Jakarta – Kinerja baik bukan lagi menjadi tolak ukur untuk bisa duduk manis di kursi direksi. Para direksi bank pembangunan daerah (BPD) harus pintar mencari akal jika tidak mau dicopot ditengah jalan.
Belakangan, ramai berita pencopotan direksi BPD secara mendadak. Ada yang dicopot ‘resmi dari hasil Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST). Bahkan, ada juga yang diberhentikan tanpa agenda pergantian. Semua tergantung pemegang saham.
Bank Sumut misalnya, secara mendadak mencopot jabatan Rahmat F. Pohan sebagai Dirut Bank Sumut. Meski pernah membawa bank-nya berhasil mencatatkan laba tertinggi sejak Bank Sumut lahir, namun posisinya tamat sehari setelah izin go public Bank Sumut keluar.
Kondisi ini pun kerap dicap negatif publik. BPD kerap dirundung masalah. Prestasi moncer yang dilakukan dirutnya harus kalah dengan isu-isu kepentingan politis para pemegang saham.
Memang dalam perseroan terbatas, soal pecat-memecat itu urusan pemegang saham. Namun, selayaknya pemegang saham juga harus mematuhi rambu-rambu dari OJK. Tata cara pemberhentian direksi juga harus “sopan” dan “beradab”, selayaknya bank. Misalnya, lewat RUPS dan pihak OJK setidaknya mengetahui rencana pemegang saham lebih awal.
Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Moch Amin Nurdin menilai, pencopotan pucuk kepemimpinan di tubuh BPD ada plus dan minusnya.
“Saya melihatnya dari dua sisi ya. Secara umum itu hal biasa yang terjadi di struktur bank daerah setiap kali ada pergantian kepemimpinan. Bisa jadi pejabat bank diganti karena mendapat masukan dari stakeholder,” katanya kepada Infobanknews dikutip 23 Maret 2023.
Namun kata Amin, pencopotan para direksi juga bisa terjadi meski secara tugas dan kewenangan tidak ada kesalahan yang dilakukan sang nahkoda kapal BPD. Tentu saja, kondisi ini bisa membuat efek domino bagi kesehatan bank yang bersangkutan.
“Ada kecenderungan kesehatan bank akan menurun karena berdampak kepada solidaritas tim, kepercayaan kepada pemimpin dan visi misi perusahaan pasti akan liar,” jelasnya.
Bagaimanapun kata dia, sebuah organisasi itu membutuhkan sebuah arahan dan dukungan dari pucuk pimpinan setiap kali melakukan transformasi kinerja bank. “Mau dibawa kemana kinerja bank tersebut jika pemimpinnya di BPD terganggu,” tegasnya.
OJK sebagai pengawas di sektor Perbankan, seharusnya menjadi benteng dari segala intervensi yang mulai kasatmata. Pemda selaku pemegang saham selayaknya bisa berkonsultasi terlebih dahulu dengan OJK jika hendak melakukan pergantian direksi. Jangan semena-mena. Semua ada aturannya, dan GCG itu bukan hanya berlaku bagi direksi dan komisaris, tapi juga penting untuk pemegang saham.
Banyak harapan kepada OJK agar bisa “memaksa” pemegang saham melaksanakan GCG yang baik sesuai POJK. Sebab, GCG itu hakikatnya melindungi BPD sendiri dari jurang kehancuran. Apalagi, ke depan, bank selalu membutuhkan modal yang kuat, dan bukan urusan dividen jangka pendek sepanjang masa jabatan kepala daerah.
BPD harus dirawat untuk menjadi kebanggaan daerah untuk kemakmuran masyarakat di daerah. Pemerintah daerah juga dapat menjadikan BPD sebagai pelaksana program-program bantuan sosial ke seluruh masyarakat di daerah. (*)
Editor: Rezkiana Nisaputra
Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut tren pertumbuhan UMKM cenderung melambat, sejalan dengan risiko kredit UMKM… Read More
Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyoroti pentingnya peningkatan inklusi dan literasi keuangan di Indonesia… Read More
Bandung - PT Adira Dinamika Multi Finance Tbk (Adira Finance) mengambil langkah agresif untuk mengatasi… Read More
Jakarta - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) selama sepekan mengalami penurunan sebesar 1,73 persen di… Read More
Jakarta - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami pelemahan yang signifikan pada periode pekan lalu… Read More
Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 17 Tahun… Read More