oleh Eko B Supriyanto
PASAR saham Indonesia sudah merosot lebih dari 33%. Rupiah terbakar hingga menembus Rp16.800/US$1. Semua itu karena dana asing beterbangan pulang kandang. Sejumlah stimulus telah digelontorkan, baik oleh Bank Indonesia(BI), Kementerian Keuangan, maupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Intinya agar ekonomi tak terjun bebas. Sementara, puncak wabah virus Corona (COVID-19) di Indonesia diperkirakan pada April atau Mei 2020 ini.
BI sudah memproyeksikan ekonomi Indonesia hanya akan tumbuh 4,2%-4,6%. Proyeksi itu lebih rendah dibandingkan dengan proyeksi sebelumnya yang di 5,0%-5,4%. BI memperkirakan ekonomi Indonesia akan pulih pada 2021, dengan pertumbuhan di kisaran 5,2%-5,6%. Namun, angka tersebut dinilai masih terlalu tinggi.
Jika dibandingkan dengan krisis 1998 dan 2008, kondisi 2020 ini berbeda. Tahun 1998 pertumbuhan ekonomi Indonesia negatif 13,13% dengan nilai tukar rupiah Rp16.300/US$1. Krisis 2008, yang dipicu oleh pasar subprime mortgage di Amerika Serikat, berdampak pada Indonesia. Ekonomi anjlok dari 6,1% menjadi 4,5% pada 2009. Pasar saham tumbang, dengan nilai tukar rupiah yang merosot hingga 32% (Oktober 2008).
Pada 2020 ini belum ada bank yang jatuh. Hanya sektor asuransi yang kehilangan kepercayaan. Di tengah penyelesaian kasus Jiwasraya yang masih mengawang-awang, muncullah COVID-19.
Likuiditas kini seret di pasar modal. Publik mulai bertanya, sampai seberapa dalam pasar saham mengalami kejatuhan? Ada yang pesimistis, IHSG akan di bawah 2.000. Ada juga yang optimistis bahwa IHSG akan berada di bawah 4.500 tahun ini.
Apa yang harus dilakukan para pelaku sektor keuangan, khususnya bank-bank? Pengalaman krisis-krisis sebelumnya, likuiditas menjadi prioritas utama. Bank-bank sampai dengan saat ini masih kebanjiran likuiditas akibat pasar modal yang ambrol dan kembalinya uang yang selama ini ditanam di shadow banking.
Pertahanan kedua bagi bank adalah kualitas kredit. Meski sudah ada stimulus dari OJK soal restrukturisasi kredit, bank-bank tetap harus mempertimbangkan prospek bisnis debitur di masa datang. Kredit lancar hasil restrukturisasi bukanlah kondisi sebenarnya. Apalagi hanya satu pilar. Hal ini juga pernah dilakukan OJK pada 2015, dan kemudian dicabut OJK pada 2017 – dengan alasan tidak menggambarkan kredit sesungguhnya.
Nah, sekarang dikembalikan lagi ke satu pilar. Namun, ada baiknya bank-bank tetap memperhatikan loan at risk (LAR). Apalagi, di setiap krisis ada penumpang gelap. Kebijakan relaksasi ini baik adanya. Relaksasi ini juga sifatnya sementara – ganti Komisioner OJK bisa jadi diganti juga kebijakan ini.
Yang perlu diperhatikan adalah penumpang gelap. Moral hazard ada di mana-mana. Apakah benar debitur tidak membayar pinjaman karena dampak COVID-19? Pengalaman, ada saja debitur yang pura-pura terkena dampak sehingga tidak membayar pinjamannya. Inilah yang dimaksud penumpang gelap.
Untuk sektor multifinance bisa jadi akan berdampak besar. Pernyataan dari regulator yang meminta agar multifinance menghentikan penagihan kepada debitur lewat debt collector sesungguhnya kurang bijak. Apalagi, multifinance punya pinjaman ke bank – yang harus tetap bayar. Mudah-mudahan kebijakan ini tidak mismatch antara debitur multifinance dan bank.
Sudah waktunya mengubah cara berkomunikasi. Gunakan narasi yang menyejukkan untuk menghindari penumpang gelap debitur. Misalnya, tak lagi mengeluarkan pernyataan “Penagihan oleh Debt Collector Harus Dihentikan”, “UMKM Terdampak COVID-19 Boleh Tidak Membayar Pinjaman”, dan pernyataan-pernyataan lainnya yang meresahkan. Kita belum bicara soal keberadaan BPR yang bersentuhan langsung dengan UMKM. Bagaimana nasibnya setelah terkena COVID-19 ini?
Untuk tetap dapat bertahan dalam situasi yang tidak pasti ini, selain stimulus BI dan OJK, pemerintah perlu terus memberi stimulus fiskal yang lebih besar – agar ekonomi tetap berjalan. Dan, menghadapi kondisi yang sulit ini, yang paling utama adalah menjaga “kantong kita” masing-masing. Pemberian kredit harus makin selektif dan prioritaskan kepada debitur lama lancar.
Hal lain yang juga tak kalah penting adalah menjaga LAR tetap rendah. Jangan sampai ada bank yang mati karena kehabisan napas. Sekecil apa pun bank mati di saat krisis, berdasarkan pengalaman, akan menimbulkan efek psikologis bagi nasabah penabung. Pertanyaan berulang, bank mana lagi yang akan tutup? Kita jaga confidence para pemilik uang ini karena mereka bisa menghancurkan situasi yang buruk makin buruk lagi.
Siapa yang akan jadi pemenang dan bertahan dari efek COVID-19 ini? Jawabannya adalah mereka yang punya likuiditas yang tak pernah kering. Cash is the king. Uang tunai menjadi segalanya sekarang ini. (*)
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Infobank
Jakarta - PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) resmi membuka penjualan tiket kereta cepat Whoosh… Read More
Jakarta - PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) terus berkomitmen mendukung pengembangan sektor pariwisata berkelanjutan… Read More
Tangerang - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) bekerja sama dengan Kementerian Perdagangan (Kemendag) meluncurkan program… Read More
Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat bahwa data perdagangan saham selama periode 16-20… Read More
Jakarta – Bank Indonesia (BI) mencatat di minggu ketiga Desember 2024, aliran modal asing keluar… Read More
Jakarta - PT Asuransi BRI Life meyakini bisnis asuransi jiwa akan tetap tumbuh positif pada… Read More