Categories: AnalisisHeadlineOpini

Efek Panas Perang Dagang, Bank Mulai Waswas NPL

oleh Eko B Supriyanto

 

PERANG dagang Amerika Serikat (AS)-Tiongkok sudah menelan korban. Duniatex Group, perusahaan tekstil terbesar Indonesia, kesulitan likuiditas. Dan, bank-bank pun kecele. Selama ini Duniatex menjadi rebutan bank-bank untuk diberikan kredit.

Empat bulan pasca-menerbitkan obligasi senilai US$300 juta yang dijual entitas anak Duniatex Group: PT Duta Merlin Dunia Textile (DMDT), anak usaha perusahaan ini yang lain, yakni PT Delta Dunia Sandang Textile (DDST), gagal membayar utang yang jatuh tempo 10 Juli 2019.

Akibatnya, Standard & Poor’s (S&P) menurunkan rating-nya lebih rendah. Likuiditas secara grup yang minim jadi alasan S&P menilai DMDT tak punya kemampuan membayar kupon obligasinya senilai US$13 juta pada September mendatang. Apalagi di bulan yang sama, DMDT juga mesti menunaikan pokok dan bunga sindikasi yang diperkirakan S&P mencapai US$5 juta.

Tak hanya bikin geger pasar obligasi korporasi, peristiwa ini juga berpotensi mengganggu industri perbankan. Sejumlah bank terlibat pembiayaan kepada Duniatex Group. Kreditur DMDT nilainya mencapai Rp5,246 triliun. Jumlah pinjaman Duniatex Group diperkirakan lebih dari itu. Dan, potensi gagal bayar obligasi korporasi ini juga menggoreskan cerita lain.

Mengapa sekarang ini obligasi korporasi yang belum terbit setahun mulai gagal bayar? Apakah ini upaya restrukturisasi akibat beban kredit perbankan sehingga harus dikurangi pinjamannya dengan menerbitkan obligasi korporasi? Tidak hanya dari Duniatex Group, tahun lalu, tercatat dan menghebohkan perbankan dan multifinance adalah kasus obligasi SNP.

Industri tekstil dan produk tekstil sekarang ini makin terjepit akibat perang dagang. Tidak mampu mencari pasar di luar negeri, sementara di dalam negeri juga tidak mampu bersaing dengan produk Tiongkok.

Dalam perspektif ke depan, pukulan pertama terkena pada perusahaan-perusahaan yang merasakan dampak langsung dari perang dagang. Pukulan kedua terkena pada bank-bank yang membiayai kredit, dan industri multifinance yang paling akhir terkena karena jika perusahaan kesulitan sudah pasti ada PHK yang sebagian besar karyawannya membeli sepeda motor dengan mengambil lewat perusahaan pembiayaan.

Kasus yang terjadi pada Duniatex Group ini juga mengirimkan sinyal kepada perbankan. Tidak mudah lagi bank mengalirkan kredit ke industri tekstil dan produk tekstil. Juga, kepada industri-industri yang tidak punya daya saing di luar negeri dan dalam negeri. Banyak industri dalam negeri yang jadi penonton di pasar lokal karena membanjirnya produk dari Tiongkok.

Sinyal lain mengarah pada para investor obligasi. Perang dagang ini juga menjadi bom waktu. Cerita masa lalu yang digambarkan lewat laporan keuangan yang hebat ternyata tidak menjamin di masa datang. Obligasi yang diterbitkan belum setahun sudah default jelas menjadi persoalan serius. Apakah penerbitan obligasi hanya semacam cara mudah untuk mendapat likuiditas karena kredit bank sudah mentok?

Namun, bagi bank lebih kecil, seperti Indonesia Eximbank, yang sedang berbenah kredit macetnya, terkena Rp455,9 miliar, tentu makin membuat kesibukan tersendiri di Eximbank yang tengah melakukan restrukturisasi kredit macet. Selama ini Duniatex Group bagi Eximbank menjadi salah satu sumber besar dalam pendapatan bunga.

Perang dagang AS-Tiongkok mulai masuk second-round effect kepada perbankan. Lihat saja laporan bank-bank per Juni 2019, telah terjadi peningkatan kredit, tapi mengapa pendapatan bunga melambat dengan net interest margin (NIM) yang turun. Pertumbuhan laba juga melambat dengan cost of funds yang naik. Bank-bank mulai waswas terhadap non performing loan (NPL) ini.

Bank-bank harus mulai hati-hati terhadap pukulan gelombang dua dari perang dagang AS-Tiongkok. Sebelumnya, bank mana sih yang tidak ngiler terhadap pesona Duniatex Group? Kebesaran dan nama baik tidak lagi berlaku linier di tengah perubahan dunia yang begitu cepat. Masa depan, bukan lagi best practice, melainkan next practice dan yang bisa membaca tanda-tanda perubahan dengan lebih awal. Lihat saja NPL Indonesia Exim Bank sudah mencapai sekitar 14 persen dan bisa saja akan naik karena eksposure kredit ke Grup Duniatex.

Sayangnya pemerintah tampak terlelap dengan persoalan industri manufaktur akibat terbuai oleh persoalan politik dan bagi-bagi kursi. Semoga bank-bank bisa menghadapi dampak perang dagang AS-Tiongkok ini. (*)

 

 

Penulis ada Pemimpin Redaksi Infobank

Paulus Yoga

Recent Posts

Mau ke Karawang Naik Kereta Cepat Whoosh, Cek Tarif dan Cara Pesannya di Sini!

Jakarta - PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) resmi membuka penjualan tiket kereta cepat Whoosh… Read More

4 hours ago

Komitmen Kuat BSI Dorong Pariwisata Berkelanjutan dan Ekonomi Sirkular

Jakarta - PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) terus berkomitmen mendukung pengembangan sektor pariwisata berkelanjutan… Read More

6 hours ago

Melalui Program Diskon Ini, Pengusaha Ritel Incar Transaksi Rp14,5 Triliun

Tangerang - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) bekerja sama dengan Kementerian Perdagangan (Kemendag) meluncurkan program… Read More

6 hours ago

IHSG Sepekan Anjlok 4,65 Persen, Kapitalisasi Pasar Ikut Tertekan

Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat bahwa data perdagangan saham selama periode 16-20… Read More

8 hours ago

Aliran Modal Asing Rp8,81 Triliun Kabur dari RI Selama Sepekan

Jakarta – Bank Indonesia (BI) mencatat di minggu ketiga Desember 2024, aliran modal asing keluar… Read More

14 hours ago

Bos BRI Life Ungkap Strategi Capai Target Bisnis 2025

Jakarta - PT Asuransi BRI Life meyakini bisnis asuransi jiwa akan tetap tumbuh positif pada… Read More

15 hours ago