persen dari total fee based income. Pendapatan yang gurih!

Karena itu, pemerintah perlu segera melakukan negosiasi dengan AS dengan menggandeng negara ASEAN lainnya. Mengapa? Karena, kontribusi ASEAN sekitar 23 persen dari perdagangan global sehingga negosiasi ASEAN lebih perkasa (powerful).

Kedua, penerapan tarif itu bisa membuat kurs rupiah terdepresiasi terhadap dolar AS (USD). Maka, negara-negara lain lebih memilih mengalihkan dana investasinya ke dolar AS yang lebih aman (safe heaven). Untuk itu, Bank Indonesia (BI) harus melakukan operasi pasar untuk mengendalikan kurs rupiah. Operasi pasar itu bisa mengikis cadangan devisa USD157,09 miliar per 27 Maret 2025. Jumlah tersebut naik dari USD154,51 miliar per Februari 2025 dan USD156,09 miliar per Januari 2025.

Kebijakan tarif Trump telah mengakibatkan gejolak pasar saham dan menekan kurs rupiah. Makin dalam rupiah terpuruk, perbankan harus makin berhati-hati dalam mengelola transaksi treasury dan kredit valuta asing (valas).

Apakah besar risikonya? Tampaknya tidak demikian. Namun, bank wajib terus meningkatkan penerapan manajemen risiko, terlebih risiko kredit dan risiko pasar sebagai upaya antisipasi terhadap kondisi pasar saat ini. Karena, bank merupakan pemain unggul transaksi treasury yang meliputi penempatan aset (placement), transaksi valas (foreign exchange), dan pasar uang (money market). Dengan demikian, depresiasi rupiah dapat berisiko memengaruhi kinerja kredit perbankan, terutama kredit valas dan kenaikan suku bunga kredit valas. Oleh sebab itu, bank wajib lebih waspada terhadap kondisi pasar dalam negeri (Paul Sutaryono, Kompas, 10 April 2025).

Bagaimana posisi devisa neto (PDN) perbankan? Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat risiko pasar yang tersirat pada PDN membaik dari 1,24 persen per Januari 2025 menjadi 1,35 persen pada Februari 2025, di bawah ambang batas 20 persen. PDN secara keseluruhan adalah angka yang merupakan penjumlahan dari nilai absolut untuk jumlah dari (a) selisih bersih aktiva dan pasiva dalam neraca untuk setiap valuta asing ditambah dengan (b) selisih bersih tagihan dan kewajiban, baik yang merupakan komitmen maupun kontijensi dalam rekening administratif untuk setiap valuta asing yang semuanya dinyatakan dalam rupiah.

Pemenuhan PDN itu bertujuan mengendalikan terjadinya perubahan kurs naik atau turun agar bank dapat meminimalisasi risiko kerugian. Hal itu juga bertujuan mendukung BI dalam mengendalikan nilai tukar rupiah.

Ketiga, BI pun wajib mengendalikan inflasi yang tercatat 1,03 persen per akhir Maret 2025. Sebelumnya, Indonesia mengalami deflasi (inflasi minus 0,09 persen) per Februari 2025. Indonesia dilanda deflasi lima bulan berturut-turut: Mei-September 2024. Deflasi menyiratkan daya beli masyarakat anjlok. Akibatnya, kredit tanpa agunan (KTA) menjadi salah satu opsi yang menarik untuk merayakan Lebaran. Celakanya, pasca-Lebaran dapat menjadi potensi risiko kenaikan kredit bermasalah (non performing loan/NPL).

Mengapa? Karena, kantong mulai menipis sehingga kewajiban pembayaran angsuran bisa jadi tersendat. Potensi kenaikan NPL itu bukan hanya dihadapi bank, tapi juga aplikasi paylater atau “beli sekarang, bayar nanti” (buy now pay later/BNPL) dan teknologi finansial (tekfin).

Bahkan, potensi risiko itu bisa lebih tinggi di paylater dan tekfin. Mengingat, persetujuan pinjaman mereka lebih cepat daripada bank. Namun, kini bank juga sudah memiliki fitur paylater untuk mengadu otot dengan aplikasi paylater dalam memanjakan nasabah milenial.

Keempat, tarif Trump bisa juga menyulut gejolak di pasar modal. Hal itu terjadi tatkala emiten berbasis ekspor akhirnya tak mampu menahan kenaikan biaya operasional. Konsekuensinya, kinerja perusahaan emiten menurun, yang bisa mendorong saham terkapar. Repotnya, ketika emiten itu juga memiliki kewajiban untuk membayar angsuran kepada bank, maka kewajiban mereka bisa terganggu.

Kelima, kondisi tersebut dapat mendorong kenaikan NPL. OJK mencatat NPL gross (yoy) turun dari 2,35 persen per Februari 2024 menjadi 2,22 persen per Februari 2025. Rasio itu di bawah ambang batas aman 5 persen. Demikian pula dengan loan at risk/LAR (yoy) yang turun dari 11,56 persen per Februari 2024 menjadi 9,77 persen pada Februari 2025. Rasio LAR itu masih di bawah level sebelum pandemi, yakni 9,93 persen per Desember 2019.

Nah, ketika NPL naik, cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) akan membengkak, yang bisa mengikis modal. Padahal, modal menjadi bantalan (buffer) yang ampuh dalam menyerap pelbagai risiko: kredit, pasar, operasional, dan likuiditas.

Seberapa kokoh modal bank? Kecukupan modal minimum (capital adequacy ratio/CAR) turun dari 27,01 persen per Januari 2025 menjadi 26,98 persen pada Februari 2025. Modal tetap perkasa, yang jauh di atas ambang batas 12 persen.

Bagaimana dengan likuiditas bank? Data menunjukkan bahwa rasio aset likuid/non-core deposit (AL/NCD) naik dari 114,86 persen per Januari 2025 menjadi 116,76 persen per Februari 2025, jauh di atas ambang batas 50 persen. Alat likuid/dana pihak ketiga (AL/DPK) juga naik dari 26,03 persen menjadi 26,35 persen, masih di atas ambang batas 10 persen. Aman!

Tingkat profitabilitas bank pun stabil. Hal itu tampak dari rasio imbal hasil aset (return on assets/ROA), meski menipis dari 2,52 persen per Februari 2024 menjadi 2,41 persen per Februari  2025. Rasio itu di atas ambang batas 1,5 persen.

Meningkatkan Manajemen Risiko

Keenam, karena itu, bank wajib meningkatkan penerapan manajemen risiko. Dengan bahasa lebih bening, bank wajib makin selektif dalam menyalurkan kredit. Bukan hanya mengejar target semata.

Bagaimana dengan kinerja kredit? Kredit (yoy) turun dari 11,28 persen per Februari 2024 menjadi 10,30 persen per Februari 2025. Namun, kredit (month to month/mtm) naik dari 10,27 persen per Januari 2025 menjadi 10,30 persen per Februari 2025. Pertumbuhan itu di bawah target pertumbuhan kredit menurut OJK dan BI yang sebesar 11 persen -13 persen pada 2025.

Dana pihak ketiga (yoy) juga tumbuh dari 5,66 persen menjadi 5,75 persen. Alhasil, loan to deposit ratio (LDR) naik dari 84,05 persen menjadi 87,67 persen dalam ambang batas 78 persen – 92 persen. Sarinya, bank cukup agresif dalam menyalurkan kredit.

Ambang batas LDR bisa berbeda di masing-masing negara. Hal itu ditetapkan oleh regulator sektor jasa keuangan atau bank sentral setempat dan disesuaikan dengan kondisi perekonomian global. Tatkala ekonomi bergairah tinggi, LDR bisa mencapai 90 persen -110 persen.

Ketujuh, bank juga ditantang untuk mengucurkan kredit ke sektor-sektor yang mampu menyerap tenaga kerja. Katakanlah, sektor manufaktur. Menurut Trading Economics, purchasing manufactures’ index (PMI) manufaktur Indonesia turun dari 53,6 pada Februari 2025 menjadi 52,4 per Maret 2025. Meski terjadi penurunan, ini adalah bulan keempat berturut-turut terjadi peningkatan aktivitas pabrik. Pertumbuhan output dan pesanan baru tetap kuat, meski laju kenaikan sedikit melambat.

Ketika PMI berada di atas 50 (angka indeks 0-100), itu berarti sektor manufaktur sedang mengalami ekspansi atau pertumbuhan dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Manakala PMI di bawah 50, berarti sektor manufaktur tengah mengalami kontraksi dari bulan sebelumnya. Dengan aneka jurus andalan demikian, bank amat diharapkan tetap sehat dan gemerincing!

Penulis adalah pengamat perbankan, Assistant Vice President BNI (2005-2009), Staf Ahli Pusat Studi Bisnis (PSB) UPDM, dan Advisor Pusat Pariwisata Berkelanjutan Indonesia (PPBI) Unika Atma Jaya.

Related Posts

Top News

News Update